1.
Islam Di Aceh
Dalam di aceh tidak lepas dari
peranan ulama dalam segala aspek kehidupan. Dalam masyarakat Aceh golongan
ulama adalah salah satu kelompok yang sangat penting, antara lain karena
posisinya sebagai pemimpin-pemimpin informal. Dalam sejarah masyarakat Aceh,
terdapat hubungan anatar ulama, masyarakat dan pemerintah sangatlah intim. Hal
ini dapat dilihat dari contoh kebersamaan mereka ketika berjuang mempertahankan
Negara dari agresi penjajahan belanda. Bahkan juga ketika usaha mengusir
belanda yang telah berusaha menduduki Aceh secara paksa. Pada masa tersebut
posisi ulama malah di depan, bertindak sebagai pemimpin rakyat di Aceh. Konflik
antara rakyat Aceh dan pemerintah pusat yang terjadi pada tahun 1953 sampai
1960, juga telah melibatkan sejumlah ulama dalam usaha menyelesaikannya
sehingga tercipta kedamaian lagi di Aceh.
Sejak saat kerajaan Aceh didirikan, setiap raja yang memimpin
kerajaan pasti didampingi oleh ulama sebagai Qodli Malik Al-Adil. Suatu
kenyataan yang mungkin berbeda dari daerah lain adalah tidak hanya raja yang
menempatkan ulama sebagai Qodli Malik Al-Adil untuk menasehatinya, tetapi
setiap negeri dan kepala kampung juga dibantu oleh ulama local.
Paruh kedua abad ke 19, hampir tak
dapat dipungkiri bahwa kolonialisme dan periode imperialisme modern mulai
tumbuh. Aceh dianggap sebagai daerah yang memiliki sumber ekonomi yang menguntungkan
dalam wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 1872, Belanda mengutus delegasi guna
memaksa rakyat Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda. Paksaan itu tidak bisa
diterima pemimpin Aceh, Belanda pun menyatakan perang pada April 1873 tapi
dapat dikalahkan oleh rakyat Aceh. Akan tetapi pada penyerangan kedua pada
tahun 1874 dengan armada yang lebih dahsyat, belanda berhasil menduduki istana
raja, namun bukan berarti perang sudah berakhir. Ketika kekuatan sultan tidak
sanggup memimpin perlawanan dan para uleebalang tidak mampu menyatukan
perlawanan rakyat lagi, ulama muncul dari dayah untuk memimpin peperangan
melawan penjajah yang kafir itu. Pada waktu itu, ulama mengumumkan :”ini
merupakan tugas kita untuk bersatu melaksanakan jihad”. Berdasarkan hal ini,
para ulama menjadi salah satu instrument yang membawa konflik tersebut menjadi
perang suci. Melalui penyebaran ideology “prang sabi” (perang sabil), ulama
mengajak rakyat untuk membangun kekuatan lagi guna melawan musuh yang sangat
berbahaya bukan hanya demi keselamatan Negara, tapi juga eksistensi agama.
Ulama menggunakan doktrin bahwa perang itu sebagai salah satu aspek ibadah yang
dianjurkan oleh islam yaitu jihad pada jalan Allah dengan perang suci.
Dalam islam didapati ajaran bahwa
mereka yang memerangi islam adalah kafir harbi dan Belanda dikategorikan
sebagai kafir harbi. Menurut ulama, perang melawan belanda dikatakan kewajiban
bagi setiap muslim dan disebut dengan jihad fi sabilillah. Siapapun yang gugur
dalam pertempuran adalah syahid dan akan masuk surge, dan diperbolehkan
mengambil secara paksa harta yang dimiliki kafir harbi yang disebut ghonimah. Sangat mungkin ini
telah menambah keinginan rakyat untuk berperang karena didasarkan pada perintah
Allah dan hadit Nabi.
Di sisi lain yang menunjukan peran
penting ulama di Aceh adalah pada tahun 1953 tentang pemberontakan rayat Aceh
terhadap pemerintah pusat. Rakyat Aceh berkeinginan daerahnya menjadi salah
satu propinsi yang mendapat perlakuan yang istimewa dengan alas an bahwa rakyat
Aceh sudah lama terlibat perang untuk mempertahankan negerinya dari Belanda.
Tanpa menghakimi siapa yang salah, bisa dikatakan bahwa pemberontakan ini
melibatkan mayoritas rakyat aceh yang dipimpin oleh sejumlah ulama yang sangat
dihormati. Pemerintah pusat pun tidak sanggup menahan pemberontakan yang
berlansung selama 9 Tahun. Pemberontakan tersebut berakhir setelah pemerintah
pusat menerima status daerah Istimewa Aceh. Rakyat Aceh diberi otonomi yaitu
dalam bidang keagamaan, adat dan pendidikan. Ini menandakan bahwa islam yang
ada di Aceh merupakan suatu hal diatas segalanya dengan ulama sebagai tonggak
tiangnya.
2.
Islam di Jawa
Agama islam mulai masuk di tanah
jawa sebelum abad ke-13, dan pertama kali menerima pengaruh islam dari Malaka.
Di jawa, agama islam lebih disebut dengan sebutan agama jawi. Orang jawa sangat
yakin adanya Allah, Nabi Muhammad sebagai Rasul, Al-Qur’an merupakan kitab suci
agama islam dan memuat firman-firman Allah, akan tetapi orang jawa juga tahu
akan konsep-konsep agama lain, makhluk-makhuk ghaib dan kekuatan sakti serta
melakukan ritus dan upacara keagamaan yang justru tidak ada sangkut pautnya
dengan ajaran agama islam yang resmi.
Bentuk agama islam orang jawa
disebut kejawen atau agama jawi, yaitu merupakan kompleks dan keyakinan dari
konsep hindu-budha cenderung kearah mistik bercampur jadi satu dan diakui
sebagai agama islam. Islam datang ke jawa dengan bentuk yang sudah tidak murni
sebab sudah dipengaruhi oleh sufisme dan mistik islam dari Persia dan india.
Agama islam masuk ke jawa di daerah pesisir dan pedalaman tanpa ada goncangan
sedikitpun, dapat diterima dengan damai, bahkan diintegrasikan ke dalam pola
budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Kepercayaan baru mendapat
pewarta-pewarta penting dalam diri kiai-kiai dan kaum ulama. Mereka
mempertahankan sebagian besar kebudayaan Hindu-Jawa. Dibuktikan bahwa dalam
tradisi jawa, para pewarta dan para wali dianggap sebagai penemu wayang dan
gamelan, dan bahkan dari mistik ajaran islam mencocokkan tanpa kesulitan ke
dalam pandangan jawa tradisional. Karena cocok dengan pandangan hidup
tradisional orang-orang jawa, maka orang-orang jawa akhirnya menerima dengan
hati terbuka.
Menurut Koentjaraningrat (1984:317)
menjelaskan bahwa para pujangga dan cendekiawan Keraton Mataran berusaha menjaga
kelestarian peradaban Hindu-Budha kuno itu sehingga dihadapkan pada agama islam
sinkretik yang berasal dari daerah pedesaan. Pujangga keraton Mataram
memasukkan unsur kesastraan suluk yang asalnya dari pondok pesantren yang
bersifat sinkretik-mistik, diolah sedemikian rupa ke dalam kesastraan jawa dan
dimuat dalam Serat Centini dan Serat Cebolek yang bernuansa unsur
mistik-moralitas. Lewat serat Cebolek karya Yasadipura dihimbau agar agama dan
hukum islam hanya merupakan wadah kebudayaan jawa, tetapi untuk kehidupan
spiritualnya orang jawa sebaiknya tetap berpegang pada nilai-nilai kebudayaan
sendiri. Hal itu memiliki harapan, yaitu cara untuk menemukan kemurnian jiwa
dan kesempurnaan hidup dan usaha untuk
menemukan dirinya di dalam Tuhan.
3.
Analisis
Melihat keterangan-keterangan di
atas, antara islam di tanah jawa dan aceh sangatlah berbeda. Menurut pemahaman
saya bahwa islam di Aceh sangatlah taat terhadap ajaran agama islam yang di
ajarkan kepada oleh para ulama yang biasanya disebut islam fiqih. Semangat
masyarakat Aceh dan kentalnya agama islam dalam segala aspek kehidupan
rakyatnya membawa masyarakat Aceh kepada kehidupan yang islami. Ini terbukti
dengan adanya peran para ulama yang begitu sentral dalam masalah-masalah yang
di hadapi masyarakat, begitu pentingnya ulama sampai setiap raja memosisikan
ulama sebagai penasehat dalam kerajaan. Ulama sangatlah berjasa penting dalam
perebutan kemerdekaan rakyat Aceh dari kolonialis Belanda, sampai pada saat
kerajaan tidak sanggup menangani perlawanan dari penjajahan disitu ulamalah
yang ambil andil dalam membangkitkan semangat rakyat Aceh. Doktrin yang
diberikan ulama untuk membangkitkan semangat rakyat pada waktu itu bukan saja
hanya menyangkut masalah nasioanlis semata, melainkan lebih ditekankan terhadap
jihad fi sabilillah. Ini cukup membuktikan bahwa pengaruh islam dalam
masyarakat Aceh sangatlah besar.
Berbeda dengan islam di jawa yang
sampai sekarang masih menggunakan islam agama jawi, model islam yang memadukan
antara kebudayaan jawa dan ajaran islam. Islam di jawa tidak manghilangkan adat
istiadat dan kebudayaan jawa yang telah mengakar dalam diri orang jawa dari
turunan nenek moyang. Disini posisi islam untuk mengislamisasikan adat istiadat
dan kebudayaan tersebut, bukan menghilangkannya. Jadi dalam islam jawa masih di
lakukan ritual-ritual keagamaan yang berbasis islam dan berbau hindu, meskipun
di dalam ajaran islam murni tidak ada ajaran tersebut.
Di tanah jawa ini juga serig kita
dengar islam santri dan islam abangan yang jarang atau mungkin tidak ada dalam
masyarakat islam Aceh. Dalam islam santri berusaha semaksimal mungkin
menjalankan agama secara benar serta menjauhkan diri dari sifat-sifat syirik,
ini mungkin ada kemiripan dengan islam yang ada d Aceh. Sedangkan islam
abangan, walaupun mereka juga islam, namun dalam hal praktek keagamaanya masih
di warnai unsur kejawen, sehingga mereka mencampur adukan antara
upacara-upacara islam dengan upacara-upacara kejawen. Orang kejawen juga percaya
dengan adanya Allah, Rasul dan Al-Qur’an sebagai sumber agama, tapi mereka juga
percaya dengan adanya kekuatan roh-roh yang berada pada suatu tempat tertentu.
Daftar
Pustaka:
-
Ridin Sofwan, dkk., Merumuskan
Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta, Gama Media, 2004.
-
M. Amiruddin Hasbi, Perjuangan Ulama
Aceh Di Tengah Konflik, Yogyakarta, Ceninnts press, 2004.