Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

ISLAMISASI ILMU

Pengertian
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah wacana yang cukup ramai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of  Knowledge”. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini, mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an. Pada tahap perkembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi.
Islamization atau dalam bahasa Indonesia menjadi ISLAMISASI secara sederhana dapat dimengerti adalah Pengislaman.[1]
Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang digagas oleh Sayyed Muhammad Naquib al-Attas mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat[2], khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar yakni ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler.
Al-Attas menyerukan bahwa peradaban Islam dibangun atas dasar ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Adapun, kemunduran ummat Islam yang terjadi secara beruntun sejak beberapa abad belakangan ini, disebabkan oleh kerancuan ilmu (corruption of knowledge) dan lemahnya penguasaan ummat terhadap ilmu pengetahuan. Karena kerancuan ilmu dan penguasaan terhadap ilmu lah maka ummat Islam menghadapi berbagai masalah dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pandangan ini berbeda secara mendasar dari pendapat-pendapat yang bersifat umum yang mengatakan bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan oleh kekalahan politik, lemahnya ekonomi, rusaknya budaya atau rendahnya mutu pendidikan, yang sebenarnya hanyalah merupakan bola salju dari problem ilmu pengetahuan.
Al-Attas menekankan akan perlunya islamisasi ilmu. Sebab, saat ini telah terjadi Westernisasi (pembaratan) ilmu pengetahuan oleh Barat. Sedang epistimologi yang dibangun oleh konsep ilmu ini sangat merugikan Islam dan kaum muslimin. Westernisasi ilmu itu telah mengeyampingkan wahyu sebagai sumber ilmu.
Dampak ilmu pengetahuan sekuler ini seperti;
Hilangnya Adab (desacralization of knowledge) dalam masyarakat dengan  menyamaratakan setiap orang dengan dirinya dalam hal pikiran dan perilaku.
Penghilangan otoritas resmi dan hirarki sosial dan keilmuan.Mengkritik ulama dimasa lalu yang banyak memberi kontribusi kepada ilmu pengetahuan Islam.
Hilangnya Adab berimplikasi pada hilangnya sikap adil dan kebingunan intelektual (intellectual confusion).
Tidak-mampu membedakan antarailmu yang benar dari ilmu yang dirasuki oleh pandangan hidup Barat.
Menurut Kuntowijoyo Islamisasi Ilmu pengetahuan sangat signifikan dalam menjawab persoalan yang selama ini dirasakan dunia pendidikan, yakni munculnya dualism antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Dualisme ini sangat mencolok yakni dengan munculnya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum.[3]
Islamisasi Ilmu dapat diwujudkan dengan melakukan upaya-upaya yang mengarah kepada merelevankan dan mensintesakan antara Islam dengan Ilmu pengetahuan modern. Dalam pandangan Ziauddin Sardar yang pertama kali harus diperhatikan adalah pandangan dunia Islam (Islamic World View) yakni membangun epistemology Islam yang didasarkan pada al Quran dan al Hadits dengan memahami perkembangan kontemporer. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan system Islam yang berbeda dengan system barat.
Dalam Islam pencarian pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pemikiran moralitas. Ilmu berkembang melalui perantara Tauhid, pengetahuan dicari guna mengagungkan Allah dan memenuhi tanggung jawab manusia atas kepercayaannya. Orang-orang yang berilmu mencari ilmu pengetahuan harus meyakini ke-Esaan Tuhan sehingga bisa menumbuhkan akhlak mulia dan pemiliki ilmu dapat memanfaatkannya untuk keperluan yang sejalan dengan nilai-nilai moral.
Berbeda dengan yang di atas yang setuju dengan Islamisasi Ilmu. Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan kare­na tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertang­gung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Pada “zaman pertengahan,” Islamis­asi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fa­khruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yu­nani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diteri­ma dan ada juga yang ditolak. Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Sayyed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang meru­pakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Islami
Secara sederhana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan islami menurut Mulyanto adalah sebagai berikut :
Ilmu pengetahuan tidaklah diabdikan melulu pada praksis tanpa dihambakan pada tujuan-tujuan memahami eksistensi hakiki alam dan manusia. Ilmu pengetahuan dikembangkan kearah dicapainya terus menerus pengertian yang lebih baik, bahwa Allahlah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, yang dengan ilmu itu pengetahuan menghantarkan umat kepada peningkatan keimanan.
Membebaskan keterjeratan ilmu pengetahuan dari sekularisme. Dengan demikian tidak ada lagi kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Yang ada hanyalah kebenaran tunggal, kebenaran ilmiah sekaligus sekaligus kebenaran relijius. Dengan prinsip ini kompromi yang terus menerus antara hasil-hasil ilmu pengetahuan dan hasil-hasil interpretasi atas wahyu menyatu dalam konsesus kebenaran tunggal yang tidak member pertentangan. Interpretasi wahyu mengenai realitas mendapat batu uji melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan.
Menjadikan Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian kedua seumber ilmu pengetahuan baik fenomena alam maupun al quran mempunyai kedudukan sama. Prinsip ini menopang prinsip yang kedua karena ayat-ayat Allah selalu benar, maka tidak ada kontradiksi diantara keduanya (wahyu dan alam).[4]

Islamization of Knowledge sebagai refleksi hidup
Proses pembentukan pandangan hidup sejalan dengan proses pembentukanelemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup itu. Wahyu menjadi dasar  bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudut pandang rasionalisme dan empirisisme. Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya,sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.
Langkah awal islamisasi ilmu adalah dengan mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang terbentuk oleh budaya dan peradaban Barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Namun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.
Prosesnya adalah mengisolir metode-metode, konsep-konsep, teori-teorinya, dan simbol-simbol ilmu modern; Aspek-aspek empiris dan rasional, dan aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika; Teorinya tentang alam semesta;Pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata, Klasifikasinya tentang ilmu; batasan- batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.
Adapun langkah keduanya adalah memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Konsep-konsep dasar Islam itu diantaranya adalah konsep :
Din (agama)
konsep manusia (insan)
konsep ilmu (ilm dan ma’rifah)
konsep keadilan (adl )
konsep amal yang benar (amal sebagai adab)
dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua.
Serta konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistim pendidikan.
                Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magic, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam.
Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi,makna dan ungkapan sekuler.





DAFTAR PUSTAKA
Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesian Dictonary, (Jakarta ; Modern English Press, 2000)
Sayyed Muhammad Naquib al Attas, Islam and Sekularisme (Kuala Lumpur ; ISTAC, edisi kedua, 1993)
Kuntowijoyo. Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung; Mizan)
Mulyanto “Islamisasi ilmu pengetahuan” dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta ; PT Gidesinde. 2000)



[1] Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesian Dictonary, (Jakarta ; Modern English Press, 2000) hlm 771
[2] Sayyed Muhammad Naquib al Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur ; ISTAC, edisi kedua, 1993) hlm 133-135
[3] Kuntowijoyo. Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung; Mizan) hlm 345
[4] Lihat Mulyanto “Islamisasi ilmu pengetahuan” dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta ; PT Gidesinde. 2000) hlm 27-29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar