Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

Tafsir Ayat Puasa

BAB 1
PENDAHULUAN
Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam. Allah telah mewajibkan puasa kepada kita orang-orang islam sebagaimana Allah juga mewajibkan puasa terhadap orang-orang sebelum di utusnya Nabi Muhammad SAW. Puasa merupakan media yang ampuh untuk membersihkan jiwa, dan merupakan ibadah yang paling efektif untuk dapat menahan hawa nafsu. Karena itu, ibadah puasa diwajibkan dan disyari’atkan oleh seluruh ummat beragama, sekalipun bagi mereka yang menyembah berhala.
Konsepsi puasa dalam pemaknaan istilah seringkali dimaknai dalam pengertian sempit sebagai suatu prosesi menahan lapar dan haus serta yang membatalkan puasa yang dilakukan pada bulan ramadhan. Padahal hakekat puasa yang sebenarnya adalah menahan diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama. Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim terhadap umat lain yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini, interaksi sosial dapat digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya akan memberikan kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.
Dalam makalah ini, kami mencoba membahas empat ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang bersangkutan dengan puasa yang semuanya terdapat dalam surat Al-Baqarah, yaitu: Q.S Al-Baqarah 2: 183-185 dan 187. Dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana tuntunan puasa yang dijelaskan dalam Al-qur’an.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:183
v  Redaksi Ayat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
v  Mufradat Ayat
As-Shiyam
Menurut bahasa (etimologis) Shyam atau puasa berarti mengekang atau menahan diri dari sesuatu dan menurut syara (ajaran agama), puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkanya, dari mulai terbit fajar hingga ternenam matahari karena mengharap ridlo dari Allah SWT semata-mata dan disertai niat dan syarat “tertentu”. Di samping itu juga untuk melatih dari bertaqwa kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun sedang berkumpul dengan banyak orang.
v  Munasabah Ayat
Munasabah ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat setelah ayat ini, ayat ini menjelaskan tentang kewajiban berpuasa bagi orang yang beriman, selanjutnya ayat seterusnya menjelaskan lebih terperinci lagi tentang puasa.
v  Penafsiran Ayat
Ayat ini mengandung pengukuhan tentang ibadah puasa, sekaligus memberikan dorongan untuk melaksanakannya. Pada dasarnya diwajibkannya puasa terhadap kita agar untuk mempersiapkan diri untuk bertakwa kepada Allah SWT. Caranya adalah meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah dan mencari pahala-Nya. Dengan demikian, maka mental kita terlatih dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.
Karenanya kita dapat mengetahui bahwa Allah mewajibkan puasa itu juga untuk kemaslahatan kita sendiri. Jadi tidak seperti pemahaman kaum wasani yang beranggapan bahwa tujuan puasa adalah untuk memadamkan kemurkaan para dewa jika manusia melakukan sesuatu yang mengakibatkan kemurkaan dewa itu. Atau justru bahkan puasa ini sering dilaksanakan untuk tujuan-tujuan tertentu, bukan karena Allah.
Selanjutnya ibnu katsir berkata bahwa, diriwayatkan bahwa puasa awal mulanya seperti yang dilakukan ummat-ummat sebelum kita, yakni tiga hari setiap bulan (Mu’dz dan ibnu mas’ud). Puasa telah dilakukan ummat terdahulu seperti dijelaskan pada ayat diatas “kama kutiba ‘alal ladzina min qoblikum”. Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi sama dalam prinsip pokok akidah, syari’at, serta akhlaknya. Ini berarti semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Begitu juga puasa juga diajarkan dalam semua agama samawi, tetapi tentu saja cara dan kaifatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
B.     TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:184
v  Redaksi Ayat
أَيَّامًۭا مَّعْدُودَٰتٍۢ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
            Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
v  Mufradat Ayat
-          Al-Ithaqoh: mampu melakukan sesuatu meskipun disertai susah payah.
-          Al-fidyah: makanan yang diberikan kepada kaum fakir miskin sebagai pengganti hari dari hari-hari yang tidak dipuasai. Makanan tersebut terdiri dari makanan kebiasaan yang dimakan oleh penduduk setempat. Sedang jumlah pemberian itu ialah satu hari puasa diganti satu member makan kepada seorang fakir atau miskin.




v  Asbab An-Nuzul
Ayat ke-184 diturunkan sehubung dengan maula –hamba sahaya- yang telah dimerdekakan oleh Qois bin Saib yang memaksakan dirinya untuk melakukan ibadah puasa, sedangkan usianya sudah tua yang tidak mungkin lagi melakukan puasa. Dengan diturunkannya ayat ini, dia segera berbuka dan membayar fidyah dengan memberikan sedekah kepada fakir miskin. Selama dia tidak melakukan puasa di setiap harinya member makan kepada orang fakir miskin. (HR. Ibnu Sa’din dalam kitab Thobaqotnya dari Mujahid).
v  Penafsiran Ayat
Pada hari-hari tertentu yang dapat dihitung, yakni hari-hari pada bulan Ramadhan. Allah tidak mewajibkan kepada kita untuk melakukan puasa setahun penuh, dan Allah tidak memerintahkan kepada kita melakukan puasa sebanyak-banyaknya.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa siapapun dalam keadaan sakit atau safar (berpergian), maka jika tidak berpuasa wajib membayar qada’ sejumlah hari-hari yang tidak dipuasai. Mungkin dalam keadaan itu seseorang jika melaksanakan puasa akan mengakibatkan masyaqot baginya.
Beberapa ulama seperti diantaranya Ibnu Sirin, Ata’ dan Imam Bukhari berpendapat bahwa jenis penyakit apa saja yang merupakan rukhsoh bagi sesorang yang berpuasa untuk berbuka puasa. Pada kenyataanya ada beberapa jenis penyakit yang apabila dibawa puasa tidaklah mengganggu. Tetapi juga ada penyakit yang apabila dibawa puasa, maka penyakit tersebut semakin parah dan proses penyembuhannya semakin lama.
Selanjutnya batasan musaffir yang diperbolehkan untuk berbuka puasa ketika dalam perjalanan adalah sama dengan batasan diperbolehkannya menjalankan sholat dengan qasar. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Muslim dari Abu Daud dari Anas bin Malik bahwa: Rasulullah SAW. jika  melakukan perjalanan sepanjang tiga mil atau tiga farsahk, beliau melakukan shalat dua raka’at (qasar). Perjalanan seperti itu pada masa sekarang dapat ditempuh dengan waktu yang singkat, juga merupakan alas an diperbolehkannya seseorang berbuka puasa. Sebab pemahaman yang dapat disarikan dari hadist tersebut adalah jarak perjalanan, bukan waktu tempuhnya. Imam Malik dan Imam Syafi’I menilai bahwa bagi seorang yang melakukan perjalanan dalam keadaan puasa, lebih utama dan lebih baik berpuasa jika merasa dirinya mampu berpuasa. Dijelaskan dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa: “kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa dan tidak juga (mereka) yang berpuasa”.
   Kemudian dalam lanjutan ayat dijelaskan orang-orang yang tidak mampu melakukan puasa ialah orang-orang yang sudah lanjut usia, orang-orang lemah, orang-orang yang mempunyai penyakit menahun dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya dan orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat yang tidak mempunyai sumber rizki lain. Maka dalam kondisi semacam ini mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah.
Termasuk pesan yang terkandung dalam surat ini adalah wanita hamil dan menyusui. Bagi wanita hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain setelah melahirkan dan sudah merasa mampu. Ini di khawatirkan apabila melakukan puasa akan mengganggu janin atau bayi yang disusui.
C.    TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:185
v  Redaksi Ayat
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.



v  Tafsir ayat
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Penggalan ayat tersebut menjelaskan bahwa barang siapa yang menyaksikan masuknya bulan (Ramadhan) sedang dia tidak dalam perjalanan, dan kesaksiannya itu dengan perantara melihat hilal tanda masuk bulan, maka hendaknya berpuasa. Jadi siapapun melihat hilal atau mengetahui melalui orang lain yang dapat dipercaya, hendaknya ia melakukan puasa.
Dan bagi siapa saja yang tidak melihat hilal seperti penduduk kutub utara atau selatan (di kutub, jika malam itu panjang, di utara ataupun selatan secara bergantian malam dan siang per setengah tahun), maka kaum muslimin yang menempati tempat-tempat tersebut, harus mengira-ngirakan waktu selama sebulan. Sedang ukuran yang dipakai untuk wilayah tersebut adalah berdasarkan keadaan yang sedang (sub tropis), seperti permulaan disyari’atkannya puasa, makkah dan madinah. Dan ada pula yang mengatakan disamakan dengan Negara-negara tetangga yang bermusim sedang.
Pengulangan penggalan ayat وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ agar tidak timbul dugaan bahwa kewajiban puasa itu tidak dapat di tawar lagi, atau di sangka boleh melakukan rukhsoh hanya kurang terpuji,  karena telah dijelaskan tentang keagungan puasa dengan beberapa keistimewaan. Sehingga terdapat suatu riwayat yang menceritakan perihal sebagian para sahabat Nabi SAW. sekalipun para sahabat mengetahui hukum rukhsoh ini dari Al-Qur’an, tetapi mereka masih enggan melakukan berbuka puasa di siang hari ketika mereka melakukan perjalanan. Dan terusan ayat tersebut menyebutkan bahwa Allah menghendaki kemudahan dalam masalah puasa dan pada yang di syari’atkan untuk memperingan beban kalian, dan membuat agama menjadi mudah tidak ada kesulitan di dalamnya. Anas bin Malik berkata: “permudahlah dan jangan kalian mempersulit diri, dan buatlah selonggar mungkin, jangan mempersempit diri”
D.    TAFSIR Q.S AL-BAQARAH 2:187
v  Redaksi Ayat
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
v  Mufradat ayat
-          Ar-Rafast: bersetubuh dengan istri. Al-Azhari mengatakan bahwa rafast ini mencakup segala keinginan yang dikehendaki laki-laki terhadap wanita.
-          Tahtanuna anfusahun: menghianati dirimu sendiri dengan melakukan perbuatan yang kamu sendiri tahu bahwa perbuatan itu dalah haram.
-          Al-Khaitul Abyad: putihnya tanda siang pada permulaan, yang warna sinarnya sama seperti benang putih yang tipis dan panjang. Lama kelamaan menjadi menyebar.
-          Al-Kaitul aswad: gelapnya matahari yang pada mulanya berbentuk gelap seperti benang hitam di samping benang putih (sinar matahari).
-          Mubasyaroh: bersetubuh antara dua jenis atau bersetubuh.
-          Al-Hudud: bentuk tunggalnya adalah hadd. Secara bahasa berarti penghalang antara dua barang. Kemudian pengertiannya dipakai untuk hal-hal yang telah disyari’atkan Allah untuk para hamba-Nya berupa hukum. Sebab, masalah ini berate membatasi aktifitas hukum dan tujuannya. Jika seseorang melanggar batasan tersebut, berarti perbuatannya telah keluar dari batasan kebenaran.
v  Munasabah Ayat
Pada saat itu para sahabat Nabi beranggapan bahwa makan, minum dan menggauli istri di malam bulan Ramadhan hanya boleh dilakukan sebelum mereka tidur. Kalau sudah tidur (kemudian berjaga) tidak boleh. Di antara mereka ada sahabat anshor yang benama Qois bin Shirmah merasa sangat lelah setelah seharian bekerja. Oleh sebab itu setelah selesai shalat isya’ dia langsung tidur, sehingga sampai pagi dia tidak makan dan minum. Sementara ummar bin Khatab menggauli istrinya setelah tidur pada malam bulan Ramadhan, keesokan harinya dia menghadap Rasulullah SAW. untuk meminta pejelasan tentang hal tersebut. Sehubung dengan itu Allah SWT menurunkan ayat 187 yang pada pokoknya memberikan penjelasan tentang hukum makan, minum dan menggauli istri di malam bulan Ramadhan. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim).
v  Tafsir Ayat
            Ayat ini menjelaskan tentang dibolehkannya melakukan hubungan suami istri di malam bulan Ramadhan meskipun sehabis bangun tidur sebelum habisnya waktu sahur, dan ini berarti melakukan hubungan suami istri di saing hari pada bulan Ramadhan dilarang. Termasuk dalam masalah jima’ adalah mengeluarkan sperma dalam keadaan sadar dengan cara apapun. Karena itu walau surat ini tidak adanya larangan untuk benciuman atau pelukan antara suami istri, para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri karena dapat mengakibatkan timbulnya nafsu. Dan apabila berciuman sampai keluar sperma, maka puasanya batal dan wajib menggantinya di hari lain.
            Mayoritas ulama tidak mewajibkan bagi yang bersangkutan diatas untuk membayar kafarat. Adapun yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari menurut hadist Nabi SAW adalah dengan kafarat berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu ia harus memerdekakan hamba, jika tidak mampu juga member makan enam puluh orang miskin.
            Dalam ayat juga di jelaskan tujuan Allah menurunkan ayat ini karena Allah mengetahui bahwa semula mereka berijtihad tentang haram berhubungan suami istri seterlah tidur pada malam bulan puasa Ramadhan. Menurut mereka, sehabis tidur itu tidak dibolehkan malakukan hal-hal yang diharamkan diwaktu siang. Tetapi pada kenyataanya, mereka melanggar kenyakinan ini, yang berarti mereka menghianati diri mereka sendiri. Untuk itu selanjutnya menurunkan ayat yang menjelaskan boleh jima’ di malam hari, walau sehabis tidur sebelum waktu sahur habis. Mengingatkan hal ini, Rasulullah bersabda kepada kaum fakir miskin: “pada sebagian di antara kalian (suami istri) terdapat shodaqah, mereka bertanya: wahai Rasulullah, apakah salah seorang kita menyalurkan syahwatnya akan mendapat pahala?. Rasulullah SAW menjawab: bagaimana pendapat kalian jika hal ini letakkan di tempat yang haram, apakah ia mendapat dosa?. Mereka menjawab: tentu saja. Rasulullah menyahut: demikian juga jika diletakkan di tempat yang halal, maka akan mendapat pahala.”
Selanjutnya Allah menjelaskan tentang batasan waktu yang diperbolehkannya makan dan minum yakni sampai datangnya fajar, dan menyempurnakan puasanya sampai malam tiba, yaitu ternggelamnya matahari. Para imam menarik kesimpulan berdasarkan kandungan ayat bahwa puasa orang yang masih junub itu sah, sebab bersetubuhnya itu diperbolehkan sampai batas fajar.
E.     Analisis Ayat
Puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban yang harus di jalan oleh setiap orang islam yang sudah memenuhi syarat yang telah di tentukan. Puasa sendiri bukan hanya sekedar syari’at islam yang hanya menahan lapar dan haus belaka tanpa ada makna atau hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah tidak akan memerintahkan kepada makhluk-Nya tanpa ada manfaat yang berguna bagi makhluk itu sendiri, karena Allah SWT Maha Mengetahui.
Puasa bukan saja hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus, karena Nabi SAW sendiri menjelaskan bahwa:”banyak di antara orang-orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu yang dipuasainya, melainkan rasa lapar dan dahaga”. Hakekat puasa sendiri itu adalah upaya manusia dalam meneladani sifat-sifat Allah SWT kecuali sifat ketuhanan-Nya, Nabi pun memerintahkan: berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah. Dalam hal ini beberapa contoh puasa dalam meneladani sifat-sifat Allah di antaranya:
-          Member makan kepada fakir miskin, sesuai dalam Al-Qur’an QS. Al-An’am 6:14
Pencipta langit dan bumi, memberi makan dan tidak di beri makan
-          Tidak melakukan hubungan jima’, sesuai dalam Al-Qur’an QS. Al-An’am 6:101
Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai teman (istri)
Sifat-sifat diatas awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan member makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak melakukan jima’ walaupun ada pasangan.
            Namun dari segi subtansi, puasa seharusnya berakhir dengan terpantulnya sifat-sifat Allah (kecuali sifat ketuhanan-Nya) dalam kepribadian seseorang, karena puasa itu sendiri adalah upaya untuk meneladani sifat-sifat Allah sesuai dengan kemampuan manusia sebagai makhluk. Dengan sifat Allah Ar-Rohman, yang berpuasa melatih diri melatih member kasih kepada semua makhluk tanpa terkecuali. Sifat Al-Quds, yang berpuasa mensucikan diri. Al-Afwu, seorang akan senantiasa member maaf. Al-Karim,  seorang akan menjadi dermawan.
F.     kesimpulan
            Puasa adalah ibadah yang bermula dari menahan diri dari nafsu makan , minum dan menahan hubungan dengan pasangan semenjak terbit hingga terbenamnya matahari, bahkan puasa dapat diartikan menahan diri dari hawa nafsu yang dapat di sebabkan oleh aggota tubuh kita, sehingga seluruh anggota tubuh ini pada hakekatnya harus ikut berpuasa.
             Dengan menjalani ibadah puasa juga, seharusnya umat manusia dapat mengambil nilai atau pelajaran sosial yang trkandung didalam, karna hikmah puasa juga agar kita peka terhadap sesama, sehingga mengerti apa yang harus kita lakukan.  Akan tetapi realitanya masih banyak umat mmuslim yang enggan melaksanakan puasa dan hanya mengikuti hawa nafsunya semata. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kita apakah perintah Allah itu kurang jelas, atau ada kesalahan dalam memahami puasa??. Jika kita mengatakan perintah itu kurang jelas berarti kita belum yakin bahwa al-Qur’an wahyu dari Allah. Karena di dalam al-Qur’an Allah memerintahkan umatnya agar melaksanakan ibadah puasa. Dan yang paling memprihatinkan banyak dari umat isalam yang mengetahui bahwa puasa itu sebagai perintah allah dan diwajibkan atasnya tapi ia enggan dan hanya menuruti nafsunya.
G.     Daftar pustaka

Shihab quraish.M, Wawasan Al-quran, Jakarta: Mizan, 2008
Mahali Mudjab.A, Asbabun Nuzul, jakarta: pesantren, 2002
Mas’ud Ibnu, terjemah singkat ibnu mas’ud, jakarta: Pustaka azzam,2009
 Al-maragi Mustafa Ahmad,tafsir Al-maragi, semarang: Toha Putra,1987












                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar