BAB 1
PENDAHULUAN
Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan
puasa kepada kita orang-orang islam sebagaimana Allah juga mewajibkan puasa
terhadap orang-orang sebelum di utusnya Nabi Muhammad SAW. Puasa merupakan
media yang ampuh untuk membersihkan jiwa, dan merupakan ibadah yang paling
efektif untuk dapat menahan hawa nafsu. Karena itu, ibadah puasa diwajibkan dan
disyari’atkan oleh seluruh ummat beragama, sekalipun bagi mereka yang menyembah
berhala.
Konsepsi puasa dalam pemaknaan istilah seringkali dimaknai dalam
pengertian sempit sebagai suatu prosesi menahan lapar dan haus serta yang
membatalkan puasa yang dilakukan pada bulan ramadhan. Padahal hakekat puasa
yang sebenarnya adalah menahan diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang
oleh agama. Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim
terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini,
interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya
akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.
Dalam makalah ini, kami mencoba membahas empat ayat yang terdapat
di dalam Al-Qur’an yang bersangkutan dengan puasa yang semuanya terdapat dalam
surat Al-Baqarah, yaitu: Q.S Al-Baqarah 2: 183-185 dan 187. Dalam ayat-ayat
tersebut menjelaskan bagaimana tuntunan puasa yang dijelaskan dalam Al-qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:183
v Redaksi Ayat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ
ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”
v Mufradat Ayat
As-Shiyam
Menurut bahasa (etimologis) Shyam atau puasa berarti mengekang atau
menahan diri dari sesuatu dan menurut syara (ajaran agama), puasa adalah
menahan diri dari segala yang membatalkanya, dari mulai terbit fajar hingga
ternenam matahari karena mengharap ridlo dari Allah SWT semata-mata dan
disertai niat dan syarat “tertentu”. Di samping itu juga untuk melatih dari
bertaqwa kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun sedang berkumpul
dengan banyak orang.
v Munasabah Ayat
Munasabah ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat setelah ayat ini,
ayat ini menjelaskan tentang kewajiban berpuasa bagi orang yang beriman,
selanjutnya ayat seterusnya menjelaskan lebih terperinci lagi tentang puasa.
v Penafsiran Ayat
Ayat ini mengandung pengukuhan tentang ibadah puasa, sekaligus
memberikan dorongan untuk melaksanakannya. Pada dasarnya diwajibkannya puasa
terhadap kita agar untuk mempersiapkan diri untuk bertakwa kepada Allah SWT.
Caranya adalah meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi
menjalankan perintah dan mencari pahala-Nya. Dengan demikian, maka mental kita
terlatih dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat
menahan diri untuk tidak melakukannya.
Karenanya kita dapat mengetahui bahwa Allah mewajibkan puasa itu
juga untuk kemaslahatan kita sendiri. Jadi tidak seperti pemahaman kaum wasani
yang beranggapan bahwa tujuan puasa adalah untuk memadamkan kemurkaan para dewa
jika manusia melakukan sesuatu yang mengakibatkan kemurkaan dewa itu. Atau
justru bahkan puasa ini sering dilaksanakan untuk tujuan-tujuan tertentu, bukan
karena Allah.
Selanjutnya ibnu katsir berkata bahwa, diriwayatkan bahwa puasa
awal mulanya seperti yang dilakukan ummat-ummat sebelum kita, yakni tiga hari
setiap bulan (Mu’dz dan ibnu mas’ud). Puasa telah dilakukan ummat terdahulu
seperti dijelaskan pada ayat diatas “kama kutiba
‘alal ladzina min qoblikum”. Dari segi
ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi sama dalam prinsip
pokok akidah, syari’at, serta akhlaknya. Ini berarti semua agama samawi
mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Begitu juga
puasa juga diajarkan dalam semua agama samawi, tetapi tentu saja cara dan
kaifatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
B.
TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:184
v Redaksi Ayat
أَيَّامًۭا مَّعْدُودَٰتٍۢ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم
مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى
ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا
فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
Artinya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
v Mufradat Ayat
-
Al-Ithaqoh: mampu melakukan sesuatu meskipun disertai susah payah.
-
Al-fidyah: makanan yang diberikan kepada kaum fakir miskin sebagai
pengganti hari dari hari-hari yang tidak dipuasai. Makanan tersebut terdiri
dari makanan kebiasaan yang dimakan oleh penduduk setempat. Sedang jumlah
pemberian itu ialah satu hari puasa diganti satu member makan kepada seorang
fakir atau miskin.
v Asbab An-Nuzul
Ayat ke-184 diturunkan sehubung dengan maula –hamba
sahaya- yang telah dimerdekakan oleh Qois bin Saib yang memaksakan dirinya
untuk melakukan ibadah puasa, sedangkan usianya sudah tua yang tidak mungkin
lagi melakukan puasa. Dengan diturunkannya ayat ini, dia segera berbuka dan
membayar fidyah dengan memberikan sedekah kepada fakir miskin. Selama dia tidak
melakukan puasa di setiap harinya member makan kepada orang fakir miskin. (HR.
Ibnu Sa’din dalam kitab Thobaqotnya dari Mujahid).
v Penafsiran Ayat
Pada hari-hari tertentu yang dapat dihitung, yakni
hari-hari pada bulan Ramadhan. Allah tidak mewajibkan kepada kita untuk
melakukan puasa setahun penuh, dan Allah tidak memerintahkan kepada kita
melakukan puasa sebanyak-banyaknya.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa siapapun dalam keadaan
sakit atau safar (berpergian), maka jika tidak berpuasa wajib membayar qada’
sejumlah hari-hari yang tidak dipuasai. Mungkin dalam keadaan itu seseorang
jika melaksanakan puasa akan mengakibatkan masyaqot baginya.
Beberapa ulama seperti diantaranya Ibnu Sirin, Ata’ dan
Imam Bukhari berpendapat bahwa jenis penyakit apa saja yang merupakan rukhsoh
bagi sesorang yang berpuasa untuk berbuka puasa. Pada kenyataanya ada beberapa
jenis penyakit yang apabila dibawa puasa tidaklah mengganggu. Tetapi juga ada
penyakit yang apabila dibawa puasa, maka penyakit tersebut semakin parah dan
proses penyembuhannya semakin lama.
Selanjutnya batasan musaffir yang diperbolehkan untuk
berbuka puasa ketika dalam perjalanan adalah sama dengan batasan
diperbolehkannya menjalankan sholat dengan qasar. Imam Ahmad telah meriwayatkan
dari Muslim dari Abu Daud dari Anas bin Malik bahwa: Rasulullah SAW. jika melakukan perjalanan sepanjang tiga mil atau
tiga farsahk, beliau melakukan shalat dua raka’at (qasar). Perjalanan seperti
itu pada masa sekarang dapat ditempuh dengan waktu yang singkat, juga merupakan
alas an diperbolehkannya seseorang berbuka puasa. Sebab pemahaman yang dapat
disarikan dari hadist tersebut adalah jarak perjalanan, bukan waktu tempuhnya.
Imam Malik dan Imam Syafi’I menilai bahwa bagi seorang yang melakukan
perjalanan dalam keadaan puasa, lebih utama dan lebih baik berpuasa jika merasa
dirinya mampu berpuasa. Dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim melalui
Anas bin Malik yang menyatakan bahwa: “kami berada dalam perjalanan di bulan
Ramadhan, ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Nabi tidak
mencela yang berpuasa dan tidak juga (mereka) yang berpuasa”.
Kemudian dalam lanjutan ayat dijelaskan
orang-orang yang tidak mampu melakukan puasa ialah orang-orang yang sudah
lanjut usia, orang-orang lemah, orang-orang yang mempunyai penyakit menahun dan
tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya dan orang yang mempunyai pekerjaan
yang sangat berat yang tidak mempunyai sumber rizki lain. Maka dalam kondisi
semacam ini mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar
fidyah.
Termasuk pesan yang terkandung dalam surat ini adalah
wanita hamil dan menyusui. Bagi wanita hamil dan menyusui wajib membayar fidyah
dan mengganti puasanya di hari lain setelah melahirkan dan sudah merasa mampu.
Ini di khawatirkan apabila melakukan puasa akan mengganggu janin atau bayi yang
disusui.
C.
TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:185
v Redaksi Ayat
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ
هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ
مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ
فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا
هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
v Tafsir ayat
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Penggalan ayat tersebut menjelaskan bahwa barang siapa
yang menyaksikan masuknya bulan (Ramadhan) sedang dia tidak dalam perjalanan,
dan kesaksiannya itu dengan perantara melihat hilal tanda masuk bulan, maka
hendaknya berpuasa. Jadi siapapun melihat hilal atau mengetahui melalui orang
lain yang dapat dipercaya, hendaknya ia melakukan puasa.
Dan bagi siapa saja yang tidak melihat hilal seperti
penduduk kutub utara atau selatan (di kutub, jika malam itu panjang, di utara
ataupun selatan secara bergantian malam dan siang per setengah tahun), maka
kaum muslimin yang menempati tempat-tempat tersebut, harus mengira-ngirakan
waktu selama sebulan. Sedang ukuran yang dipakai untuk wilayah tersebut adalah
berdasarkan keadaan yang sedang (sub tropis), seperti permulaan
disyari’atkannya puasa, makkah dan madinah. Dan ada pula yang mengatakan disamakan
dengan Negara-negara tetangga yang bermusim sedang.
Pengulangan penggalan ayat وَمَن
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ agar tidak timbul dugaan bahwa kewajiban
puasa itu tidak dapat di tawar lagi, atau di sangka boleh melakukan rukhsoh
hanya kurang terpuji, karena telah
dijelaskan tentang keagungan puasa dengan beberapa keistimewaan. Sehingga
terdapat suatu riwayat yang menceritakan perihal sebagian para sahabat Nabi
SAW. sekalipun para sahabat mengetahui hukum rukhsoh ini dari Al-Qur’an, tetapi
mereka masih enggan melakukan berbuka puasa di siang hari ketika mereka
melakukan perjalanan. Dan terusan ayat tersebut menyebutkan bahwa Allah
menghendaki kemudahan dalam masalah puasa dan pada yang di syari’atkan untuk
memperingan beban kalian, dan membuat agama menjadi mudah tidak ada kesulitan
di dalamnya. Anas bin Malik berkata: “permudahlah dan jangan kalian mempersulit
diri, dan buatlah selonggar mungkin, jangan mempersempit diri”
D.
TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:187
v Redaksi Ayat
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ
نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ
ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا
عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ
ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى
ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ
حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.
v Mufradat ayat
-
Ar-Rafast:
bersetubuh dengan istri. Al-Azhari mengatakan bahwa rafast ini mencakup segala
keinginan yang dikehendaki laki-laki terhadap wanita.
-
Tahtanuna
anfusahun: menghianati dirimu sendiri dengan melakukan perbuatan yang kamu
sendiri tahu bahwa perbuatan itu dalah haram.
-
Al-Khaitul
Abyad: putihnya tanda siang pada permulaan, yang warna sinarnya sama seperti
benang putih yang tipis dan panjang. Lama kelamaan menjadi menyebar.
-
Al-Kaitul
aswad: gelapnya matahari yang pada mulanya berbentuk gelap seperti benang hitam
di samping benang putih (sinar matahari).
-
Mubasyaroh:
bersetubuh antara dua jenis atau bersetubuh.
-
Al-Hudud:
bentuk tunggalnya adalah hadd. Secara bahasa berarti penghalang antara dua
barang. Kemudian pengertiannya dipakai untuk hal-hal yang telah disyari’atkan
Allah untuk para hamba-Nya berupa hukum. Sebab, masalah ini berate membatasi
aktifitas hukum dan tujuannya. Jika seseorang melanggar batasan tersebut,
berarti perbuatannya telah keluar dari batasan kebenaran.
v Munasabah Ayat
Pada saat itu
para sahabat Nabi beranggapan bahwa makan, minum dan menggauli istri di malam
bulan Ramadhan hanya boleh dilakukan sebelum mereka tidur. Kalau sudah tidur
(kemudian berjaga) tidak boleh. Di antara mereka ada sahabat anshor yang benama
Qois bin Shirmah merasa sangat lelah setelah seharian bekerja. Oleh sebab itu
setelah selesai shalat isya’ dia langsung tidur, sehingga sampai pagi dia tidak
makan dan minum. Sementara ummar bin Khatab menggauli istrinya setelah tidur
pada malam bulan Ramadhan, keesokan harinya dia menghadap Rasulullah SAW. untuk
meminta pejelasan tentang hal tersebut. Sehubung dengan itu Allah SWT
menurunkan ayat 187 yang pada pokoknya memberikan penjelasan tentang hukum
makan, minum dan menggauli istri di malam bulan Ramadhan. (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan Hakim).
v Tafsir Ayat
Ayat ini
menjelaskan tentang dibolehkannya melakukan hubungan suami istri di malam bulan
Ramadhan meskipun sehabis bangun tidur sebelum habisnya waktu sahur, dan ini
berarti melakukan hubungan suami istri di saing hari pada bulan Ramadhan
dilarang. Termasuk dalam masalah jima’ adalah mengeluarkan sperma dalam keadaan
sadar dengan cara apapun. Karena itu walau surat ini tidak adanya larangan
untuk benciuman atau pelukan antara suami istri, para ulama mengingatkan bahwa
hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri
karena dapat mengakibatkan timbulnya nafsu. Dan apabila berciuman sampai keluar
sperma, maka puasanya batal dan wajib menggantinya di hari lain.
Mayoritas ulama
tidak mewajibkan bagi yang bersangkutan diatas untuk membayar kafarat. Adapun
yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari menurut hadist Nabi SAW
adalah dengan kafarat berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu ia
harus memerdekakan hamba, jika tidak mampu juga member makan enam puluh orang
miskin.
Dalam ayat juga di
jelaskan tujuan Allah menurunkan ayat ini karena Allah mengetahui bahwa semula
mereka berijtihad tentang haram berhubungan suami istri seterlah tidur pada
malam bulan puasa Ramadhan. Menurut mereka, sehabis tidur itu tidak dibolehkan
malakukan hal-hal yang diharamkan diwaktu siang. Tetapi pada kenyataanya,
mereka melanggar kenyakinan ini, yang berarti mereka menghianati diri mereka sendiri.
Untuk itu selanjutnya menurunkan ayat yang menjelaskan boleh jima’ di malam
hari, walau sehabis tidur sebelum waktu sahur habis. Mengingatkan hal ini,
Rasulullah bersabda kepada kaum fakir miskin: “pada sebagian di antara
kalian (suami istri) terdapat shodaqah, mereka bertanya: wahai Rasulullah,
apakah salah seorang kita menyalurkan syahwatnya akan mendapat pahala?.
Rasulullah SAW menjawab: bagaimana pendapat kalian jika hal ini letakkan di
tempat yang haram, apakah ia mendapat dosa?. Mereka menjawab: tentu saja.
Rasulullah menyahut: demikian juga jika diletakkan di tempat yang halal, maka
akan mendapat pahala.”
Selanjutnya
Allah menjelaskan tentang batasan waktu yang diperbolehkannya makan dan minum
yakni sampai datangnya fajar, dan menyempurnakan puasanya sampai malam tiba,
yaitu ternggelamnya matahari. Para imam menarik kesimpulan berdasarkan
kandungan ayat bahwa puasa orang yang masih junub itu sah, sebab bersetubuhnya
itu diperbolehkan sampai batas fajar.
E.
Analisis Ayat
Puasa Ramadhan
merupakan salah satu kewajiban yang harus di jalan oleh setiap orang islam yang
sudah memenuhi syarat yang telah di tentukan. Puasa sendiri bukan hanya sekedar
syari’at islam yang hanya menahan lapar dan haus belaka tanpa ada makna atau
hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah tidak akan memerintahkan kepada
makhluk-Nya tanpa ada manfaat yang berguna bagi makhluk itu sendiri, karena
Allah SWT Maha Mengetahui.
Puasa bukan
saja hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus, karena Nabi SAW sendiri
menjelaskan bahwa:”banyak di antara orang-orang yang berpuasa tidak memperoleh
sesuatu yang dipuasainya, melainkan rasa lapar dan dahaga”. Hakekat puasa
sendiri itu adalah upaya manusia dalam meneladani sifat-sifat Allah SWT kecuali
sifat ketuhanan-Nya, Nabi pun memerintahkan: berakhlaklah (teladanilah)
sifat-sifat Allah. Dalam hal ini beberapa contoh puasa dalam meneladani
sifat-sifat Allah di antaranya:
-
Member
makan kepada fakir miskin, sesuai dalam Al-Qur’an QS. Al-An’am 6:14
Pencipta langit dan bumi, memberi
makan dan tidak di beri makan
-
Tidak
melakukan hubungan jima’, sesuai dalam Al-Qur’an QS. Al-An’am 6:101
Dia mempunyai anak
padahal Dia tidak mempunyai teman (istri)
Sifat-sifat diatas awal dan minimal mencontohi sifat-sifat
tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan member makan orang lain (ketika
berbuka puasa), dan tidak melakukan jima’ walaupun ada pasangan.
Namun dari segi
subtansi, puasa seharusnya berakhir dengan terpantulnya sifat-sifat Allah
(kecuali sifat ketuhanan-Nya) dalam kepribadian seseorang, karena puasa itu
sendiri adalah upaya untuk meneladani sifat-sifat Allah sesuai dengan kemampuan
manusia sebagai makhluk. Dengan sifat Allah Ar-Rohman, yang berpuasa melatih
diri melatih member kasih kepada semua makhluk tanpa terkecuali. Sifat Al-Quds,
yang berpuasa mensucikan diri. Al-Afwu, seorang akan senantiasa member maaf.
Al-Karim, seorang akan menjadi dermawan.
F.
kesimpulan
Puasa adalah
ibadah yang bermula dari menahan diri dari nafsu makan , minum dan menahan
hubungan dengan pasangan semenjak terbit hingga terbenamnya matahari, bahkan
puasa dapat diartikan menahan diri dari hawa nafsu yang dapat di sebabkan oleh
aggota tubuh kita, sehingga seluruh anggota tubuh ini pada hakekatnya harus
ikut berpuasa.
Dengan
menjalani ibadah puasa juga, seharusnya umat manusia dapat mengambil nilai atau
pelajaran sosial yang trkandung didalam, karna hikmah puasa juga agar kita peka
terhadap sesama, sehingga mengerti apa yang harus kita lakukan. Akan tetapi realitanya masih banyak umat mmuslim yang enggan
melaksanakan puasa dan hanya mengikuti hawa nafsunya semata. Hal ini menjadi pertanyaan
besar bagi kita apakah perintah Allah itu kurang jelas, atau ada kesalahan
dalam memahami puasa??. Jika kita mengatakan perintah itu kurang jelas berarti
kita belum yakin bahwa al-Qur’an wahyu dari Allah. Karena di dalam al-Qur’an
Allah memerintahkan umatnya agar melaksanakan ibadah puasa. Dan yang paling
memprihatinkan banyak dari umat isalam yang mengetahui
bahwa puasa itu sebagai perintah allah dan diwajibkan atasnya tapi ia enggan
dan hanya menuruti nafsunya.
G. Daftar pustaka
Shihab quraish.M, Wawasan Al-quran,
Jakarta: Mizan, 2008
Mahali Mudjab.A, Asbabun Nuzul,
jakarta: pesantren, 2002
Mas’ud Ibnu, terjemah singkat ibnu mas’ud, jakarta:
Pustaka azzam,2009
Al-maragi Mustafa Ahmad,tafsir Al-maragi,
semarang: Toha Putra,1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar