Powered By Blogger

Sabtu, 09 November 2013

Tafsir Ahkam: Hukum Khamr (Minuman Keras)

BAB   I
PENDAHULUAN
            Modernisasi adalah suatu keniscayaan bagi umat manusia. Dalam pengertiannya, Wilbert E Moore menyebutkan bahwa modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan manusia yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi cirri negara barat yang stabil. Sementara menurut J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
            Modernitas tidak bisa lepas dari globalisasi, adanya kedua hal tersebut terdapat dampak positif yang bisa kita rasakan, seperti; tingkat kehidupan yang lebih baik dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, akses informasi yang cepat, produktifitas tinggi, dan yang terakhir adalah pola pikir irasional menjadi rasional atau modern. Namun modernisasi dan globalisasi juga tidak luput dari sebuah kelemahan atau efek negative yang ditimbulkannya, seperti hilangnya tata nilai dalam masyarakat, pola hidup yang konsumtif, gaya hidup yang kebarat-baratan, dan sekularisme.
            Antara gaya hidup yang kebarat-baratan dengan sekularisme tentu saja mempengaruhi pola prilaku bagi masyarakat khususnya Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Agama tidak lagi menjadi pegangan hidup, dan posisinya semakin terpinggirkan. Hal ini mengakibatkan banyak manusia yang semakin jauh dari aspek spiritualitas. Bahkan banyak remaja –terlahir sebagai manusia modern—yang sudah tidak lagi mengenal agama dalam hidupnya, yang akhirnya perilaku sex bebas, narkoba, miras, minol, dan perjudian menjadi tren masyarakat timur sekarang ini. Mereka berpendapat hal tersebut adalah suatu modernisasi yang apabila tidak diikuti maka mereka akan dianggap ketinggalan zaman dan tereksklusikan dari hubungan sosial dalam peer group-nya sendiri.
            Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dalam Islam –al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber utama hukum Islam— sangat melarang perbuatan-perbuatan seperti sex bebas, narkoba, minum minuman keras, dan berjudi. Namun bila kita melihat apa yang terjadi sehari-hari di lingkungan sekitar kita, secara langsung maupun tayangan di media-media informasi, perilaku-perilaku yang melanggar tata norma bahkan hukum Islam itu sendiri sudah menjadi hal yang lumrah dan merupakan suatu kewajaran. Faktor kewajaran inilah yang mendorong manusia-manusia modern sudah tidak takut lagi mencoba hal-hal yang menurut asalnya bertentangan dengan tata norma dan Islam. Salah satu pelanggaran yang menjadi sebuah kewajaran adalah miras dan minol, yang dalam Islam disebut Khamr,
            Miras dan minol bukan saja identik dengan kebudayaan barat yang sekuler, namun jenis-jenis minuman keras juga banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti tuak dan arak yang merupakan produk asli suku-suku di Indonesia dan merupakan menjadi jamuan wajib pada upacara-upacara dan ritual adat setempat. Jadi dalam beberapa kasus di Indonesia, minuman keras jenis arak dan tuak sudah menjadi bagian dari kebudayaan di beberapa suku di Indonesia
Di satu sisi modernisasi, dan globalisasi memang tidak terelakkan bagi masyarakat yang dinamis, yang mendambakan perubahan-perubahan kearah lebih baik bagi manusia, namun di sisi yang lain membuat manusia kehilangan spiriualitas dalam dirinya. Serta beberapa kebudayaan yang menuntut masyarakatnya untuk tetap melestarikan budaya asli sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Disinilah sebenarnya peran agama –Islam sebagai hudan linnas— menjadi sangat penting sebagai solusi dari kasus-kasus factual yang terjadi pada masyarakat modern.
Sebagaimana diketehui bahwa al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, yang didalamnya berisi tiga aspek. Aspek pertama dan kedua adalah I’tiqadiyyah atau ketauhidan dan Akhlak, hal ini dijelaskan kepada manusia agar mereka mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah. dan yang ketiga adalah aspek hukum Islam dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi manusia. Hubungan ini meliputi hubungan manusia dengan Khalik dan hubungan esame manusia serta alam lingkungan dimana manusia itu berada. Al-Qur’an juga diturunkan kepada umat manusia di bumi agar terjadi perubahan kearah yang lebih positif dalam kehidupan manusia, serta agar manusia dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Dalam kasus miras dan minol –dalam hal ini dikategorikan sebagai khamr—, Allah memberikan larangan keras kepada dua hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Maidah ayat 90-91. Namun pengharaman tersebut, Allah tidak langsung mengukuminya, akan tetapi terdapat proses hingga akhirnya secara tegas khamr diharamkan bagi umat Islam.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan beberapa ayat-ayat hukum tentang Khamr, Maysir, Anshab, dan Azlam, yang pada dewasa ini, perbuatan-perbuatan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi masyarakat modern di Indonesia, bahkan menjadi tradisi di beberapa daerah di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    KHAMR
Secara etimologi, khamr (خمر) berasal dari kata khamara (خمر) yang artinya adalah penutup dan menutupi. Maksud penutup adalah bahwa khamr dapat menutup akal fikiran dan logika seseorang bagi yang meminumnya. Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikutip dari Al-Isfihani[1] khamr berarti minuman yang dapat menutup akal atau memabukkan, baik orang yang meminumnya itu mabuk ataupun tidak. Jadi minuman yang memabukkan itu disebut khamr karena ia dapat menutup akal manusia. Salah satu alasan inilah khamr diharamkan dalam Islam disamping beberapa alasan lain.
Pada zaman jahiliyyah, minuman khamr adalah suatu hal yang sangat disenangi, dan meminum khamr sudah menjadi suatu kewajaran pada masyarakat Arab, karena itu al-Qur’an tidak melarangnya dengan secara sekaligus. Ada beberapa tahap perbincangan al-Qur’an mengenai khamr, yaitu sebagai berikut :
1.      Surat An-Nahl ayat 67
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya : Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Tafsir Ayat : Dalam ayat ini Allah menyebut macam minuman yang dihasilkan oleh buah-buahan seperti kurma dan anggur, yaitu yang kamu jadikan minuman yang memabukkan dan juga dari kedua pohon itu terdapat rizki yang baik, yakni dari buah-buahan yang sudah kering. Dan itulah terdapat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.[2]
Setelah ayat ini turun, kaum muslimin masih meminum khamr karena bagi mereka pengharaman khamr masih belum ada dalam ayat ini. Namun menurut Fazlur Rahman, khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian di Mekkah, dan ayat ini merupakan Tahrim ‘am (pengharaman yang bersifat umum) dan belum secara tegas.[3] Indikasi dari pengharaman tersebut ialah bagaimana Allah telah memberi peringatan kepada umat manusia atas efek memabukkan dari minuman yang terbuat dari buah kurma dan anggur. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa masuk Islamnya A’sya Ibnu Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di hadapan Rasulullah, ditengah jalan ia dicegat oleh Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. “Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,”  kata mereka. Kata A’sya “Aku tidak keberatan”. “Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr”, kata mereka lagi , dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Mekkah, ketika Abu jahal masih hidup. Abu jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum surat al-Maidah ayat 90-91 turun. Dalam Hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani, dari Mu’adz Ibn Jabal, disebutkan bahwa yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.
Fazlur Rahman juga berpendapat, yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surat al-A’raf ayat 33 :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ.
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa (al-itsm), melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". al-itsm dalam ayat ini adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 219. Al-A’raf merupakan surat yang turun dalam periode Makiyyah awal.[4]
Kata al-itsm yang berarti khamr juga terdapat dalam perkataan syair. :
شربت الاثم ضلّ عقلى كذالك الاثم يذهب بالعقول
          “Ku minum khamr hingga akalku hilang, demikian juga dosa dapat membuat akal menghilang”. Sesungguhnya ia menggunak kata ‘itsm” sebagai ganti kata “khamr” secara kiasan atau majaz, yang artinya bahwa khamr itu bisa menimbulkan perbuatan dosa.[5]
2.      Surat al-Baqarah ayat 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ.
Arinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,
Asbabun Nuzul : Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: “Tatkala Rasulullah SAW datang ke Madinah, beliau melihat para sahabat sedang minum khamr (arak/ minuman yang memabukkan) dan bermain judi. Kemudian mereka menanyakan kedua hal tersebut kepada Rasulullah, maka Allah menurunkan ayat ini.[6]
Tafsir Ayat :
Maksudnya, kaum mukminin bertanya kepadamu wahai Rasul tentang hukum khamr dan judi, di mana pada zaman jahiliyah kedua hal tersebut sering dilakukan dan juga pada awal-awal Islam. Seolah-olah terjadi kesulitan memahami kedua perkara tersebut. Karena itu, mereka bertanya kepadamu tentang hukum-hukumnya. Maka Allah Ta’ala memerintahkan kepada NabiNya untuk menjelaskan manfaat-manfaatnya dan kemudharatannya kepada mereka agar hal tersebut menjadi pendahuluan untuk pengharamannya dan wajib meninggalkan kedua perbuatan tersebut secara total. 
Allah mengabarkan bahwa dosa dan mudharat keduanya serta apa yang diakibatkan oleh keduanya seperti hilangnya ingatan, harta dan menghalangi dari berdzikir kepada Allah, dari shalat, (menimbulkan) permusuhan dan saling benci, adalah lebih besar Didapatkan harta dengan berjual beli khamr atau memperolehnya dengan cara judi atau kebahagiaan hati saat melakukannya.[7]
Dan penjelasan ini merupakan pencegahan dari kedua perbuatan tersebut, karena seorang yang berakal akan lebih memilih sesuatu yang kemaslahatannya lebih besar, dan ia akan menjauhi suatu yang mudharatnya lebih besar. Akan tetapi, ketika mereka sudah begitu terbiasa dengan kedua perkara tersebut dan sulit untuk meninggalkannya secara total pada awal-awalnya, maka Allah memulai hal tersebut dengan ayat ini sebagai pendahuluan menuju kepada pengharaman secara mutlak yang disebutkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan.” (Al-Maidah: 90). Sampai firmanNya,”Berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah:91) 
Ini adalah kasih sayang, rahmat dan kebijaksanaanNya. Oleh karena itu, ketika ayat ini turun, Umar radhiallahu ‘anhu berkata,”Kami berhenti, kami berhenti” ( Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/53, Abu Daud 3670, at-Tirmidzi 3049, an-Nasa’I 8/286, dishahihkan oleh al-Madiny dan at-Tirmidzi, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/87.).[8]
Khamr artinya adalah semua yang memabukkan lagi menghilangkan akal pikiran dan menutupinya, dari apa pun macamnya. Sedangkan judi adalah segala macam usaha saling mengalahkan yang di dalamnya terdapat taruhan dari kedua belah pihak seperti dadu atau catur dan segala macam usaha saling mengalahkan baik perkataan maupun perbuatan dengan taruhan, tentunya selain dari perlombaan berkuda, unta dan memanah, karena hal-hal itu semua adalah boleh karena hal-hal tersebut sangat membantu dalam jihad, karena itulah Allah membolehkannya.
Pengetahuan dalam pengharaman khamr dilakukan karena khamr mengganggu stabilitas akal dan mengilangkan fungsinya, sehingga bisa menimbulkan bahaya besar terhadap tubuh, syaraf, akal, dan akhlak. Seperti pernyataan Dr. Muhammad Washfi dalam bukunya al-Qur’an wa ath-Thibb, halaman 138 sebagai berikut : “Khamr mempengaruhi pusat-pusat syaraf, merangsangnya pada kali pertama, selanjutnya berubah menjadi kebekuan pada syaraf-syarafnya, dan berakhir dengan pembiusan dan penghentian aksinya. Oleh karena itu khamr menyebabkan kematian akibat pengaruh langsung penghentian pusat-pusat syaraf dalam tubuh. Keadan ini dapat kita lihat dalam diri peminum khamr. Pada fase pertama ia akan kehilangan sifat menjaga kehormatan diri dan rasa malu. Mulutnya mengucapkan hal-hal seandainya akalnya mampu menahannya ia tidak akan mengucapkan-nya. Kemudian timbullah perbuatan-perbuatan, gerakan-gerakan, tertawa dengan buruk dan tanpa sebab. Dalam keadaan mabuk manusia seperti hewan yang hina dan melanggar kehormatan dan agama. Ia amat mudah terjatuh dalam jurang kehinaan dan keburukan. Kondisi seperti ini terjadi sesaat dan kemudian menjadi tak sadar.
Pada fase kedua, orang yang meminum khamr akan terganggu proses berfikirnya, kehilangan perasaan, dan menampakkan diri dalam kebodohan yang amat sangat. Pada fase ketiga, setelah racun mulai beroperasi di pusat-pusat syaraf kehidupan dalam tubuh dan menumpulkan pekerjaannya, terjadilah kematian. Kematian bisa disebabkan oleh khamr yang merusak proses bekerjanya pusat alat pernafasan dan distribusi darah dalam tubuh.”[9]
3.      Surat An-Nisaa’ ayat 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Asbabun Nuzul :
Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, meriwayatkan bahwa Ali berkata. “Pada suatu hari abdurahman bin Auf membuatkan makanan untuk kami. Lalu dia mengundang kami untuk makan dan menyediakan khamr sebagai minumannya. Lalu saya meminum khamr itu. kemudian tiba waktu shalat dan orang-orang menyuruhku untuk menjadi imam. Lalu saya membaca ayat :
(3) وَ نَحْنُ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْن (2)  لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (1)قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
Katakan lah (Muhammad) “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah.
            Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.
            Al-Faryabi, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Firman Allah, ’… dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja,… (an-Nisaa’ : 43) turun pada seseorang yang melakukan perjalanan kemudian dia junub lalu tayamum dan shalat setelahnya.”[10]
            Tafsir ayat :
            Allah SWT, melarang orang-orang mukmin melakukan shalat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat shalat (yaitu mesjid-mesjid) bagi orang yang mempunyai jinabat (hadas besar), kecuali jika ia hanya sekedar melewatinya dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya. Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamar diharamkan secara tegas.[11]
            Secara umum ayat ini bermaksud untuk memberi peringatan kepada kaum mu’min untuk menjauhi shalat jika ia dalam keadaan mabuk. Hal ini berbeda dengan tafsir ayat sebelumnya, yaitu surat al-Baqarah ayat 219, dimana orang mu’min diwajibkan mengerjakan sholat walaupun dalam keadaan mabuk setelah minum khamr. Karena hukum wajibnya sholat lebih dulu dibandingkan kharamnya khamr bagi umat Muslim.
            Namun setelah ayat an-Nisa’ turun, para sahabat masih belum sepenuhnya bisa meninggalkan khamr dalam kesehariannya, karena ayat tersebut hanya menyuruh mat Muslim menjauhi sholat jika ia dalam keadaan mabuk. Jadi para sahabat meminum khamr hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah waktu sholat Isya’ dan shubuh. Karena diwaktu-waktu itu jarak waktu sholat masih relatif panjang untuk menghilangkan efek dari khamr yang memabukkan dan menyebabkan umat Muslim meninggalkan wajibnya sholat.
4.       Surat al-Ma’idah Ayat 90-91
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
(QS. Al-Maidah : 90-91)
            Asbabun Nuzul : Sa’ad r.a berkata, “Seorang sahabat Anshar membuat makanan dan mengundang kami, maka kami minum khamr sebelum diharamkan sehingga mabuk, lalu masing-masing berbangga terhadap kaumnya sendiri. seorang Anshar berkata, “kamilah orang-orang yang lebih afdhol (utama)”. Kemudian orang Quraisy juga berkata, “Kami yang lebih afdhol.” Tiba-tiba seorang dari kaum Anshor mengambil tulang binatang yang sudah disembelih dan dipukulkan pada hidungnya. Maka turunlah ayat 90-91 ini. (R. Muslim dan al-Baihaqi).
            Ibn Abbas r.a berkata, “Sesungguhnya turunnya ayat yang mengharamkan khamr mengenai kejadian dua suku Anshar yang minum khamr, dan ketika telah mabuk yang satu mengganggu yang lain, kemudian ketika sadar seorang melihat muka, kepala dan janggutnya bekas pukulan yang berat sehingga ia berkata, “Saudaraku Fulan telah berbuat sedemikian terhadapku, demi Allah andaikan ia sayang padaku, tentu ia tak akan berbuat sedemikian”. Maka mulailah timbul rasa dendamdan sakit hati, maka Allah menurunkan ayat ini.[12]
            Dalam kedua ayat tersebut Allah mempertegas diharamkannya arak dan judi yang diiringi pula dengan menyebut berhala dan undian dengan dinilainya sebagai perbuatan najis (kotor). Kata-kata His (kotor, najis) ini tidak pernah dipakai dalam al-Quran, kecuali terhadap hal yang memang sangat kotor dan jelek.
Khamar dan judi adalah berasal dari perbuatan syaitan, sedang syaitan hanya gemar berbuat yang tidak baik dan mungkar. Justru itulah al-Quran menyerukan kepada umat Islam untuk menjauhi kedua perbuatan itu sebagai jalan untuk menuju kepada kebagiaan.
Selanjutnya al-Quran menjelaskan juga tentang bahaya arak dan judi dalam masyarakat, yang di antaranya dapat mematahkan orang untuk mengerjakan sembahyang dan menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sedang bahayanya dalam jiwa, yaitu dapat menghalang untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama, diantaranya ialah zikrullah dan sembahyang.
Terakhir al-Quran menyerukan supaya kita berhenti dari minum arak dan bermain judi. Seruannya diungkapkan dengan kata-kata yang tajam sekali, yaitu dengan kata-kata: فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ؟ (apakah kamu tidak mau berhenti?). Jawab seorang mu'min terhadap seruan ini: "Ya, kami telah berhenti, ya Allah!"[13]





BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya, orang Arab ketika itu (ketika masa Rasulullah) merasa bangga dan tinggi status sosialnya bila berjudi dan memium khamr. Karena kedua hal tersebut dapat mendorong seseorang untuki bersikap pemberani dan rela berkorban. Oleh karena gaya hidup yang telah mendarah daging tersebut, maka mula-mula agama Islam tidak langsung mengharamkan kedua hal tersebut, tetapi hanya memberikan isyarat bahwa kedua hal tersebut tidak baik. Allah telah memberikan isyarat tentang tidak baiknya khamr seperti yang terkandung dalam surat an-Nahl ayat 67.
Kemudian Allah menjelaskan tentang bahaya meminum khamr dan berjudi dengan ungkapan yang lebih jelas dalam surat al-Baqarah ayat 219, yang menjelaskan tentang kemudharatan yang lebih besar dari pada manfaatnya dari perbuatan meminum khamr dan judi. Dalam tahap berikutnya, khamr telah dilarang pada waktu-waktu tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 43. Berdasarkan ayat ini, sebagian sahabat telah meninggalkan khamr pada waktu siang setelah dhuhur sampai datangnya Isya’. Sedang sebagian yang lain mengetahui bahwa khamr diharamkan secara mutlak, sehingga mereka telah meninggalkan sepenuhnya.
Kemudian setelah umat muslim benar-benar merasakan efek negative dari khamr, yaitu timbulnya permusuhan, maka Allah mengharamkan khamr secara tegas dengan turunnya surat al-Maidah ayat 90-91. Setelah ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah, maka para sahabat yang bertaqwa menjawab dengan suara yang keras, “Kami telah berhenti dari perbuatan itu”.
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa hukum syara’ itu ditetapkan secara bertahap, sesuai dengan situasi dan kondisi. Semula suatu perbuatan itu dibiarkan hukumnya sesuai dengan hukum yang ada. Kemudian barulah diharamkan dan mengganti (menasakh) hukum yang dahulu dengan hukum yang datang kemudian. Setelah syari’at Islam turun dengan sempurna, maka hukum yang telah ditetapkan tersebut berlaku hingga hari kiamat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali ash-Shabuni, Shofwah at-Tafasir juz 1 (Beirut libanon: Maktabah al-Ashriyyah)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid III, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1992)
Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012)
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta, Gema Insani, 2008)
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik ayat-ayat Hukum, (Jakarta, Amzah 2011)
Syaikh Salim B, Ensiklopedi Larangan, (Niaga Swadaya, 2010)
Syekh Fauzi Muhammad, Hidangan Islami : Ulasan Komprehensif berdasarkan Syari’at dan sains Modern, Terj. Abdul Hayyi al-Kattanie, (Jakarta, Gemma Insani Press, 1997)



[1] Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik ayat-ayat Hukum, (Jakarta, Amzah 2011), hlm. 171
[2] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986) hlm. 576
[3] Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012) Hlm. 228.
[4] Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012) Hlm. 228.
[5] Syaikh Salim B, Ensiklopedi Larangan, (Niaga Swadaya, 2010), hlm 177
[7] ali ash-Shabuni, shofwah at-Tafasir juz 1 (Beirut libanon: Maktabah al-Ashriyyah) hlm. 362
[8] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986) hlm. 382
[9] Syekh Fauzi Muhammad, Hidangan Islami : Ulasan Komprehensif berdasarkan Syari’at dan sains Modern, Terj. Abdul Hayyi al-Kattanie, (Jakarta, Gemma Insani Press, 1997) Hlm. 69
[10] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta, Gema Insani, 2008), hlm. 198
[11] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990) hlm. 162
[12] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid III, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990) hlm. 168
[13] Ibid

Rabu, 06 November 2013

Sekilas Tentang Tafsir Al-Qosimy

A.    Pendahuluan
Perkembangan keilmuan Islam pastilah tidak bisa dilepaskan dengan penafsiran al-Qur’an. Terdapat banyak sekali kajian yang telah dilahirkan oleh para ‘ulama untuk menjelaskan setiap kandungan yang terdapat didalamnya. Para ‘ulama memiliki keilmuan yang mumpuni didalamnya untuk mendukung argumen yang dipaparkan dalam setiap menafsiri ayat-ayat dalam al-Qur’an. Penafsiran inilah yang melahirkan berbagai pemikiran pembahasan yang tidak terbatas untuk selalu dipelajari dan dielaborasikan setiap masa. Bahkan kajian menafsiri al-Qur’an tidak terbatas dalam pemikiran umat muslim saja akan tertapi berkembang meluas sampai kepada para orientalis pun telah banyak yang menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman mereka sendiri.
Dalam kemunculan suatu pemikiran tafsir tidak dapat dielakkan bahwa pemikiran yang muncul dari para ‘ulama pasti memiliki beberapa faktor yang melingkupi pemikirannya. Faktor-faktor yang muncul dari dalam al-Qur’an disebut dengan al-’awaamil ad-daakhiliyyah. Sedangkan faktor-faktor yang muncul dari luar disebut dengan al-’awaamil al-khaarijiyyah. Faktor-faktor yang muncul dari luar dapat dicontohkan beberapa hal, seperti subyektifitas mufassir, faktor ideology (madzhab) yang berkembang saat itu, bahkan politik kekuasaan pun ikut memengaruhi suatu buah pemikiran. Hal ini didukung oleh Michel Foucault seorang sosiolog keagamaan yang menyebutkan bahwa sebuah perkembangan ilmu pengetahuan, mazhab, atau pemikiran, apapun namanya (termasuk tafsir di dalamnya), tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan.
Salah satu corak tafsir yang berkembang adalah tafsir ‘ilmi, kemunculan tafsir ini disebabkan para ulama merasakan bahwa al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Para ‘ulama ini merupakan para cendekiawan yang merasa prihatin atas dasarnya minimnya kajian sains modern dengan kaitan keilmuan al-Qur’an. Maka dari itu tafsir dengan corak ilmi mencoba memindahkan semua bidang pengetahuan kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran Al-Qur’an. Adapun salah satu pelopor ‘ulama yang perhatian pada keberadaan tafsir ilmiah adalah Amin al-Khuli.
Salah satu kitab tafsir yang dipengaruhi corak penafsiran ilmiah adalah tafsirMahaasin at-Ta’wiil karya Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi. Dalam kitab tafsir ini, beliau mengetengahkan pembahasan yang berusaha menjelaskan masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Walaupun kajian dalam tulisan ini dirasa kurang lengkap dan kurang mendalam, tetapi paling tidak, tetapi diharapkan tulisan ini bisa menjadi salah satu pelopor untuk melakukan kajian yang lebih mendalam dan lebih serius terhadap kitab tafsir karya al-Qasimi ini.
B. Setting Historis-Biografis al-Qasimi
1. Latar Belakang Sosial dan Aktivitas Intelektual
Nama lengkap beliau adalah Jamal ad-Din bin asy-Syaikh Muhammad Sa’id ad-Dimasyqi bin asy-Syaikh Muhammad Qasim al-Hallaq asy-Syafi’i al-Atsari. Beliau hidup dalam kurun waktu antara tahun 1283-1332  H atau 1866-1914 M, yaitu selama 49 tahun. Al-Qasimi dilahirkan dan wafat di Damaskus.[1] Beliau tumbuh di tengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu. Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang sastrawan yang bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi al-Khair. Ayahnya  mewarisi perpustakaan yang berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah inilah yang mewariskan dan mengalirkan berbagai ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya. Selain beliau sendiri juga menggali keilmuan dari ‘ulama lainnya.
Warisan dari ayahanda ini mendukung al-Qasimi untuk menjadi seseorang yang banyak mengkaji karya-karya para ahli hadis, usul fikih, fikih, tasawuf, ilmu kalam, sastra, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Tidak mengherankan jika beliau menjadi seorang ilmuwan yang mumpuni dalam beberapa ilmu pengetahuan. Walaupun beliau lebih banyak belajar secara autodidak lewat buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya, beliau juga tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh ilmuwan lain. Muhammad Abduh merupakan salah satu ulama yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual beliau. Sejak perkenalan beliau dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904, beliau mengganti gaya bahasa sajak yang sejak lama digelutinya dengan gaya bahasa prosa dalam banyak karya tulisnya.
Kemudian, dikarenakan al-Qasimi menjadi seorang pakar dari berbagai cabang ilmu pengetahuan Beliau kemudian memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang pendidikan pada masa itu.[2] Beliau juga termasuk orang yang anti taklid dan menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Sehingga pemerintah mendukung dan mendelegasikannya selama empat tahun, yaitu pada tahun 1308-1312 H, untuk mengadakan perjalanan intelektual ke negara Syuriah. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan mengunjungi Madinah. Akan tetapi Setelah kembali dari tugasnya, beliau dituduh mendirikan mazhab agama yang baru, yang diberi nama Madzhab al-Jamalii. Maka, pada tahun 1313 H, beliau ditangkap oleh pemerintah dan diinterogasi.[3] Akan tetapi, akhirnya beliau dibebaskan kembali.[4] Setelah peristiwa penangkapan tersebut, al-Qasimi menetap di Damaskus. Beliau berdiam diri di rumahnya dan mengonsentrasikan diri untuk mengarang beberapa kitab dan mencurahkan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sampai wafatnya.[5]
2. Karya-karya Intelektual
Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu-ilmu keislaman, dan seni. Selain itu, beliau juga menghasilkan beberapa karya  di bidang lain, seperti tauhid, hadis, akhlak, tarikh, dan ilmu kalam. Selain menulis beberapa buah kitab, al-Qasimi juga mempublikasikan buah pikirannya di majalah-majalah dan suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi berjumlah 72 kitab.[6] Di antara karya-karya al-Qasimi yaitu:
1. Dalaail at-Tauhiid.
2. Diiwaan Khithab.
3. Al-Fatawaa fii al-Islaam.
4. Irsyaad al-Khalqi ilaa al-’Amalii bi al-Barqi.
5. Syarh Luqathah al-’Ajlaan.
6. Naqd an-Nashaaih al-Kaafiyah.
7. Madzaahib al-A’rab wa Falaasifah al-Islaam fi al-Jin.
8. Mau’izhah al-Mu’miniin.
9. Syaraaf al-Asbath.
10. Tanbiih ath-Thaalib ilaa Ma’rifati al-Fardli wa al-Waajib.
11. Jawaami’ al-Adab fii Akhlaaq al-Anjab.
12. Ishlaah al-Masaajid min al-Bidaa’ii wa al-’Awaaidi.
13. Ta’thiir al-Masyaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam.
14. Qawaa’id at-Tahdiits min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits.
15. Mahaasin at-Ta’wiil fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim.
16. Tarjamah al-Imaam al-Bukhaarii.
17. Bait al-Qaashid fii Diiwaan al-Imaam al-Waliid as-Sa’iid.
18. Ikhtisaar al-Ihyaa’.
19. Dan lain-lain.
C. Kitab Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
1. Sejarah Penulisan
            Kitab tafsir merupakan sebuah pola bentuk pemikiran, penelaahan seorang mufassir dan interpretasi mufassir menyikapi kondisi zaman dengan menginteraksikannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dapat disebut pola bahwa sebuah kitab tafsir merupakan anak zaman, maksudnya kitab tafsir merupakan bentuk kelahiran pemikiran yang berlatar belakang sosio-kultural yang menyertai kemunculannya. Berkaitan dengan studi kitab ini, maka diperlukan diketahuinya kondisi sosio cultural yang melingkupi kelahiran Tafsir al-Qasimi ini
Kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil terlahir dari bentuk perbenturan dua kebudayaan yang berbeda (clash of civilization). Yaitu antara budaya Islam dan budaya ahli kitab yang sedang gencar-gencarnya mengkaji dunia islam (orientalis) ditambah lagi dengan proses perkembangan misionarisme. Perbenturan kebudayaan ini membentuk masyarakat yang terus menerus berkonflik untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan golongan. Tidak hanya dalam aspek theologies namun juga dalam bidang aspek ekonomi dan kekuasaan. Perbenturan kebudayaan ini memunculkan wacana yang berkelanjutan hingga daerah-daerah lain. Pun di Syam dimana al-Qasimi tinggal. Daerah Syam pada saat itu pun menjadi target dari serangan kaum ahli kitab yang melancarkan program missionaries mereka.
2. Sumber Penafsiran
            Dalam penulisan kitab Tafsir ini, Syaikh al-Qasimi mengambil beberapa sumber rujukan untuk menganalisis ayat-ayat yang beliau tafsirkan. Yaitu; pertama, Hadits-Hadits Nabi SAW. Dalam hal ini beliau banyak mengambil hadits yang berasal dari Shahih Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain. Kedua, Atsar Shahabat. Ketiga, Sastra Arab. Dalam hal ini beliau sangat mumpuni pada bidang grammatical arab dan hal-hal yang melingkupinya, al-Qur’an turun dengan bahasa arab maka untuk mengungkapkan makna didalamnya haruslah menguasai bahasa arab secara mendalam. Ditambah lagi dalam menjelaskan makna kata Al-Qur’an, al-Qasimi selalu merujuk kepada beberapa kamus. Di antaranya Shihah al-Jauharii dan kamus al-Muhiith. Keempat, Ra’yu.
Selain itu, al-Qasimi juga sering mengambil beberapa pendapat para ulama. Di antara para ulama yang sering dijadikan rujukan oleh al-Qasimi adalah Muhammad Abduh, asy-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Izzudin bin Abd as-Salam, asy-Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi, Abu Amru ad-Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, asy-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi Abd al-Jabbar, asy-Syahrastani, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, as-Suyuti, dan Ibnu Hazm. sehingga dalam beberapa tempat, beliau sering mencantumkan kisah-kisah Isra’iliyat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa mufasir salaf yang kitab-kitab tafsirnya sering dirujuk oleh al-Qasimi.[7] al-Qasimi juga terkadang mengutip dari beberapa bagian kitab Injil. kitab Taurat serta kitab Talmud. Namun, pengutipan ini hanya untuk menunjukkan kekacauan kitab tersebut, Di samping itu, untuk memperkuat argumentasi pandangan-pandangan ilmiah dalam kitab tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan pendapat para ilmuwan modern yang sezaman dengan beliau[8].
3. Corak dan Karakteristik Penafsiran
            Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini memiliki corak tafsir ilmii, mengapa demikian? Karena dalam kitab ini nuansa ilmiah begitu terlihat. dalam kitab tafsirnya ini, beliau sengaja menjelaskan secara detail masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau juga menjelaskan bahwa beliau banyak mengutip pendapat-pendapat pakar astronomi untuk memperkuat penjelasannya
4. Sistematika Penafsiran
            Penulisan Tafsir yang digunakan oleh al-Qasimi yaitu dengan mengurutkan sesuai dengan urutan ayat dan surat seperti pada umumnya al-Qur’an yang kita jumpai. Maka dari itu jika dilihat dari sistematikanya dikategorikan menjadi mushhafii. Dimulai dari suratt al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Seluruh penafsirannya tertuang dalam kitab tafsir sebanyak tujuh belas jilid. Pada juz pertama, al-Qasimi mengkhususkannya sebagai juz pembukaan. Pada juz ini, al-Qasimi memfokuskan pembahasannya untuk menjelaskan beberapa visi dan sistematika tafsirnya.
5. Metode Penafsiran
            Dalam penelitian pemakalah tafsir ini memiliki nuansa klasik yang kental (selain nuansa ilmiah). Penyebabnya tafsir ini banyak merujuk pada sumber-sumber klasik sebagai alternative pendukung penafsiran beliau sendiri. Yang berwujud baik berupa hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat para salaf ash-shaalih. Namun tidak selamany beliau menyetujui dengan apa yang difatwakan oleh para mufassir klasik. Tak jarang beliau pun melontarkan kritik sebagai bentuk keteguhan beliau dalam meneguhkan pendapat yang beliau kemukakan ketika menafsiri suatu ayat. Secara mendasar beliau menegaskan penafsirannya mengenai kata-kata dalam al-Qur’an. Dengan merujuk pada kamus-kamus arab seperti; Shihah al-Jauharii dan kamus al-Muhiith. Tak lupa beliau memberikan I’rab dalam kata-kata tersebut. Beliau juga memperhatikan secara teliti mengenai bentuk-bentuk qiraat yang digunakan.
Syaikh al-Qasimi bila di dalam penafsirannya menemukan hal-hal yang di dalamnya terdapat ketercampuran pemahaman, beliau selalu memberikan keterangan (tanbiih).[9] Hal ini bermaksud untuk mencari kejelasan masalah dan menghindari kesalahpahaman. Al-Qasimi merupakan seorang tokoh yang fanatic terhadap madzhab yang beliau anut. Madzhab ahlu as-Sunnah akan beliau bela kevaliditasannya dan membalikkan argument yang mengkritik madzhab ahlussunnah.
Bentuk social-kultural masyarakat yang mempengaruhi pemikiran penafsiran beliau mengenai suatu ayat salah satunya adalah kritik terhadap golongan yang dirasa beliau banyak melakukan perbuatan bid’ah dan taklid. Beliau memberikan solusi mengenai hal ini dengan memunculkan wacana terbukanya pintu ijtihad. Agaknya hal ini dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah. Berikut beberapa rangkuman dari penelitian ini:
a.       Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b.      Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang bersumber dari hadis Nabi, pendapat sahabat, dan pendapat beberapa ulama.
c.       Terkadang, untuk mendukung penafsirannya, beliau mengutip kisah-kisah Isra’iliyat yang diambil dari kitab-kitab tafsir para ulama salaf.
d.      Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
e.       Fanatisme pada madzhab ahlu as-sunnah.
f.       Mengungkapkan situasi sosio-kultural masyarakat sekelilingnya.
6. Contoh Penafsiran
Lihat misalnya ketika beliau menafsirkan Surah an-Nisa’ [4]: 3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan, jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
القول في تأويل قوله تعالى: سورة النساء (4) : آية 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا أي أن لا تعدلوا فِي الْيَتامى أي يتامى النساء. قال الزمخشريّ: ويقال للإناث اليتامى كما يقال للذكور، وهو جمع يتيمة، على القلب.
كما قيل أيامى والأصل أيائم ويتائم فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ أي من طبن لنفوسكم من جهة الجمال والحسن أو العقل أو الصلاح منهن مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ ومعنى الآية: وإن خفتم يا أولياء اليتامى أن لا تعدلوا فيهن إذا نكحتموهن، بإساءة العشرة أو بنقص الصداق، فانكحوا غيرهن من الغريبات فإنهن كثير ولم يضيق الله عليكم. فالآية للتحذير من التورط في الجور والأمر بالاحتياط. وإنّ في غيرهن متسعا إلى الأربع. وروى البخاري «1» عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا كانت له يتيمة فنكحها وكان لها عذق (أي نخلة) وكان يمسكها عليه ولم يكن لها من نفسه شيء. فنزلت فيه: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى. أحسبه قال: كانت شريكته في ذلك العذق وفي ماله. ورواه مسلم وأبو داود والنسائيّ. وفي رواية لهم عن عائشة «2» هي اليتيمة تكون في حجر وليها تشركه في ماله ويعجبه مالها وجمالها. فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يقسط في صداقها، فيعطيها مثل ما يعطيها غيره. فنهوا عن أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن ويبلغوا لهن أعلى سنّتهن في الصداق. فأمروا أن ينكحوا ما طاب لهم من النساء سواهن.
قال عروة: قالت عائشة: وإن الناس استفتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد هذه الآية فأنزل الله: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّساءِ [النساء: 127]
 قالت عائشة: وقول الله تعالى في آية أخرى: وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ [النساء: 127] ، رغبة أحدكم عن يتيمته حين تكون قليلة المال والجمال. قالت: فنهوا أن ينكحوا عن من رغبوا في ماله وجماله في يتامى النساء إلا بالقسط من أجل رغبتهم عنهن، إذا كن قليلات المال والجمال...
تنبيهان:
الأول- قال بعض المفسرين: دلت الآية على أنه يجب بالنكاح حقوق. وتدل على أن من خشي الوقوع فيما لا يجوز، قبح منه ما دعا إلى ذلك القبيح. فلا يجوز لمن عرف أنه يخون مال اليتيم إذا تزوج أكثر من واحدة، أن يتزوج أكثر. وكذا إذا عرف أنه يخون الوديعة ولا يحفظها، فإنه لا يجوز له قبول الوديعة. وتدل على أن العدل واجب بين الزوجات. وأن من عرف أنه لا يعدل فإنه لا تحل له الزيادة على واحدة. وتدل على أن زواجه الصغيرة من غير أبيها وجدّها جائز. وللفقهاء مذاهب في ذلك معروفة.
الثاني- في سرّ ما تشير إليه الآية من إصلاح النسل. قال بعض علماء الاجتماع من فلاسفة المسلمين في مقالة عنوانها (الإسلام وإصلاح النسل) ما مثاله: ما زال البشر يسعى منذ ألوف من السنين وراء إصلاح ما يقتنيه من خيل وبقر وغنم ليكثر
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qasimi membukanya dengan menyebutkan pendapat ar-Razi, yang mengungkapkan pandangan kaum Sudda (suku Kuhti yang berada di dekat Zabid, Yaman) tentang diperbolehkannya nikah dengan berapa pun jumlahnya. Kaum Sudda ini menggunakan argumen Al-Qur’an dan hadis untuk mendukung pandangannya.
Dari Al-Qur’an, mereka mengambil ayat di atas sebagai dasar argumentasinya. Sementara dari hadis, mereka mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah, yang nikah dengan sembilan istri. Mereka juga menambahkan perlunya mengikuti perilaku Rasulullah. Setelah mengemukakan aspek historis tersebut, al-Qasimi kemudian mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang penafsiran ayat ini. Di antara para ulama yang diambil pendapatnya oleh al-Qasimi adalah ar-Razi, asy-Syaukani, Ibnu Abd al-Barr, asy-Syafi’i, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan lain-lain. Selain itu, al-Qasimi juga melakukan kajian terhadap hadis yang dijadikan hujah oleh kaum Sudda. Dari pemaparan contoh penafsiran al-Qasimi di atas, tampak bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Qasimi melibatkan banyak aspek, mulai dari kajian historis, melakukan penyisiran terhadap beberapa pendapat ulama, sampai melakukan kajian terhadap hadis.
D. Penutup
Demikianlah gambaran tafsir Mahaasin at-Ta’wiil karya al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis perlu menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, al-Qasimi merupakan sosok ilmuwan yang banyak memiliki basic keilmuan yang mencoba mencurahkan hidupnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, penulisan tafsir Mahaasin at-Ta’wiil diwarnai oleh gejolak pertentangan antara dunia Islam dengan barat (missionarisme dan orientalisme)Ketiga, tafsir al-Qasimi ini bisa dikategorikan ke dalam corak tafsiir ‘ilmii dengan melandaskan pada kategori tafsiir bi al-ma’tsuur.



DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Indal. “Al-Jaamii’ li Ahkaam Al-Qur’aan wa al-Mubayyin limaa Tadlammanah min as-Sunnah wa Aayi Al-Furqaan Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk.,Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kuhal, ‘Umar Ridla, Mu’jam al-Mu’allifiin, Juz III, Beirut: Daar Ihyaa’ at-Turaats al-’Arabii, t.th.
Mansur, Muhammad, “Ma’aanii Al-Qur’aan Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
al-Muhtasib, ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid, Bangil: Al-Izzah, 1997.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
al-Qasimi,  Muhammad Jamal ad-Din, Mahaasin at-Ta’wiil, Juz I dan Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, 1978.
Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 18, Tahun 2004.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.





[1] ‘Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127.
[2] ‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir al-Kittani, Fahras, hlm. 477. Lihat juga dalam ‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam al-Mu’allifiin, hlm. 158.
[3]Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131.
[4]Aadil Nawayhad}, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127.
[5] Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131.

[7]Ibid., hlm. 43.
[8]Ibid., hlm. 50.
[9]Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin, Juz II, hlm. 115.