Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

Antara Para Wali dan Paranormal Oleh KH. A. Mustofa Bisri Seri ke-8, Rabu, 25 Agustus 1999

Tanya:
Pak Mus, saya ingin menanyakan tentang wali Allah yang menurut sementara orang adalah orang yang suci dan mempunyai kemampuan linuwih (semacam mukjizat). Katanya wali itu sukanya aneh-aneh atau nyentrik dalam berpakaian dan berperilaku, tidak seperti umumnya yang biasa.

Apakah atau siapakah sebenarnya wali itu? Bisakah orang biasa mengetahui seseorang itu menjadi wali atau tidak? Apakah wali sama dengan mereka yang disebut "paranormal" atau "orang pintar"? Mohon dijelaskan sejelas-jelasnya.

Atas penjelasan Pak Mus saya sampaikan banyak terima kasih.

Hamba Allah
dari Semarang Timur


Jawab:
Memang akhir-akhir ini, entah kenapa, saya banyak menerima pertanyaan seperti yang Anda ajukan. Apa memang karena sekarang ini banyak "wali" bermunculan, ataukah ini justru pertanda masyarakat sebenarnya mengharap-harap munculnya wali-wali, orang-orang bersih, tempat berpaling?

Percaya atau tidak, saya pernah ditanya oleh seseorang apakah Gus Dur (Abdurrachman Wahid) dan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) itu wali. (Ini barangkali juga karena opini yang berkembang di masyarakat tentang wali; orang hebat yang sekaligus nyentrik).

Terlepas dari itu, saya ingin menjawab pertanyaan Anda berdasarkan apa yang saya ketahui. Mudah-mudahan jawaban saya ada manfaatnya khususnya bagi merteka yang menaruh perhatian terhadap masalah ini.

Menurut bahasa, wali itu lawan kata 'aduw, musuh. Jadi, bisa berarti sahabat, kawan, atau kekasih. Umumnya wali Allah berarti kekasih Allah.

Menurut istilah Ahli Hakikat, wlai mempunyai dua pengertian.

Pertama, orang yang dijaga dan dilindungi Allah, sehingga dia tidak dan tidak perlu menyandarkan diri dan mengandalkan pada dirinya sendiri. Seperti dalam Al-Quran surah 7. Al-A'raaf: 196:

Al-Quran surah 7. Al-A'raaf: 196
"Sesungguhnya pelindungku ialah Allah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) dan Dia melindung orang-orang yang saleh."

Kedua, orang yang melaksanakn ibadah kepada Allah dan mentaati-Nya secara tekun terus-menerus tak pernah kendur dan tidak diselingi dengan berbuat maksiat, maka Allah pun mencintainya dan melindunginya.

Keduanya, menurut Ahli Hakikat, merupakan syarat kewalian. Wali haruslah orang yang terpelihara (mahfuzh) dari melanggar syarak dan karenanya dilindungi oleh Allah, sebagaimana nabi adalah orang yang terjaga (ma'shum) dari berbuat dosa dan dijaga oleh-Nya.

Jadi, setiap orang yang melanggar syarak kok mengaku ---atau dianggap--- wali, jelas dia adalah orang yang menipu atau tertipu.

Ada yang mengatakan tanda-tanda wali Allah ada tiga:
  • Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah
  • Tujuannya hanya kepada Allah
  • Kesibukannnya hanya dengan Allah
Ada juga yang mengatakan tanda-tanda wali Alllah: senantiasa memandang rendah dan kecil kepada diri sendiri serta khawatir akah jatuh dari kedudukannya (di mata Allah) di mana dia berada (Baca "Jamharat al-Auliyaa wa a'laamu Ahli at-Tashawwuf," halaman 73-119).

Kalau menurut Al-Quranm ini tentu saja yang paling benar, wali Allah adalah orang-orang mukmin yang senantiasa bertakwa dan karenanya mendapat karunia tidak mempunyai rasa takut (kecuali kepada Allah) dan tidak pernah bersedih. Seperti dalam Al-Quran surah 10. Yunus 62-63:

Al-Quran surah 10. Yunus 62-63
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah it, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa."

Atau dengan kata lain, wali Allah adalah orang mukmin yang senantiasa mendekat (taqarrub) kepada Allah dengan terus mematuhi-Nya dan mematuhi Rasul-Nya. Sehingga kahirnya dia dianugerahi karamah, semacam "sifat ilmu linuwih" (seperti mukjizat untuk nabi, bedanya, mukjizat nabi mengikui pengakuat ---dan sebagai bukti--- kenabian; sedang karamah wali tidak mengikuti pengakuan kewalian).

Dalam sebuah hadis Qudsi (hadis Nabi Saw. yang menceritakan firman Allah) yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda yang artinya demikian:
"Allah Ta'ala telah berfirman: 'Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka aku benar-benar mengumumkan perang terhadapnya. Hambaku tidak berdekat-dekat, taqarrub, kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah Aku fardukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya dengan apa yang ia melihat. Akulah tengannya dengan apa yang ia memukul. Akulah kakinya dengan apa yang ia berjalan. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku Aku akan melindunginya."

Boleh saja orang mempunyai "sifat linuwih" ---misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan binatang atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, atau kesentikan-kesentikan lainnya--- tapi tentu saja dia tidak otomatis bisa disebut wali. Sebab Dajjal, dukun, tukang sihir, "ahli hikmah", tukang sulap, atau paranormal pun bisa memperlihatkan kesentikan-kesentikan semacam itu. (Ingat, David Copperfield pun bahkan bisa menembus Tembok Cina).

Sebaliknya, bisa saja seorang wali dalam kehidupannya sama sekali tidak tampak "lain" dari orang-orang biasa. Lihat saja, dari sembilan wali Tanah Jawa, yang terkenal punya kesentikan paling-paling hanya Sunan Kalijaga yang membuat soko guru mesjid Demak dengan tatal dan Sunan Bonang yang mengubah buah pindang tampak menjadi emas.

Jadi, kewalian seseorang tidak diukur dengan keanehan dan kesentikannya, apalagi dengan kenyentrikan pakaian dan perilakunya, melainkan dari kedekatan dan ketakwaan kepada Allah.

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar