Powered By Blogger

Rabu, 09 Desember 2015

ISLAM NUSANTARA (JAWA-ACEH)


1.      Islam Di Aceh
            Dalam di aceh tidak lepas dari peranan ulama dalam segala aspek kehidupan. Dalam masyarakat Aceh golongan ulama adalah salah satu kelompok yang sangat penting, antara lain karena posisinya sebagai pemimpin-pemimpin informal. Dalam sejarah masyarakat Aceh, terdapat hubungan anatar ulama, masyarakat dan pemerintah sangatlah intim. Hal ini dapat dilihat dari contoh kebersamaan mereka ketika berjuang mempertahankan Negara dari agresi penjajahan belanda. Bahkan juga ketika usaha mengusir belanda yang telah berusaha menduduki Aceh secara paksa. Pada masa tersebut posisi ulama malah di depan, bertindak sebagai pemimpin rakyat di Aceh. Konflik antara rakyat Aceh dan pemerintah pusat yang terjadi pada tahun 1953 sampai 1960, juga telah melibatkan sejumlah ulama dalam usaha menyelesaikannya sehingga tercipta kedamaian lagi di Aceh.
Sejak saat kerajaan Aceh didirikan, setiap raja yang memimpin kerajaan pasti didampingi oleh ulama sebagai Qodli Malik Al-Adil. Suatu kenyataan yang mungkin berbeda dari daerah lain adalah tidak hanya raja yang menempatkan ulama sebagai Qodli Malik Al-Adil untuk menasehatinya, tetapi setiap negeri dan kepala kampung juga dibantu oleh ulama local.
            Paruh kedua abad ke 19, hampir tak dapat dipungkiri bahwa kolonialisme dan periode imperialisme modern mulai tumbuh. Aceh dianggap sebagai daerah yang memiliki sumber ekonomi yang menguntungkan dalam wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 1872, Belanda mengutus delegasi guna memaksa rakyat Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda. Paksaan itu tidak bisa diterima pemimpin Aceh, Belanda pun menyatakan perang pada April 1873 tapi dapat dikalahkan oleh rakyat Aceh. Akan tetapi pada penyerangan kedua pada tahun 1874 dengan armada yang lebih dahsyat, belanda berhasil menduduki istana raja, namun bukan berarti perang sudah berakhir. Ketika kekuatan sultan tidak sanggup memimpin perlawanan dan para uleebalang tidak mampu menyatukan perlawanan rakyat lagi, ulama muncul dari dayah untuk memimpin peperangan melawan penjajah yang kafir itu. Pada waktu itu, ulama mengumumkan :”ini merupakan tugas kita untuk bersatu melaksanakan jihad”. Berdasarkan hal ini, para ulama menjadi salah satu instrument yang membawa konflik tersebut menjadi perang suci. Melalui penyebaran ideology “prang sabi” (perang sabil), ulama mengajak rakyat untuk membangun kekuatan lagi guna melawan musuh yang sangat berbahaya bukan hanya demi keselamatan Negara, tapi juga eksistensi agama. Ulama menggunakan doktrin bahwa perang itu sebagai salah satu aspek ibadah yang dianjurkan oleh islam yaitu jihad pada jalan Allah dengan perang suci.
            Dalam islam didapati ajaran bahwa mereka yang memerangi islam adalah kafir harbi dan Belanda dikategorikan sebagai kafir harbi. Menurut ulama, perang melawan belanda dikatakan kewajiban bagi setiap muslim dan disebut dengan jihad fi sabilillah. Siapapun yang gugur dalam pertempuran adalah syahid dan akan masuk surge, dan diperbolehkan mengambil secara paksa harta yang dimiliki kafir harbi  yang disebut ghonimah. Sangat mungkin ini telah menambah keinginan rakyat untuk berperang karena didasarkan pada perintah Allah dan hadit Nabi.
            Di sisi lain yang menunjukan peran penting ulama di Aceh adalah pada tahun 1953 tentang pemberontakan rayat Aceh terhadap pemerintah pusat. Rakyat Aceh berkeinginan daerahnya menjadi salah satu propinsi yang mendapat perlakuan yang istimewa dengan alas an bahwa rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk mempertahankan negerinya dari Belanda. Tanpa menghakimi siapa yang salah, bisa dikatakan bahwa pemberontakan ini melibatkan mayoritas rakyat aceh yang dipimpin oleh sejumlah ulama yang sangat dihormati. Pemerintah pusat pun tidak sanggup menahan pemberontakan yang berlansung selama 9 Tahun. Pemberontakan tersebut berakhir setelah pemerintah pusat menerima status daerah Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi otonomi yaitu dalam bidang keagamaan, adat dan pendidikan. Ini menandakan bahwa islam yang ada di Aceh merupakan suatu hal diatas segalanya dengan ulama sebagai tonggak tiangnya.
2.      Islam di Jawa
            Agama islam mulai masuk di tanah jawa sebelum abad ke-13, dan pertama kali menerima pengaruh islam dari Malaka. Di jawa, agama islam lebih disebut dengan sebutan agama jawi. Orang jawa sangat yakin adanya Allah, Nabi Muhammad sebagai Rasul, Al-Qur’an merupakan kitab suci agama islam dan memuat firman-firman Allah, akan tetapi orang jawa juga tahu akan konsep-konsep agama lain, makhluk-makhuk ghaib dan kekuatan sakti serta melakukan ritus dan upacara keagamaan yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama islam yang resmi.
            Bentuk agama islam orang jawa disebut kejawen atau agama jawi, yaitu merupakan kompleks dan keyakinan dari konsep hindu-budha cenderung kearah mistik bercampur jadi satu dan diakui sebagai agama islam. Islam datang ke jawa dengan bentuk yang sudah tidak murni sebab sudah dipengaruhi oleh sufisme dan mistik islam dari Persia dan india. Agama islam masuk ke jawa di daerah pesisir dan pedalaman tanpa ada goncangan sedikitpun, dapat diterima dengan damai, bahkan diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Kepercayaan baru mendapat pewarta-pewarta penting dalam diri kiai-kiai dan kaum ulama. Mereka mempertahankan sebagian besar kebudayaan Hindu-Jawa. Dibuktikan bahwa dalam tradisi jawa, para pewarta dan para wali dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan, dan bahkan dari mistik ajaran islam mencocokkan tanpa kesulitan ke dalam pandangan jawa tradisional. Karena cocok dengan pandangan hidup tradisional orang-orang jawa, maka orang-orang jawa akhirnya menerima dengan hati terbuka.
            Menurut Koentjaraningrat (1984:317) menjelaskan bahwa para pujangga dan cendekiawan Keraton Mataran berusaha menjaga kelestarian peradaban Hindu-Budha kuno itu sehingga dihadapkan pada agama islam sinkretik yang berasal dari daerah pedesaan. Pujangga keraton Mataram memasukkan unsur kesastraan suluk yang asalnya dari pondok pesantren yang bersifat sinkretik-mistik, diolah sedemikian rupa ke dalam kesastraan jawa dan dimuat dalam Serat Centini dan Serat Cebolek yang bernuansa unsur mistik-moralitas. Lewat serat Cebolek karya Yasadipura dihimbau agar agama dan hukum islam hanya merupakan wadah kebudayaan jawa, tetapi untuk kehidupan spiritualnya orang jawa sebaiknya tetap berpegang pada nilai-nilai kebudayaan sendiri. Hal itu memiliki harapan, yaitu cara untuk menemukan kemurnian jiwa dan kesempurnaan hidup  dan usaha untuk menemukan dirinya di dalam Tuhan.
3.      Analisis
            Melihat keterangan-keterangan di atas, antara islam di tanah jawa dan aceh sangatlah berbeda. Menurut pemahaman saya bahwa islam di Aceh sangatlah taat terhadap ajaran agama islam yang di ajarkan kepada oleh para ulama yang biasanya disebut islam fiqih. Semangat masyarakat Aceh dan kentalnya agama islam dalam segala aspek kehidupan rakyatnya membawa masyarakat Aceh kepada kehidupan yang islami. Ini terbukti dengan adanya peran para ulama yang begitu sentral dalam masalah-masalah yang di hadapi masyarakat, begitu pentingnya ulama sampai setiap raja memosisikan ulama sebagai penasehat dalam kerajaan. Ulama sangatlah berjasa penting dalam perebutan kemerdekaan rakyat Aceh dari kolonialis Belanda, sampai pada saat kerajaan tidak sanggup menangani perlawanan dari penjajahan disitu ulamalah yang ambil andil dalam membangkitkan semangat rakyat Aceh. Doktrin yang diberikan ulama untuk membangkitkan semangat rakyat pada waktu itu bukan saja hanya menyangkut masalah nasioanlis semata, melainkan lebih ditekankan terhadap jihad fi sabilillah. Ini cukup membuktikan bahwa pengaruh islam dalam masyarakat Aceh sangatlah besar.
            Berbeda dengan islam di jawa yang sampai sekarang masih menggunakan islam agama jawi, model islam yang memadukan antara kebudayaan jawa dan ajaran islam. Islam di jawa tidak manghilangkan adat istiadat dan kebudayaan jawa yang telah mengakar dalam diri orang jawa dari turunan nenek moyang. Disini posisi islam untuk mengislamisasikan adat istiadat dan kebudayaan tersebut, bukan menghilangkannya. Jadi dalam islam jawa masih di lakukan ritual-ritual keagamaan yang berbasis islam dan berbau hindu, meskipun di dalam ajaran islam murni tidak ada ajaran tersebut.
            Di tanah jawa ini juga serig kita dengar islam santri dan islam abangan yang jarang atau mungkin tidak ada dalam masyarakat islam Aceh. Dalam islam santri berusaha semaksimal mungkin menjalankan agama secara benar serta menjauhkan diri dari sifat-sifat syirik, ini mungkin ada kemiripan dengan islam yang ada d Aceh. Sedangkan islam abangan, walaupun mereka juga islam, namun dalam hal praktek keagamaanya masih di warnai unsur kejawen, sehingga mereka mencampur adukan antara upacara-upacara islam dengan upacara-upacara kejawen. Orang kejawen juga percaya dengan adanya Allah, Rasul dan Al-Qur’an sebagai sumber agama, tapi mereka juga percaya dengan adanya kekuatan roh-roh yang berada pada suatu tempat tertentu.

Daftar Pustaka:
-          Ridin Sofwan, dkk., Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta, Gama Media, 2004.

-          M. Amiruddin Hasbi, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik, Yogyakarta, Ceninnts press, 2004.