Powered By Blogger

Sabtu, 26 September 2015

INGKARUS SUNNAH



A.    PENDAHULUAN
Hadis merupakan landasan kedua bagi umat Islam setelah Al-Qur’an. Posisi hadis ataupun sunnah berperan andil dalam hal menafsirkan isi kandungan makna yang terdapat dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sendiri masih bersifat global dalam penyampaiannya. Maka dari itu, hadislah yang berperan untuk memperinci/ menjelaskan isi kandungan teks Al-Qur’an setelah Nabi Wafat.
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadits sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi.  Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Wacana pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu menarik untuk dibicarakan. Banyak ulama dan cendekiawan muslim yang memberikan pandangan atau pendapat mengenai reaksi pemahaman tentang Islam, reaksi yang muncul beraneka ragam ada yang pro dan dan ada pula yang kontra, terutama yang berhubungan dengan sumber hukum kedua atau al-sunnah dan Islam. Maka tema yang diangkat dalam makalah ini adalah Inkar al-Sunnah
B.     RUMUSAN MASALAH
-          Apa pengertian inkar sunnah?
-          Bagaimana argument mereka dalam membela diri?
-          Siapa tokoh terkemuka aliran inkar sunnah






C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Inkarus Sunnah
Ingkar al-Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua[1]. Orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an, merekalah yang dikatakan sebagai penganut paham Inkar Al-Sunnah atau dalam istilah yang kurang populer disebut juga sebagai munkir al-sunnah[2].
Dikatakan sebagai kelompok Inkar Al-Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar Al-Hadits, karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari pada kata hadits. Mengingkari sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi lebih dari itu juga mengingkari tradisinya yang ditransmisikan dan dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dan generasi ke generasi berikutnya.
Inkarus sunnah secara keseluruhan terpolarisasi kedalam tiga kelompok[3],yaitu:
a.       Kelompok yang menolak sunnah, secara baik yang bernilai sahih, hasan maupun da’if sekalipun.
b.      Kelompok yang menolak sebagian hadits atau sunnah, yaitu hadits yang tidak sesuai dengan al-Qur’an secara tekstual. Kelompok ini menganggap hadits atau sunnah tidak memiliki kompetensi dalam menciptakan hokum yang baru.
c.       Kelompok yang menolak sunnah yang tidak bernilai mutawir.
2.      Argument Para Pengingkar Sunnah
            Kelompok inkar sunnah menjunjung tinggi bahwa Al-Quran lah satu-satunya pedoman yang paling sempurna dan tidak membutuhkan landasan-landasan lainnya. Hal tersebut dijadikan argument mereka dalam penolakan sunnah sebagai landasan. Akan tetapi, pengingkar sunnah juga mempunyai argument-argumen lain sebagai hujjah mereka, diantaranya yaitu:
a.       Firman Allah
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًۭا لِّكُلِّ شَىْءٍۢ وَهُدًۭى وَرَحْمَةًۭ وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. ( An-Nahl:89)
Mereka (inkar sunnah) mengatakan apabila Al-Qur’an merupakan keterangan segala sesuatu dan di dalam Al-Qur’an Allah telah menuangkan segalanya tanpa ada sedikitpun kekurangan, maka tentu hokum-hukum Allah lah (Al-Qur’an) yang paling berhak sebagai penjelas dari segala sesuatu. Kita tidak perlu lagi menggunakan dalil-dalil selain Al-Qur’an.[4]
b.      Para pengingkar sunnah juga beragumentasi bahwa Rasulullah SAW memang mengambil penulis dari kalangan para sahabatnya untuk menulis Al-Qur’an, tetapi beliau tidak mengisyaratkan kepada salah satu dari mereka untuk menulis sunnah. Nabi bahkan melarang untuk menulisnya, sebagaimana hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim:
Barang siapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah
Para pengingkar sunnah mengatakan bahwa ini merupakan dalil. Sunnah bukan merupakan undang-undang umum yang harus disampaikan kepada kaum muslimin, seperti halnya Al-Qur’an. Oleh karena itu, jika sunnah seperti halnya Al-Qur’an sebagai landasan hidup, maka tentunya Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk menulisnya, sebagaimana perintah beliau dalam menuliskan Al-Qur’an.[5] 
c.       Sumber sejarah menyatakan bahwa khalifah Abu Bakar pernah membakar catatan hadis karena khawatir hadis-hadis itu tidak benar. Khalifah Umar juga telah membatalkan rencanya untuk mengoleksi hadis karena khawatir ummat Islam akan berpaling dari Al-Qur’an pada hadis.[6]
d.      Hanya al-Qur’an yang memilki otoitas dan legitimasi menjadisumber hukum Islam. Untuk itu Allah telah menjamin kelestarian, keutuhan dan keorisinilannya sampai hari Kiamat. Hadits tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu, karena bisa dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT untuk memelihara kelestarian dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti[7]. Sesuai dengan Firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
e.       Realitas sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi beberapa kelompok karena perbedaan paham dalam memahami realitas agama yang menimbulkan konsekuensi kemunduran Islam dalam peraturan dan persaingan internasional sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan hadits sebagai literatur mereka. Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang merah bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya umat Islam. Kassim Ahmad selaku inkar sunnah yang bermukim di Malaysia menyatakan: “ hadis pada prinsipnya adalah ajaran palsu yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad merupakan salah satu puncak perpecahan dan kemunduran ummat Islam”[8]
f.        Signifikasi metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif terhadap hadits seperti kritik sanad, masih belum representatif dan masih lemah dalam menentukan kesahihan (realibility) sebuah hadits, karena dua alasan; pertama kritik sanad yang terdapat dalam ‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil, baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat. Sehingga mata rantai pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak dapat ditemui dan diteliti lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai perawi pada tingkatan pertama, dinilai semua adil oleh para muhaddisin abad III H atau awal abad IV H, dengan konsep ta’dil alsahabah, sehingga mereka dikategorikan sebagai orang yang ma'sum dari kesalahan dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits.[9]

3.      Tokoh Inkar Sunnah
Diantara pelopor gerakan inkar sunnah adalah Taufiq Shidqi (Mesir), Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez (India-Pakistan), Rasyad Khalifah (Amerika), Haji Abdurrahman, Ustadz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto (Jakarta), Dailami Lubis (Sumatra Barat), serta Kassim Ahmad (Malaysia)[10]. Namun disini saya hanya akan membahas salah satu pemikiran tokoh inkar sunnah, yaitu Kassim Ahmad.
Kassim Ahmad merupakan tokoh inkar sunnah di Negara Malaysia, tepatnya di Bukit Pinang, daerah kota Setar Utara, propinsi Kedah Malaysia. Kassim Ahmad pada tahun 1985 tertarik mengkaji hadis setelah terpengaruh oleh bukunya Rashad Khalifa “The Computer Speaks” dan “Qur’an, Hadith and Islam” yang secara ilmiah membuktikan bahwa Al-Qur’an lengkap-terperinci, sehingga manusia tidak lagi memerlukan penjelasan dari hadis. Ia mengkaji hadis kurang lebih 3 bulan sehingga ia yakin kalau hadis menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad. Dengan melakukan generalisasi, ia mengatakan bahwa hadis yang beredar pada akhir abad kedua dari awal abad ketiga hijriah adalah palsu akibat situasi politik yang labil.[11]
Kassim Ahmad beranggapan bahwa tugas utama Nabi adalah memimpin dalam konsep ulil amri. Mustahil Nabi bisa menafsirkan isi Al-Qur’an mengingat Al-Qur’an adalah ilmu Tuhan yang penafsirannya hanya dapat dicapai sedikit demi sedikit melalui kajian saintifik dan pemikiran rasional dalam jangka waktu yang panjang.
Dalam membela paham inkar sunnah ini, ia membuat keterangan bahwa ibadah-ibadah agama seperti shalat, puasa, zakat dan haji tidaklah diamalkan berdasarkan hadis Nabi. Akan tetapi hal-hal tersebut telah telah diajarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan kemudian diwariskan turun temurun kepada generasi Muhammad SAW.
Untuk menguatkan argumennya, ia mengutip ibadah Kristen Ortodok Syiria yang mengklaim shalatnya tujuh kali dalam sehari semalam. Mereka juga melakukan rukuk dan sujud. Walaupun bentuknya sedikit berbeda dengan yang diwariskan Nabi Muhammad SAW. Karena Ahmad berpandangan bahwa shalat sudah ada sebelum Islam, maka shalat versinya adalah bebas dengan mengabaikan tuntunan-tuntunan shalat dalam hadis. Di dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada ayat-ayat yang menjelaskan secara terperinci tentang tata cara shalat. Yang ada hanyalah ayat-ayat umum teantang kewajiban medirikan shalat.
Menurut Kassim Ahmad, ada dua ikmah Tuhan tidak merincikan bentuk dan ketentuan shalat dalam Al-Qur’an. Pertama, karena ketentuan ini telah diajarkan kepada Nabi Ibrahim dan pengikutnya, kemudian diikuti oleh umat Nabi Muhammad SAW. Kedua, karena bentuk dan ketentuan shalat tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberikan kepada umat Muhammad untuk melakukan shalat dalam keadaan apa saja.
Kassim Ahmad juga menyatakan bahwa Nabi bukanlah Uswatun Hasanah. Menurut para pembela sunnah, Nabi merupakan suri tauladan yang baik dan wajib diikuti dengan berpegang pada hadisnya. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al- Ahzab: 21
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Adapun menurut Kassim Ahmad, jika melihat pada konteks ayat di atas, ternyata tidak merujuk pada setiap gerak-gerik dan kelakuan Nabi. Sebab tingkah laku dan gerak-gerik itu dipengaruhi oleh faktor budaya, situasi dan kondisi dimana orang itu hidup. Ungkapan ustawun hasanah disini menurut Kassim Ahmad berarti pegangan, pendirian dan perujuangan.





D.    PENUTUP
Dari pemaparan yang telah dijelaskan di atas dapat kita ambil poin:
-          Ingkar al-Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua
-          Untuk pembelaan diri, para pengingkar sunnah juga sudah menyiapkan hujjah/argument mereka yang tetap bersikap bahwa Al-Quran adalah satu-satunya landasan terlengkap dan tidak butuh teori apapun untuk menjelaskan isi dalam Al-Qur’an.
-          Kassim Ahmad adalah salah satu tokoh inkar sunnah yang berasal dari Malaysia. Dalam pembelaannya terhadap inkar sunnah, ia menggunakan argument yang diantaranya: sunnah bukan merupakan bagian dari wahyu, tugas utama Nabi bukan sebagai penafsir Al-Qur’an dan Nabi bukanlah uswatun hasanah.




[1] IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakata: Djambatan, 1992) hlm.428.
[2] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) hlm. 14.
[3] Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah danJawabannya, (Jakarta: Media Da’wan, 1984), hlm. 7.
[4] Shalih Ahmad Ridla, Berkenalan dengan Inkar Sunnah, (Jakarta: Gema Insani press, 1991), hlm 50-51
[5] Shalih Ahmad Ridla, Berkenalan dengan Inkar Sunnah, hlm 52
[6] TH-Khusus UIN Sunan Kalijaga 07, Yang membela dan Yang menggugat, (Yogyakarta: CSS Suka Press, 2012) hlm 245
[7] Muh Natsir Nur, Inkar Sunnah di Zaman Modern, (Pekan Baru: UIN Sultan Syarif Kasim), hlm  7, PDF
[8] Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, (Selangor : Media Intelek, 1986), hlm. 14-20
[9] Muh Natsir Nur, Inkar Sunnah di Zaman Modern, hlm 11
[10] TH-Khusus UIN Sunan Kalijaga 07, Yang membela dan Yang menggugat, hlm 245
[11] TH-Khusus UIN Sunan Kalijaga 07, Yang membela dan Yang menggugat, hlm 245-246

ISU-ISU AKTUAL STUDI HADIS


1.      Keorisinalitas hadis
Secara resmi, pembukuan Hadis terjadi pada masa kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi wafat. Panjangnya rentang antara wafatnya Nabi dan masa pembukuan hadis ini bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadits. Perhatian orientalis terhadap peradaban Timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan Timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-qur’an kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadits. Kesimpulam mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan Al-hadits diragukan sebagai sabda Rosul karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya. Terlebih lagi, ketika masih Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadits oleh para sahabat.
Meskipun terdapat berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadits Nabi telah dipelihara semenjak periode awal (sahabat), para orientalis terus saja mencari-cari peluang untuk menyalahkannya. Mereka menyatakan, hadits Nabi tidak pernah dibukukan sampai pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun waktu yang panjang ini, keberadaan Hadits tersia-sia. Alasannya karena hadits belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadits Nabi sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, hadits tidak mungkin dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.
Diantara “pentolan” orientalis adalah Ignaz Goldziher. Ia adalah Anak seorang Yahudi yang dilahirkan di sebuah kota di Hongaria pada 22 Juni 1850 dan meninggal pada 13 November 1921. Hadits menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadits-hadits palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya.
Disamping itu, ia juga menyatakan bahwa jumlah hadits pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya dan juga hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua. Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian (keotentikan) Hadits harus dipertanyakan?.
Untuk merespon hal itu, sebagaimana disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadits secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari Hadits. Dengan begitu maka Hadits akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadits tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2.      Perdebatan seputar sanad
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul saw. dengan masa kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius. Diantaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi pertama, generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang tidak memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di samping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari masa kini ke masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya berbagai tuntutan mendesak. Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshohihan hadis, kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan dikembangkan hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas sebuah Hadits. Prof. Ali Mustafa Ya‘kub MA dalam bukunya yang berjudul Kritik Hadits menyatakan bahwa upaya untuk mendeteksi kedhabitan rawi dengan memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkannya dengan Hadits lain atau dengan al-Qur‘an, dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan Hadits, yaitu:
a.       Memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah Shahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
b.      Memperbandingkan Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
c.       Memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru Hadits.
d.      Memperbandingkan suatu Hadits yang sedang diajarkan oleh seorang dengan Hadits semisal yang diajarkan oleh guru lain.
e.       Memperbandingkan antara Hadits-hadits yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan Hadits.
f.       Memperbandingkan Hadits dengan ayat-ayat al-Qur‘an.
Penelitian dan kritik Sanad atau Isnad (diringkas dan diubah dari Fitnah Kubro karya Prof DR M. Amhazun yang diterjemahkan oleh Daud Rasyid dari hal.39-79 dengan beberapa perubahan dan penambahan) yaitu untuk meluruskan dan membongkar kedustaan yang ada dalam khabar (berita) dengan melalui dua aspek yaitu:
a.       Aspek teoritis, iaitu penetapan kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kedustaan.
b.      Aspek praktis, iaitu penjelasan tentang peribadi-peribadi yang dianggap sebagai pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap mereka.
Dalam aspek teoritis, metode kritik para ulama telah berhasil sampai pada peletakan kaedah-kaedah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia. Untuk mengetahui ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung di bidang ini, maka cukuplah kita baca karya-karya yang mereka hasilkan dalam bentuk kaedah-kaedah Al Jarh dan At Ta‘dil, pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu, urutan hirarkisnya yang dimuali dari yang teratas -Ta‘dil- sampai tingkat yang terbawah –Jarh-, syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, dimana mereka tetapkan dua syarat pokok terhadap perawi yang bisa diterima periwayatannya, yaitu:
a.       Al Adalah (keadilan) iaitu seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak muru‘ah (martabat diri)
b.      Adh Dhobt iaitu seorang perawi harus menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal atas apa yang diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya dengan metode hafalan, cermat dengan kitabnya kalau dia meriwayatkannya dengan melalui kitabnya.
Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi, curriculum vitae-nya serta penjelasan kualiti atau penilaian terhadapnya. Untuk kepentingan ini terdapat para ulama yang khusus menyusun sejumlah besar karya yang menjelaskan hal tersebut. Dan sudah menjadi satu hal yang tidak diragukan lagi bahawa karya-karya tentang kaedah-kaedah periwayatan dan tentang para perawi itu telah memberi andil yang cukup besar dan penting dalam pemurnian islam dan pelurusan siroh dan sejarah Nabi serta Islam umumnya.
3.      Tinjauan historis oleh para orientalis
Teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis, apakah kemunculan isnad bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan. Sebab, menurut Muhammad Mustafa al-A’zami, buku ini ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory atau nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sha’bi. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qad’i) yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah.
Keputusan-keputusan yang diberikan pada qad’i ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di tangan para qad’i yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya.



BIOGRAFI FATIMAH MERNISSI

A.    Biografi Fatima Mernissi
Fatima Mernissi adalah seorang sosiolog dan feminis maroko. Dia lahir di Fez tahun 1940, dia memulai sekolah dasar di sekolah yang didirikan oleh gerakan nasonalis, dan melanjutkan sekolah menengahnya di sekolah perempuan yang dibiayai oleh protektorat perancis. Dan pada tahun 1957 dia belajar ilmu politik di Universitas sorbonne dan Brandeis diamana dia mendapatkan gelar doktoralnya[1].
Mernissi mengajar di Unversitas Mohammed V antara tahun 1974 dan 1981 pada mata kuiah metodologi, sosiologi dan psikologi keluarga. Dan dia terkenal di kalangan  internasional sebagai seorang feminis Islam. Sebagai seorang feminis, mernissi melakukan fokus kajian terhadap hubungan antara Islam dan perempuan. Dia menganalisa perkembangan sejarah pemikiran Islam dan manifestasinya dalam dunia modern. Selanjutnya dia lebih memfokuskan kajiannya terhadap rincian kehidupan Nnabi Muhamma. Dia meragukan vaiditas dari beberapa hadits  yang menyebabkan adanya subordinasi perepuan dalam Islam. Keraguannya terhadap otenisitas hadits tidak merembet pada kyakinannya terhadap otentisitas al-Qur’an.
Pada akhir tahun 1970an mernissi berhasil membuat artikel untuk memperiodisasi posisi perempuan, dan perempuan dan Islam  di maroko dalam prespktif sejarah. Pada tahun 2003, Mernissi mendapat penghargaan ratu Austria. Selain membuat artikel dia juga aktif menulis, seingga banyak karya yang telah dihasilkannya dala tiga bahasa (Arab, Inggris dan Perancis). Diantara karya dia :
perancis
  1. Sexe, ideologie et Islam. Paris:1983.
  2. Le harem politique: Le prophete et ses femmes. Paris: 1987.
  3. Chehrazad n'est pas Marocaine; Autrement, elle serait salariee! Casablanca: 1988.
  4. Sultanes aubliees: Femmes chefs d'Etat en Islam. Paris: 1990.
  5. Reves de femmes: Une enfance au harem (autobiographical novel), translated 1996.
 Inggris
  1. Dreams of Trespass: Tales of a Harem Girlhood. (1995)
  2. Beyond the Veil
  3. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Islam
  4. Islam and Democracy: Fear of the Modern World (1992)
  5. Forgotten Queens of Islam
  6. Scheherazade goes West
  7. Islam, Gender and Social Change
  8. Women's rebellion & Islamic memory
(Arabic)
  1. الحريم السياسى
  2. أحلام النساء الحريم
  3. السلطانات المنسيات
  4. شهرزاد ترحل الى الغرب
  5. هل أنتم محصنون ضد الحريم

B.     Metode dan Pemikiran Fatima Mernissi tentang Hadits
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa Fatima Mernissi adalah seorang Sosiolog dan Feminis Islam. Dalam penelitannya dia menggunakan kacamata sejarah-politik untuk memehami objek kajiannya. Sehingga dalam hadits, Mernissi sangat memperhatikan aspek-asepek yang melatar belakangi kemunculan (Asbab Wurud) hadits tersebut. Bahkan dia memandang bahwa hadits telah menjadi senjata politik yang sangat ampuh[2]. Mernissi dalam penelititnnya menggunakan metode berupa analisa hubungan laki-laki dan perempuan sebagai sebuah entitas dalam sistem Islam[3].
Mernissi berpendapat bahwa dalam penelitian hadits, seorang peneliti harus melakukan kajian terhadap teks/matan hadits, sanad hadits dan sejarah transmisi matan hadits (tarikh al-mutun). Selain itu dia juga tidak menyapakati konsep keadilan sahabat. Ini terlihat dari pendiskripsiannya secara mendalam terhadap Abu Bakrah dan Abu Hurairah. Dalam penelitiannya dia juga berupaya untuk mengangkat posisi wanita di ranah sosial masyarakat Islam. Dia menganggap bahwa dalam sejarah Islam ada usaha untuk melakukan legitimasi kekuatan elit tertentu. tindakan tersebut telah dimulai sejak meniggalnya Nabi, yaitu ketika proses pemilihan khalifah pengganti nabi di Tsaqifah. Usaha Abu Bakar dan Umar untuk mengambil kekuasaan untuk kaum muhajirin dari anshar dianggap oleh Mernissi sebagai proses elitisasi agama Islam.
Proses elitisasi peran keagamaan tersebut berimplikasi terhadap peran wanita dalam ranah publik. Menurut dia, dalam sejarah Islam banyak banyak terjadi penghapusan sejarah resmi peran wanita dalam ranah publik. Dalam sejarah Islam banyak perempuan yang berkarir dan ikut andil dalam kerajaan, akan tetapi nama mereka tidak dikenal oleh generasi Islam sekarang, sebut saja Sultanah Radiyah, Khayzuran (Istri al-Mahdi), Malikah Asmah dan Malikah Radiyah (Yaman) dan lainnya[4].
Mernissi berpendapat bahwa proses marginalisasi perempuan dalam Islam bukanlah berasal dari fenomena sosial keagamaan, melainkan disebabkan ekspresi politis dari sebuah distribusi kekuatan, otoritas dan refleksi ekonomis sehingga membentuk aturan sosial yang total dan koheren. Dalam kajian tentang posisi perempuan, Mernissi merujuk pada al-Qur’an, Hadits, Ihya’ Ulum al-Din, Sirat al-Nabi dan Thabaqat al-Kubra. Dia merumuskan bahwa perempuan baik di Barat ataupun Islam merupakan korban sistem sosial yang mendiskriminasikan perempuan[5]
C.    Hadits-hadits Misogini Fatima Mernissi
Fatima Mernissi, sebagai seorang Feminis Islam yang konsen pada kajian sejarah-politik dan hadits, menemukan teks-teks hadits yang, menurut dia, berupaya mendiskredit dan memarginalkan perempuan. Diantaraya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita."
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Bakrah ketika Aisyah dikalahkan dalam perang melawan Ali Bin Abi Thalib. Mennisi melihat bahwa Abu Bakrah idak dapat dipercaya haditsnya soalnya beberapa hadits yang dia riwayatkan, secara politis, menguntungkan  dia. Diantaranya dalah ketika konflik antara Muawiyah dan keluarga Ali, dia mengambi perkataan Nabi yang menjelaskan bahwa Hasan adalah orang yang akan mendamaikan damai[6].
Selain Riwayat Abu Bakrah, ada juga riwayat dari Abu Hurairah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كَانَ الشُّؤْمُ فِي شَيْءٍ فَفِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekiranya kesialan itu ada pada sesuatu, maka niscaya akan terdapat kuda, wanita dan rumah."
Pada hadits ini, menurut Mernissi, Abu Hurairah mendapat kritikan dari Aisyah, karena menurut Aisyah Abuu Hurairah datang pada nabi ketika pertengahan pembicaraan, padahal orang yang melakukan pendapat itu bukanlah nabi melainkan orang-orang Yahudi[7].
Mernissi menganggap bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang selalu bersitegang dengan A’isyah, sehingga dia mengupayakan untuk mendiskreditkan perempuan. Mernissi mengemukakan cerita tentang hubungan antara Aisyah denga Abu Hurairah.
Pada suatu hari, Abu Hurairah kehilangan kesabarannyadan mencoba mempertahankandiri atas serangan yang dilancarkan A’isyah, ketika Aisyah berkata “Abu Hurairah, engkau telah menyatakan suatu hadits yang belum pernah kamu dengar.” Abu hurairah menjawab “wahai Ibu, seumur hidup, saya mengumpulkan hadits, sementara engkau terlalu sibuk dengan celak mata dan cerminmu”
Selain Abu Bakrah dan Abu Hurairah, mernissi juga mengkritisi sahabat Abdullah bin Umar. Menurut dia, Ibn Umar juga meriwayatkan hadits-hadits misogini, seperti Sabda Nabi “saya melihat ke surga dan saya saksikan bahwa sebagian besar penghuninyaadalah kaum miskin. Ketika saya melihat keneraka. Saya saksikan sebagian besar penghuninnya adalah kaum wanita”.[8]
Selain mengkritik para sahabat, Mernissi juga melakukan kritikan terhadap Bukhari. Menurut dia Buhari tidak melakukan analisa kritis terhadap hadits-hadits misogini. Dia seperti menganggap bahwa hadits yang tersebut tidak ada permasalahan. Padahal menurut Mernissi ada hadits dari Aisyah yang mengkritisi hadits-hadits misogini tersebut. Dari semua ini, Mernissi menyimpulkan bahwa ada kelalaian yang direkayasa untuk menutupi sebuah kebenaran.
D.    Pandangan terhadap Fatima Mernissi
Kitik terhadap Fatima Mernissi antara lain datang dari Hidayat Nur Wahid. Dia menerangkan bahwa Fatima Mernissi salah sasaran dan terlalu membabi buta dalam menkritik. Tentang Bukhori, dia mengkritk kenapa dia tidak menganilisis Hadits Abu Hurairah dan tetap menampilkan hadis misogini. Kelemahan mernissi adalah dia tidak memahami judul bab, dimana hadits itu ada.
Selain itu menurut penulis, sepanjang penelitian yang telah dilakukan, Merniss terlalu mencurahkan perhatian kritiknya terhadap Abu Bakrah, Abu Hurairah dan Bukhari, padahal hadits-hadits Misogini juga diriwayatkan oleh Ibn Umar. Bahkan hadits-hadits yang menurut Mernissi diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang ditakhrij oleh Bukhari, tidaklah diriwayatkan oleh Abu Hurairah melainkan diriwayatkan olah Ibn Umar. Hadits tersebut memang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari melainkan dikeluarkan oleh al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir li al-Baihaqi[9].
E.     Kesimpulan
          Fatima mernissi adalah salah seorang pemerhati Islam dari Maroko. Kajiannya menggunakan anilisis sejarah dan feminis. Selain itu da mengangga bahwa marginalisasi perempuan dalam dunia Islam adlah karena adanya teks-teks keagamaan yang melegitimasinya, hadits.
          Pendapat Mernissi mendapat sanggahan dari Hidayat Nur Wahid, bahwa Mernissi kurang teliti dalam melakukan penelitian. Terlepas dari itu, Mernissi memberikan pelajaran bahwa agama dapat dilihat dari berbagai macam prespektif. Islam tidak melegitimasi terhadap marginalisasi perempuan. hanya praktek tersebut dalam tempat, waktu dan kondisi tertentu saja yang terjadi. Hal ini karena –meminjam istilah Fadzlurrahman- praktek legal formal Islam yang bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain.




[1]http://www.arabwomenwriters.com/index.php?option=com_content&view=article&id=73&Itemid=81
[2]Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994, hlm, 42
[3]Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi : Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta : LkiS, 2001, hlm. 185
[4]Fatima Mernissi, Ratu-ratu Islam yang terlupakan, Bandung:Mizan, 1994, hlm 11
[5]Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi : Gelegar Pemikiran Arab Islam, .... hlm. 185 
[6]Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994, hlm, 74
[7]Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, ... hlm, 97
[8] Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994, hlm, 97
[9]Lihat Shahih Bukhari no 4704, Lidwa Pusaka, Shahih Bukhari No 4704 Maktabah Syamilah dan al-Mu’jam al-Kabir li al-Baihaqi no. 943