A.
Pengertian Majaz al Hadits
Majaz secara etimologis,
berasal dari kata Jaza al Syai’a Yajuzuhu (seseorang telah melewti sesuatu,
maka dia terlewatinya), yakni kata yang dialihkan dari makna asalnya kemudian
digunakan untuk menunjukkan makna yang lain yang mempunyai kesesuaian dari
makna asalnya.[1]
Sedangkan
secara terminologis, al jahiz mendefinisikan majaz adalah sebagai kebalikan
dari ungkapan hakiki yaitu sebagaimana pernyataannya;
“ Majaz adalah
lafad yang diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya karena adanya perluasan
makna dari ahli bahasa”.[2]
Maka definisi
yang diberikan oleh al jahiz di atas memberikan konsekuensi bahwa dalam majaz
berlaku adanya penambahan dan perluasan makna, sejalan dengan al Jahiz, ibnu Jinni juga mendefinisikan majaz sebagai
kebalikan dari ugkapan hakiki dalam arti bahwa ungkapan hakiki adalah ungkapan
yang pokok sdangkan ungkapan majazi adalah cabang darinya.[3]
Sedangkan
pengertian majaz di kalangan lughowiyyin dan balaghiyyin lebih banyak variasi
dan macam-macam majaz karena mereka membagi pengertia majaz berdasarkan
alaqohnya (keterkaitan maknanya) ketika mengalihkan makna hakiki ke makna
majazi sebagaimana, ditegaskan oleh Ahmad al Hasyimi adalah:
“Lafad yang
diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya dalam percakapan karena adanya alaqoh
(keterkaitan makna) serta qorinah (indikator) yang menghalangi untuk dimaknai
sebagaimana makna aslinya”.[4]
Dari beberapa
definisi mengenai majaz di atas dapat ditarik pengertian bahwa majaz adalah
pengunaan kata tidak pada makna aslinya karena adanya alasan yang menyertainya.
Sedangkan
secara sederhana dapat dipahami hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada
nabi setelah kenabian baik berupa ucapan (qoul), perilaku (fi’il), sifat maupun
ketetapan (taqrir).[5]
Dari kedua kata
ini, kemudian dijadikan dalam bentuk idhofah yaitu majaz al hadits yang dapat
didefinisikan bahwa majaz al hadits atau ilmu majaz al hadits adalah ilmu yang
mengkaji tentang redaksi hadits yang tidak digunakan sebagaimana makna aslinya
karena adanya alasan yang mengharuskan dimaknai tidak sebagaimana makna aslinya.
B.
Sebab-sebab terjadinya Majaz al Hadits
Bahasa yang
digunakan dalam hadits Nabi jelas adalah bahasa arab yang dalam bahasa arab
itu sendiri banyak terdapat ungkapan majaz, bahkan tidak hanya bahasa
arab, namun bahasa apa saja banyak menggunakan ungkapan majaz, maka dalam
mengalihkan makna hakiki ke makna majazi dalam hadits Nabi sebetulnya tidak
bisa dilepaskan dari persoalan yang menjadi sebab terjadinya majaz dalam bahasa
arab itu sendiri.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnu Jinni secara sederhana ada tiga alasan mengalihan makna
hakiki ke makna majazi yakni
-
Adanya
ittisa’ (perluasan makna) .
-
Adanya
ta’kid (penguatan makna).
-
Adanya
tasybih (penyerupaan makna).
Sedangkan ahli
bahasa menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan makna hakiki ke
makna majazi. Sebab-sebab tersebut antara lain:
-
Jika
diungkapkan dengan umgkapan hakiki terasa berat karena mengandung konotasi yang
berlebihan sehingga perlu digunakan kata-kata yang lebih ringan untuk diucapkan.
-
Penggunaan
ungkapan hakiki mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
-
Penggunaan
majaz adalah sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah yang tidak dapat
diungkapkan dalam bentuk hakiki seperti dalam syair-syair.
-
Penggunaan
ungkapan majaz adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara.
Ibrahim Anis
juga telah menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain :
-
Penjelasan
makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasan makna yang abstrak
menjadi makna dalm bentuk yang kongkrit, sehingga orang yang mendengarkannya
mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dalam bentuk majaz. Seperti
kata “ Rojulun Katsrotu ar Romad” (orang yang banyak abunya). Untuk
menggambarkan “orang yang mulia” yang masih abstrak kemudian dijelaskan dengan
kata-kata yang kongkrit yang masih mempunyai keterkaitan dengan kata Katsrotu
ar Romad, dengan adanya keterkaitan bahwa orang yang banyak abunya berarti
dia banyak masak dan orang yang banyak masak dia adalah orang yang banyak
menjamu tamu. Dengan banyak menjamu tamu maka dia termasuk orang yang mulia.
-
Penggunaan
majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang,
semakin berkembang intelektual manusia maka hal-hal yang masih bersifat abstrak
tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut
adanya perluasan makna.[6]
Berdasarkan
pemaparan sebabsebab terjadinya majaz diatas adalah suatu bukti bahwa
terjadinya majaz dalam bahasa adalah
suatu keniscayaan. Begitu pula dengan hadits
Nabi bahasa yang digunakan adalah bahasa arab yang banyak mengandung
majaz, maka sebab-sebab terjadinya majaz dalam bahasa adalah sama halnya dengan
yang terjadi terhadap hadits Nabi yang juga menggunakan bahasa arab.
Nabi Muhammad
SAW sebagai orang yang paling fasih dalam bertutur, orang yang jelas dalam
berargumen, lahjahnya yang jelas, serta mempunyai gaya bicara yang
mempunyai nilai sastra yang tinggi, maka tidak heran jika Nabi menggunakan
ungkapan-ungkapan jawami’ alkalim maupun ungkapan simbolik (ramzi),[7]yang
didalamnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan dalam hadits dengan ungkapan
majazi, namun demikian perlu digarisbawahi bahwa Nabi juga faham sekali dengan
siapa beliau berbicara, dalam arti beliaupun menyesuaikan dengan kemampuan akal
mukhotob (sahabat) sehingga mukhotob pun dapat memahami apa yang disampaikan
oleh Nabi. Jika diantara sahabat ada yang tidak paham adalah karena perbedaan
daya tangkap diantara mereka bukan karena Nabi yang salah menyampaikan ungkapan
beliau.
Penggunaan
ungkapan majazi dalam Hadits yang disampaikan Nabi juga karena Nabi sangat
paham dengan bahasa arab itu sendiri. Dalam sejarah dikatakan bahwa bahasa arab
adalah bahasa yang sangat erat kaitannya dengan syi’ir-syi’ir pra Islam,
sedangkan majaz sendiri adalah bagian sulit dilepaskan dalam mengungkapkan gaya
bahasa dalam syi’ir, dalam artian syi’ir tanpa adanya majaz tidak akan terasa
keindahan bahasanya karena majaz adalah sebuah Tasybih dan bentuk symbol-simbol
yang dipinjam untuk mengungkapkan ungkapan hakiki dengan bentuk tertentu dalam
syi’ir arab. Melihat hal ini maka Nabi sebetulnya paham sekali bahwa ungkapan
Nabi yang mengandung majaz adalah bukan hal yang asing bagi orang arab.
C.
Contoh Majaz al Hadits
Artinya :
“Nabi SAW.
bersabda : Ingatlah bahwa sesungguhnya iman adalah Yaman dan hikmah adalah
Yamaniyyah dan aku mendapatkan “nafas “ Tuhan kalian dari Yaman.”
Menurut
Syarif Ridlo, hadits di atas mengandung
majaz, selebihnya ia menyatakan:
“Hadits di atas
mengandung majaz, karena yang dimaksud oleh Nabi adalah bahwa pertolongan Allah
datang dari “kabilah” Yaman (kaum Anshor) yang menjadi perantara atas
pertolongan sehingga membuka jalan kesulitan mereka yang dianugerahkan Allah
terhadap orang yang berjihad di jalan Allah, bukan Negara Yaman.”[8]
Dilihat dari
pernyataan Syarif Ridlo di atas, dia mengatakan hadits Nabi yang mengandung
majaz adalah dengan mengalihkan makna hadits tersebut ke makna majazi yakni
yang dimaksud dengan “nafas dari Yaman” bukanlah Negara Yaman yang dapat
memberikan pertolongan yang dianugerahkan Allah, melainkan yang dimaksud
penduduk Yaman adalah (kaum Anshor) yang menjadi perantara atas pertolongan
Allah terhadap orang-orang yang berjihad di jalan Allah.[9]
Disisi lain
Ibnu Al Jauzi sebagaimana pendapatnya yang mengikuti Ibnu Qutaibah, melihat
hadits diatas dari sisi lafad yang ghorib, dalam pemahaman beliau, memasukkan
kajian ini kedalam kajian ghorib al hadits dengan melihat obyeknya pada
kata-kata yang ghorib.
Kata yang
ghorib yang terdapat dalam hadits di atas adalah kata “nafas” , terhadap hadits
ini Ibnu Al Jauzi sebagaimana pendapat Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata nafas adalah pertolongan yang dianugerahkan Allah melalui
kaum Anshor yang berada di daerah Yaman.[10]
Artinya:
“Dari Anas
RA dari Nabi SAW tentang hadits yang diriwayatkan Nabi dari Allah, Allah
berfirman : Jika seorang hamba mendekat kepadaku sejengkal, aku akan mendekat
kepadanya sehasta dan jika dia mendekat kepadaku sehasta aku akan mendekat
kepadanya se-depa, dan jika dia datang kepadaku sambil berjalan, aku akan
datang kepadanya sambil berlari.”
Syarif Ridlo
mengatakan bahwa hadits diatas mengandung majaz, selanjutnya dia mengatakan :
“ Hadits ini
mengandung majaz karena yang dimaksud dari hadits diatas adalah perbuatan baik
yang sedikit akan dibalas Allah dengan kebaikan yang lebih besar, hanya saja
Nabi “taqorrub” sebagai ungkapan yang berarti memberikan pahala, bukan sebagai
makna aslinya, sehingga seakan-akan Tuhan mendekat kepada orang-orang yang
berbuat sesuatu yang berpahala dengan cara menggunakan ungkapan majaz dan
perluasan makna. Adapun bunyi hadits selanjutnya “dan barang siapa yang datang
kepadaku berjalan maka aku akan mendatanginya dengan berlari” maksudnya adalah
barang siapa yang beruat taat kepada Allah walaupun degan cara yang sangat
lambat maka Allah akan membalasnya dengan sangat cepat tanpa ditunda-tunda.
Datang dengan berjalan adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang lamban,
sedangkan datang dengan berlari adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang cepat,
ungkapan majazi seperti ini memang sering digunakan Nabi untuk mengungkapkan
perbuatan Tuhan yang sangat agung terhadap hambanya, walaupun terkadang pahala
yang danugerahkanNya tidak harus datang sekali itu juga tapi terkadang ditunda
atas kehendakNya.”[11]
Sedangkan
dilihat dari pemaparan di atas objek kajian antara Ghorib al Hadits dan Majaz
al Hadits bisa sama juga bisa berbeda. Objek kajian Ghorib al Hadits adalah
kata sedangkan majaz al hadits adalah bisa kata dan bisa keseluruhan redaksi
hadits. Begitu juga cara penyelesaiannya juga menuntut cara yang berbeda
walaupun kajian haditsnya sama persis.
D.
Kedudukan Ilmu Majaz al Hadits
Banyak sekali
upaya ulama’ untuk membuktikan kualitas hadits dari segi matannya, karena jika
matan tidak shohih maka hadits belum dapat dikatakan shohih, untuk membuktikan
kualitas matan hadits salah satunya adalah dengan pendekatan bahasa.
Menurut Yusuf Qordlowi
bahwa terburu-buru menolak hadist yang sulit dipahami, padahal hadits tersebut
shohih adalah suatu kesalahan, karena sebetulnya hadits yang sulit dipahami
bisa didekati dengan makna majazi, sehingga kesulitan tersebut menjadi hilang,
bahkan memahami secara majazi adalah sebuah keharusan jika terdapat alasan yang
kuat yang mengharuskan dimaknai majazi[12].
Berdasarkan
pemaparan diatas, maka kedudukan ilmu majaz alhadits dalam ilmu hadits adalah
sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang matan hadits, dilihat dari aspek
bahasa, terutama dalam hal pentakwilan hadits yang pada saat tertentu tidak
dapat dimaknai secara hakiki.
Dilihat dari
aspek kualitas hadits, ilmu majaz al hadits adalah salah satu aspek yang
mengkaji kualitas matan hadits dari segi bahasa, karena fenomena bahasa yang
digunakan oleh Nabi banyak yang menggunakan ungkapan ungkapan majazi, yang
sulit dipahami jika tidak dilihat dari aspek bahasa, dengan mengalihkan makna
hakiki ke makna majazi, akibatnya kualitas matan hadits tersebut menjadi
diragukan hanya karena sulit dipahami, sebetulnya secara majazi matan hadits
tersebut dapat dipahami dan diterima kualitasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyimi, Sayyid ahmad. 2000. Jawahirul Balaghoh fil Ma’ani wal
Bayan wal Badi, Beirut: Darul Fikr.
Ismail, M. Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar, dan Pemalsunya, Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press.
Iwad, Haidar farid. 2005. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa Tatbiqiyyah,
Mesir: Maktabatul Adab.
Jauzi, Ibnu. Ghoribul Hadits,
Jilid II, Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah.
Khotib, M. Ajjaj. 2006. Ushul
Hadis Ulumuhu wa Mustholahahu,Beirut: Darul Fikr.
Qordlowi,
Yusuf. 2007. Pengantar Study Hadits, terj. Agus Suryadi Rahayusun. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Ridlo,
Al Syarif . al Majazat al Nabawiyah, Mesir: Muassasah al Halaby.
[1]
Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’
(Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 253.
[2]
Haidar farid iwad. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa tatbiqiyyah (Mesir:
Maktabatul Adab, 2005), hlm. 61.
[3]
Ibid., hlm. 60.
[4]
Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’(Beirut:
Darul Fikr, 2000), hlm. 253.
[5]
M. Ajjaj al Khotib, Ushul Hadis Ulumuhu wa Mustholahahu (Beirut: Darul
Fikr, 2006), hlm. 19.
[6]
Haidar farid iwad. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa tatbiqiyyah (Mesir:
Maktabatul Adab, 2005), hlm. 65-66.
[7]
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya,
Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 9.
[8]
Al Syarif al Ridlo, al Majazat al Nabawiyah (Mesir: Muassasah al
Halaby), hlm56.
[9]
Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’(Beirut:
Darul Fikr, 2000), hlm. 254-255.
[10]
Ibnu Al Jauzi, Ghoribul Hadits, Jilid II (Beirut: Darul Kutub al
Ilmiyah), hlm 425.
[11] Al Syarif al Ridlo, al Majazat al
Nabawiyah (Mesir: Muassasah al Halaby), hlm. 371-372.
[12]
Yusuf Qordlowi, Pengantar Study Hadits, terj. Agus SuryadiRahayusun
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 141-142.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar