Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

ILMU MAJAZ AL HADITS

A.    Pengertian Majaz al Hadits
Majaz secara etimologis, berasal dari kata Jaza al Syai’a Yajuzuhu (seseorang telah melewti sesuatu, maka dia terlewatinya), yakni kata yang dialihkan dari makna asalnya kemudian digunakan untuk menunjukkan makna yang lain yang mempunyai kesesuaian dari makna asalnya.[1]
Sedangkan secara terminologis, al jahiz mendefinisikan majaz adalah sebagai kebalikan dari ungkapan hakiki yaitu sebagaimana pernyataannya;
“ Majaz adalah lafad yang diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya karena adanya perluasan makna dari ahli bahasa”.[2]
Maka definisi yang diberikan oleh al jahiz di atas memberikan konsekuensi bahwa dalam majaz berlaku adanya penambahan dan perluasan makna, sejalan dengan al Jahiz,  ibnu Jinni juga mendefinisikan majaz sebagai kebalikan dari ugkapan hakiki dalam arti bahwa ungkapan hakiki adalah ungkapan yang pokok sdangkan ungkapan majazi adalah cabang darinya.[3]
Sedangkan pengertian majaz di kalangan lughowiyyin dan balaghiyyin lebih banyak variasi dan macam-macam majaz karena mereka membagi pengertia majaz berdasarkan alaqohnya (keterkaitan maknanya) ketika mengalihkan makna hakiki ke makna majazi sebagaimana, ditegaskan oleh Ahmad al Hasyimi adalah:
“Lafad yang diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya dalam percakapan karena adanya alaqoh (keterkaitan makna) serta qorinah (indikator) yang menghalangi untuk dimaknai sebagaimana makna aslinya”.[4]
Dari beberapa definisi mengenai majaz di atas dapat ditarik pengertian bahwa majaz adalah pengunaan kata tidak pada makna aslinya karena adanya alasan yang menyertainya.
Sedangkan secara sederhana dapat dipahami hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi setelah kenabian baik berupa ucapan (qoul), perilaku (fi’il), sifat maupun ketetapan (taqrir).[5]
Dari kedua kata ini, kemudian dijadikan dalam bentuk idhofah yaitu majaz al hadits yang dapat didefinisikan bahwa majaz al hadits atau ilmu majaz al hadits adalah ilmu yang mengkaji tentang redaksi hadits yang tidak digunakan sebagaimana makna aslinya karena adanya alasan yang mengharuskan dimaknai tidak sebagaimana makna aslinya.
B.     Sebab-sebab terjadinya Majaz al Hadits
Bahasa yang digunakan dalam hadits Nabi jelas adalah bahasa arab yang dalam bahasa arab itu  sendiri banyak terdapat  ungkapan majaz, bahkan tidak hanya bahasa arab, namun bahasa apa saja banyak menggunakan ungkapan majaz, maka dalam mengalihkan makna hakiki ke makna majazi dalam hadits Nabi sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan yang menjadi sebab terjadinya majaz dalam bahasa arab itu sendiri.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Jinni secara sederhana ada tiga alasan mengalihan makna hakiki ke makna majazi yakni
-          Adanya ittisa’ (perluasan makna) .
-          Adanya ta’kid (penguatan makna).
-          Adanya tasybih (penyerupaan makna).
Sedangkan ahli bahasa menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan makna hakiki ke makna majazi. Sebab-sebab tersebut antara lain:
-          Jika diungkapkan dengan umgkapan hakiki terasa berat karena mengandung konotasi yang berlebihan sehingga perlu digunakan kata-kata yang lebih ringan untuk diucapkan.
-          Penggunaan ungkapan hakiki mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
-          Penggunaan majaz adalah sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah yang tidak dapat diungkapkan dalam bentuk hakiki seperti dalam syair-syair.
-          Penggunaan ungkapan majaz adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara.
Ibrahim Anis juga telah menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain :
-          Penjelasan makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasan makna yang abstrak menjadi makna dalm bentuk yang kongkrit, sehingga orang yang mendengarkannya mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dalam bentuk majaz. Seperti kata “ Rojulun Katsrotu ar Romad” (orang yang banyak abunya). Untuk menggambarkan “orang yang mulia” yang masih abstrak kemudian dijelaskan dengan kata-kata yang kongkrit yang masih mempunyai keterkaitan dengan kata Katsrotu ar Romad, dengan adanya keterkaitan bahwa orang yang banyak abunya berarti dia banyak masak dan orang yang banyak masak dia adalah orang yang banyak menjamu tamu. Dengan banyak menjamu tamu maka dia termasuk orang yang mulia.
-          Penggunaan majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang, semakin berkembang intelektual manusia maka hal-hal yang masih bersifat abstrak tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut adanya perluasan makna.[6]
Berdasarkan pemaparan sebabsebab terjadinya majaz diatas adalah suatu bukti bahwa terjadinya  majaz dalam bahasa adalah suatu keniscayaan. Begitu pula dengan hadits  Nabi bahasa yang digunakan adalah bahasa arab yang banyak mengandung majaz, maka sebab-sebab terjadinya majaz dalam bahasa adalah sama halnya dengan yang terjadi terhadap hadits Nabi yang juga menggunakan bahasa arab.
Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling fasih dalam bertutur, orang yang jelas dalam berargumen, lahjahnya yang jelas, serta mempunyai gaya bicara yang mempunyai nilai sastra yang tinggi, maka tidak heran jika Nabi menggunakan ungkapan-ungkapan jawami’ alkalim maupun ungkapan simbolik (ramzi),[7]yang didalamnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan dalam hadits dengan ungkapan majazi, namun demikian perlu digarisbawahi bahwa Nabi juga faham sekali dengan siapa beliau berbicara, dalam arti beliaupun menyesuaikan dengan kemampuan akal mukhotob (sahabat) sehingga mukhotob pun dapat memahami apa yang disampaikan oleh Nabi. Jika diantara sahabat ada yang tidak paham adalah karena perbedaan daya tangkap diantara mereka bukan karena Nabi yang salah menyampaikan ungkapan beliau.
Penggunaan ungkapan majazi dalam Hadits yang disampaikan Nabi juga karena Nabi sangat paham dengan bahasa arab itu sendiri. Dalam sejarah dikatakan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang sangat erat kaitannya dengan syi’ir-syi’ir pra Islam, sedangkan majaz sendiri adalah bagian sulit dilepaskan dalam mengungkapkan gaya bahasa dalam syi’ir, dalam artian syi’ir tanpa adanya majaz tidak akan terasa keindahan bahasanya karena majaz adalah sebuah Tasybih dan bentuk symbol-simbol yang dipinjam untuk mengungkapkan ungkapan hakiki dengan bentuk tertentu dalam syi’ir arab. Melihat hal ini maka Nabi sebetulnya paham sekali bahwa ungkapan Nabi yang mengandung majaz adalah bukan hal yang asing bagi orang arab.
C.    Contoh Majaz al Hadits


Artinya :
“Nabi SAW. bersabda : Ingatlah bahwa sesungguhnya iman adalah Yaman dan hikmah adalah Yamaniyyah dan aku mendapatkan “nafas “ Tuhan kalian dari Yaman.”
Menurut Syarif  Ridlo, hadits di atas mengandung majaz, selebihnya ia menyatakan:
“Hadits di atas mengandung majaz, karena yang dimaksud oleh Nabi adalah bahwa pertolongan Allah datang dari “kabilah” Yaman (kaum Anshor) yang menjadi perantara atas pertolongan sehingga membuka jalan kesulitan mereka yang dianugerahkan Allah terhadap orang yang berjihad di jalan Allah, bukan Negara Yaman.”[8]
Dilihat dari pernyataan Syarif Ridlo di atas, dia mengatakan hadits Nabi yang mengandung majaz adalah dengan mengalihkan makna hadits tersebut ke makna majazi yakni yang dimaksud dengan “nafas dari Yaman” bukanlah Negara Yaman yang dapat memberikan pertolongan yang dianugerahkan Allah, melainkan yang dimaksud penduduk Yaman adalah (kaum Anshor) yang menjadi perantara atas pertolongan Allah terhadap orang-orang yang berjihad di jalan Allah.[9]
Disisi lain Ibnu Al Jauzi sebagaimana pendapatnya yang mengikuti Ibnu Qutaibah, melihat hadits diatas dari sisi lafad yang ghorib, dalam pemahaman beliau, memasukkan kajian ini kedalam kajian ghorib al hadits dengan melihat obyeknya pada kata-kata yang ghorib.
Kata yang ghorib yang terdapat dalam hadits di atas adalah kata “nafas” , terhadap hadits ini Ibnu Al Jauzi sebagaimana pendapat Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata nafas adalah pertolongan yang dianugerahkan Allah melalui kaum Anshor yang berada di daerah Yaman.[10]



Artinya:
Dari Anas RA dari Nabi SAW tentang hadits yang diriwayatkan Nabi dari Allah, Allah berfirman : Jika seorang hamba mendekat kepadaku sejengkal, aku akan mendekat kepadanya sehasta dan jika dia mendekat kepadaku sehasta aku akan mendekat kepadanya se-depa, dan jika dia datang kepadaku sambil berjalan, aku akan datang kepadanya sambil berlari.”
Syarif Ridlo mengatakan bahwa hadits diatas mengandung majaz, selanjutnya dia mengatakan :
“ Hadits ini mengandung majaz karena yang dimaksud dari hadits diatas adalah perbuatan baik yang sedikit akan dibalas Allah dengan kebaikan yang lebih besar, hanya saja Nabi “taqorrub” sebagai ungkapan yang berarti memberikan pahala, bukan sebagai makna aslinya, sehingga seakan-akan Tuhan mendekat kepada orang-orang yang berbuat sesuatu yang berpahala dengan cara menggunakan ungkapan majaz dan perluasan makna. Adapun bunyi hadits selanjutnya “dan barang siapa yang datang kepadaku berjalan maka aku akan mendatanginya dengan berlari” maksudnya adalah barang siapa yang beruat taat kepada Allah walaupun degan cara yang sangat lambat maka Allah akan membalasnya dengan sangat cepat tanpa ditunda-tunda. Datang dengan berjalan adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang lamban, sedangkan datang dengan berlari adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang cepat, ungkapan majazi seperti ini memang sering digunakan Nabi untuk mengungkapkan perbuatan Tuhan yang sangat agung terhadap hambanya, walaupun terkadang pahala yang danugerahkanNya tidak harus datang sekali itu juga tapi terkadang ditunda atas kehendakNya.”[11]
Sedangkan dilihat dari pemaparan di atas objek kajian antara Ghorib al Hadits dan Majaz al Hadits bisa sama juga bisa berbeda. Objek kajian Ghorib al Hadits adalah kata sedangkan majaz al hadits adalah bisa kata dan bisa keseluruhan redaksi hadits. Begitu juga cara penyelesaiannya juga menuntut cara yang berbeda walaupun kajian haditsnya sama persis.
D.    Kedudukan Ilmu Majaz al Hadits
Banyak sekali upaya ulama’ untuk membuktikan kualitas hadits dari segi matannya, karena jika matan tidak shohih maka hadits belum dapat dikatakan shohih, untuk membuktikan kualitas matan hadits salah satunya adalah dengan pendekatan bahasa.
Menurut Yusuf Qordlowi bahwa terburu-buru menolak hadist yang sulit dipahami, padahal hadits tersebut shohih adalah suatu kesalahan, karena sebetulnya hadits yang sulit dipahami bisa didekati dengan makna majazi, sehingga kesulitan tersebut menjadi hilang, bahkan memahami secara majazi adalah sebuah keharusan jika terdapat alasan yang kuat yang mengharuskan dimaknai majazi[12].
Berdasarkan pemaparan diatas, maka kedudukan ilmu majaz alhadits dalam ilmu hadits adalah sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang matan hadits, dilihat dari aspek bahasa, terutama dalam hal pentakwilan hadits yang pada saat tertentu tidak dapat dimaknai secara hakiki.
Dilihat dari aspek kualitas hadits, ilmu majaz al hadits adalah salah satu aspek yang mengkaji kualitas matan hadits dari segi bahasa, karena fenomena bahasa yang digunakan oleh Nabi banyak yang menggunakan ungkapan ungkapan majazi, yang sulit dipahami jika tidak dilihat dari aspek bahasa, dengan mengalihkan makna hakiki ke makna majazi, akibatnya kualitas matan hadits tersebut menjadi diragukan hanya karena sulit dipahami, sebetulnya secara majazi matan hadits tersebut dapat dipahami dan diterima kualitasnya.



















DAFTAR PUSTAKA
Hasyimi, Sayyid ahmad. 2000. Jawahirul Balaghoh fil Ma’ani wal Bayan wal Badi, Beirut: Darul Fikr.
Ismail, M. Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press.
Iwad, Haidar farid. 2005. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa Tatbiqiyyah, Mesir: Maktabatul Adab.
Jauzi, Ibnu. Ghoribul Hadits, Jilid II, Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah.
Khotib, M. Ajjaj. 2006. Ushul Hadis Ulumuhu wa Mustholahahu,Beirut: Darul Fikr.
Qordlowi, Yusuf. 2007. Pengantar Study Hadits, terj. Agus Suryadi Rahayusun. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ridlo, Al Syarif . al Majazat al Nabawiyah, Mesir: Muassasah al Halaby.



[1] Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’ (Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 253.
[2] Haidar farid iwad. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa tatbiqiyyah (Mesir: Maktabatul Adab, 2005), hlm. 61.
[3] Ibid., hlm. 60.
[4] Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’(Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 253.
[5] M. Ajjaj al Khotib, Ushul Hadis Ulumuhu wa Mustholahahu (Beirut: Darul Fikr, 2006), hlm. 19.
[6] Haidar farid iwad. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa tatbiqiyyah (Mesir: Maktabatul Adab, 2005), hlm. 65-66.
[7] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 9.
[8] Al Syarif al Ridlo, al Majazat al Nabawiyah (Mesir: Muassasah al Halaby), hlm56.
[9] Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’(Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 254-255.
[10] Ibnu Al Jauzi, Ghoribul Hadits, Jilid II (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah), hlm 425.
[11]  Al Syarif al Ridlo, al Majazat al Nabawiyah (Mesir: Muassasah al Halaby), hlm. 371-372.
[12] Yusuf Qordlowi, Pengantar Study Hadits, terj. Agus SuryadiRahayusun (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 141-142.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar