Pengertian
Islamisasi ilmu pengetahuan
adalah wacana yang cukup ramai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam
bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam
bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan ini, mulai ramai
diperbincangkan pada tahun 1970-an. Pada tahap perkembangan
mutakhirnya, model islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai
sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari
sisi pendekatan dan konsepsi.
Islamization atau dalam bahasa
Indonesia menjadi ISLAMISASI secara sederhana dapat dimengerti adalah
Pengislaman.[1]
Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization
of knowledge) yang digagas oleh Sayyed Muhammad Naquib al-Attas mengacu kepada
upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk
kebudayaan dan peradaban Barat[2],
khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan
konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin
humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani
sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah
berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok
keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan
yang benar yakni ilmu pengetahuan yang selaras dengan
fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut
al-Attas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari
pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler.
Al-Attas menyerukan bahwa
peradaban Islam dibangun atas dasar ilmu pengetahuan
yang bersumber dari wahyu. Adapun, kemunduran ummat Islam yang terjadi secara
beruntun sejak beberapa abad belakangan ini, disebabkan oleh kerancuan ilmu (corruption
of knowledge) dan lemahnya penguasaan ummat terhadap ilmu pengetahuan. Karena
kerancuan ilmu dan penguasaan terhadap ilmu lah maka ummat Islam menghadapi
berbagai masalah dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pandangan
ini berbeda secara mendasar dari pendapat-pendapat yang bersifat umum yang
mengatakan bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan oleh kekalahan politik,
lemahnya ekonomi, rusaknya budaya atau rendahnya mutu pendidikan, yang
sebenarnya hanyalah merupakan bola salju dari problem ilmu pengetahuan.
Al-Attas menekankan akan perlunya
islamisasi ilmu. Sebab, saat ini telah terjadi Westernisasi (pembaratan) ilmu
pengetahuan oleh Barat. Sedang epistimologi yang dibangun oleh konsep ilmu ini
sangat merugikan Islam dan kaum muslimin. Westernisasi ilmu itu telah mengeyampingkan
wahyu sebagai sumber ilmu.
Dampak ilmu pengetahuan
sekuler ini seperti;
Hilangnya Adab (desacralization
of knowledge) dalam masyarakat dengan menyamaratakan setiap orang dengan dirinya
dalam hal pikiran dan perilaku.
Penghilangan otoritas resmi dan
hirarki sosial dan keilmuan.Mengkritik ulama dimasa lalu yang banyak memberi
kontribusi kepada ilmu pengetahuan Islam.
Hilangnya Adab berimplikasi
pada hilangnya sikap adil dan kebingunan intelektual (intellectual confusion).
Tidak-mampu membedakan antarailmu
yang benar dari ilmu yang dirasuki oleh pandangan hidup Barat.
Menurut Kuntowijoyo Islamisasi
Ilmu pengetahuan sangat signifikan dalam menjawab persoalan yang selama ini
dirasakan dunia pendidikan, yakni munculnya dualism antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu sekuler. Dualisme ini sangat mencolok yakni dengan munculnya dikotomi
antara pendidikan agama dan pendidikan umum.[3]
Islamisasi Ilmu dapat diwujudkan
dengan melakukan upaya-upaya yang mengarah kepada merelevankan dan
mensintesakan antara Islam dengan Ilmu pengetahuan modern. Dalam pandangan
Ziauddin Sardar yang pertama kali harus diperhatikan adalah pandangan dunia
Islam (Islamic World View) yakni membangun epistemology Islam yang didasarkan
pada al Quran dan al Hadits dengan memahami perkembangan kontemporer. Hal ini
perlu dilakukan untuk menciptakan system Islam yang berbeda dengan system
barat.
Dalam Islam pencarian pengetahuan
tidak dapat dipisahkan dari pemikiran moralitas. Ilmu berkembang melalui
perantara Tauhid, pengetahuan dicari guna mengagungkan Allah dan memenuhi
tanggung jawab manusia atas kepercayaannya. Orang-orang yang berilmu mencari
ilmu pengetahuan harus meyakini ke-Esaan Tuhan sehingga bisa menumbuhkan akhlak
mulia dan pemiliki ilmu dapat memanfaatkannya untuk keperluan yang sejalan
dengan nilai-nilai moral.
Berbeda dengan yang di atas yang
setuju dengan Islamisasi Ilmu. Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak
bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan.
Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu
pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus
digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi
telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin
al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang
mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan
pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang
diterima dan ada juga yang ditolak. Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu
kontemporer yang diformulasikan Sayyed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu
“revolusi epistemologis” yang merupakan merupakan jawaban terhadap krisis
epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan
peradaban Barat.
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Islami
Secara sederhana prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan islami menurut Mulyanto adalah sebagai berikut :
Ilmu pengetahuan tidaklah
diabdikan melulu pada praksis tanpa dihambakan pada tujuan-tujuan memahami
eksistensi hakiki alam dan manusia. Ilmu pengetahuan dikembangkan kearah
dicapainya terus menerus pengertian yang lebih baik, bahwa Allahlah sumber dari
segala sumber ilmu pengetahuan, yang dengan ilmu itu pengetahuan menghantarkan
umat kepada peningkatan keimanan.
Membebaskan keterjeratan ilmu
pengetahuan dari sekularisme. Dengan demikian tidak ada lagi kebenaran ilmiah
dan kebenaran relijius. Yang ada hanyalah kebenaran tunggal, kebenaran ilmiah
sekaligus sekaligus kebenaran relijius. Dengan prinsip ini kompromi yang terus
menerus antara hasil-hasil ilmu pengetahuan dan hasil-hasil interpretasi atas
wahyu menyatu dalam konsesus kebenaran tunggal yang tidak member pertentangan.
Interpretasi wahyu mengenai realitas mendapat batu uji melalui hasil-hasil ilmu
pengetahuan.
Menjadikan Quran sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Dengan demikian kedua seumber ilmu pengetahuan baik fenomena
alam maupun al quran mempunyai kedudukan sama. Prinsip ini menopang prinsip
yang kedua karena ayat-ayat Allah selalu benar, maka tidak ada kontradiksi
diantara keduanya (wahyu dan alam).[4]
Islamization of Knowledge sebagai
refleksi hidup
Proses pembentukan pandangan
hidup sejalan dengan proses pembentukanelemen-elemen pokok yang merupakan
bagian dari struktur pandangan hidup itu. Wahyu menjadi dasar bagi
kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan
realitas dan kebenaran dari sudut pandang rasionalisme dan empirisisme.
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik
dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya,sebagaimana
yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian
metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.
Langkah awal islamisasi ilmu
adalah dengan mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang terbentuk
oleh budaya dan peradaban Barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan
modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Namun, ilmu-ilmu
alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran
akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.
Prosesnya adalah mengisolir
metode-metode, konsep-konsep, teori-teorinya, dan simbol-simbol ilmu modern;
Aspek-aspek empiris dan rasional, dan aspek-aspek yang bersinggungan
dengan nilai dan etika; Teorinya tentang alam semesta;Pemikirannya tentang
eksistensi dunia nyata, Klasifikasinya tentang ilmu; batasan- batasannya
dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.
Adapun langkah keduanya adalah
memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang
ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Konsep-konsep dasar Islam itu
diantaranya adalah konsep :
Din (agama)
konsep manusia (insan)
konsep ilmu (ilm dan ma’rifah)
konsep keadilan (adl )
konsep amal yang benar (amal sebagai
adab)
dan semua istilah dan konsep yang
berhubungan dengan itu semua.
Serta konsep tentang universitas
(kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua
konsep-konsep itu dan menjadi model sistim pendidikan.
Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka
Islamisasi akan membebaskan manusia dari magic, mitologi, animisme, tradisi
budaya nasional yang bertentangan dengan Islam.
Islamisasi akan membebaskan akal
manusia dari keraguan menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas
spiritual dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu
pengetahuan kontemporer dari ideologi,makna dan ungkapan sekuler.
DAFTAR PUSTAKA
Peter Salim, Salim’s Ninth
Collegiate English Indonesian Dictonary, (Jakarta ; Modern English Press, 2000)
Sayyed Muhammad Naquib al Attas, Islam
and Sekularisme (Kuala Lumpur ; ISTAC, edisi kedua, 1993)
Kuntowijoyo. Paradigma Islam ;
Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung; Mizan)
Mulyanto “Islamisasi ilmu
pengetahuan” dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta ; PT Gidesinde. 2000)
[1]
Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesian Dictonary, (Jakarta ;
Modern English Press, 2000) hlm 771
[2]
Sayyed Muhammad Naquib al Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur ; ISTAC,
edisi kedua, 1993) hlm 133-135
[3]
Kuntowijoyo. Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung; Mizan) hlm
345
[4]
Lihat Mulyanto “Islamisasi ilmu pengetahuan” dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan
dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta ; PT Gidesinde. 2000)
hlm 27-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar