Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

konsep RIBA, PENIMBUNAN dan ETIKA MU’AMALAH Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Baari

PEMBAHASAN

A.    RIBA dan ANCAMAN BAGI PELAKU
Dalam bahasa arab, makna dasar kata riba adalah tambahan baik tambahan tersebut terjadi pada sesuatu itu sendiri seperti Firman Allah “ وربت هتزتا ”  (tumbuh dan bertambah) atau penambahan pada gantinya seperti satu dirham diganti dengan dua dirham. Ada juga yang berpendapat bahwa tambahan pada bendanya merupakan hakikat dari makna riba, sedangkan tambahan pada penggantinya merupakan makna majaz. Ibnu Suraij menambahkan bahwa maknayang kedua merupakan hakikat syar’I dari riba.[1]
Para penulis kitab Sunan meriwayatkan dari jalur Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari bapaknya (dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah)
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang yang memberi (orang lain supaya memakannya), saksi dan penulis dalam transaksi riba”[2]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan melalui jalur Muqotil bin Hayyan, dia berkata
ما كان من ربا وان زاد حتى يغبط صاحبه فا ن الله يمحقه
“Apa yang berasal dari riba meskipun bertambah banyak hingga orang-orang iri terhadap pelakunya, sesungguhnya Allah akan memusnahkannya”[3]
Pernyataan ini berasal dari hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad Hasan dari Nabi SAW
ان الربا وان كثر عاقبته الى قل
“Sesungguhnya riba meski sangat banyak akhirnya akan kembali sedikit”[4]

B.     MENIMBUN BARANG
Akan tetapi sekedar membawa makanan ketempat tinggal tidak berkonsekwensi penimbunan menurut pengertian syar’I. Sebab dalam pengertian syariat menimbun adalah menahan barang dan tidak menjualnya serta menunggu hingga harganya melonjak, padahal kebutuhan dia sudah terpenuhi tanpa barang itu, sementara orang-orang membutuhkannya. Demikian penafsiran yang dikemukakan Imam Malik dari Abu Az Zinad, dari Sa’id bin Al Musayyab.[5]
Imam Malik berkata tentang seseorang yang mengangkat makanan dari tempat dimana ia disia-siakan dan dibawa kerumahnya “Ini bukan termasuk menimbun barang” sementara itu, dari Imam Ahmad dinukil pendapat bahwa yang diharamkan adalah menimbun bahan makanan pokok.
لا يحتكر الا خاطئ
“tidak akan melakukan penimbunan kecuali orang yang melakukan dosa”[6]
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadits diantara hadits Ma’mar yang telah disebutkan dan hadits Umar dari Nabi SAW
من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله با لجذام والافلاس
“Barang siapa menimbun kebutuhan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya”[7]
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Majah dengan sanad yang Hasan.

C.    ETIKA MU’AMALAH
Disebutkan dalam kitab Sunan dari Hadits Qais bin Abu Gharzah, dari Nabi SAW
يا معشر التجار ان البيع يحضره اللغو والحلف فشوبوه بالصدقة
“wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli dihadiri oleh perkataan sia-sia dan sumpah, maka liputilah ia dengan kejujuran”[8]
Apabila sumpah itu dusta, maka haram hukumnya sedangkan apabila sumpah itu benar dan jujur, maka hukumnya pun makruh.
ان رجلا ذكر للنبى صلى الله عليه وسلم انه يخدع فى البيوع فقال : اذا بايعت فقل :
لا خلابة
“Bahwasanya seorang laki-laki bercerita kepada Nabi SAW bahwa dia ditipu orang dalam jual beli. Maka Nabi bersabda : “Apabila engkau berjual-beli, maka katakan,”tidak boleh ada penipuan”[9]
Hadits ini diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf yang mengkhabarkan dari Imam Malik dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar RA.

DAFTAR PUSTAKA

Asqolani, Ibnu Hajar. 2009. Fathul Baari Syarkh Shohihul Bukhori Jilid Awwal. Lebanon: Dar Kutub Al Ilmiyah




[1] Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Fathul Baari Syarkh Shohihul Bukhori Jilid Awwal (Lebanon: Dar Kutub Al Ilmiyah 2009), Hal. 1094.
[2] Ibid.
[3] Ibid., Hal. 1095.
[4] Ibid.
[5] Ibid., 1108
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., 1095
[9] Ibid., 1104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar