Abstract
Recently, how muslims treat or interact
or response or receipt to the Qur’an in their daily life is becoming a new field
of Qur’anic studies. Their responses, treatments,
and reception to the Qur’an vary. In daily life, Qur’an as experienced by
muslims become ‘alive’ which in turn become alike-tradition in their culture. In this context, what muslims do to the Qur’an
is to absorb the real meaning for their lives. This phenomenon becomes the
interesting fields for Qur’anic studies due to its uniqueness and hides
‘mystery’. Therefore, based on the thoughts of some qur’anic scholars, this
paper is like an introduction to introduce this living qur’an as a part of
Qur’anic studies. This paper also discusses the fields of living qur’an studies
.
Keywords: Qur’an, Muslims, living, phenomenon, dailylife,
recitation
A. Latar Belakang
Tahun 2005, penulis terlibat dalam Forum
Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI). Pada tahun itu FKMTHI
mengadakan kongres yang didahului dengan seminar. Tema seminar yang diusung
adalah Living Qur’an: Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Penulis
terlibat dalam mendiskusikan tema tersebut dengan beberapa dosen. Salah satu
dosen yang gencar mengusung tema ini adalah Muhammad Mansyur dan Ahmad Rofiq.
Setelah berdiskusi dengan mereka—berdasarkan diskusi
tersebut—penulis sempat membuat sebuah artikel dengan tujuan melempar tema
tersebut ke publik dan akademika studi al-Qur’an, supaya mendapatkan respons. Artikel
tersebut berjudul Living Qur’an: Sebuah Tawaran, yang dimuat di kolom
Kajian Utan Kayu Harian Jawa Pos, 10 Januari 2005. Inti artikel ini adalah mengajak
akademik untuk mengembangkan
kajian al-Qur’an yang tidak melulu memperlakukan al-Qur’an sebagai teks (canon),
tetapi juga mengkaji al-Qur’an sebagai fenomena yang hidup dalam masyarakat
seperti cara masyarakat (awam) berinteraksi dengan al-Qur’an, memperlakukan
al-Qur’an sebagai sesuatu yang bernilai dengan sendirinya.
Meskipun artikel penulis
masih relatif abstrak—karena masih berupa tawaran, semingu setelah itu,
yakni 16 Januari 2005, Islah Gusmian (alumni TH dan Dosen STAIN Surakarta,
penulis buku Khasanah Tafsir Indonesia) menanggapi artikel penulis pada
kolom dan harian yang sama dengan tajuk Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim
Indonesia. Dengan
kerangka teoretik dan pendekatan yang berbeda dengan yang saya pakai, Islah
Gusmian melihat Living Qur’an dari sisi sosial budaya dan mengajukan beberapa
wilayah kajiannya: pertama, visual teks al-Qur’an (kaligrafi) yang
diposisikan sebagai suatu subjek yang menghasilkan potensi seni yang sangat
berharga. Kedua, aspek wujud material al-Qur’an yang dijadikan medan
arsitektural dengan menuliskannya dalam ukuran yang besar. Ketiga, aspek aksentuasi grafis pada susunan teks al-Qur’an yang ditampilkan
dalam bentuk puitis. Keempat, perajutan seni suara dalam keutamaan membaca al-Qur’an. Kelima, pelestarian orisinalitas teks al-Qur’an dalam tradisi tahfidz.
Keenam, teks al-Qur’an
sebagai mantra, hizb, wirid, yang diyakini bisa menjadi sarana mengobati
penyakit atau membentuk kekuatan magis. Artikel Islah Gusmian lebih memberikan
contoh detail tentang objek-objek yang bisa dijadikan kajian dalam living
qur’an.
Tema Living
Qur’an ini terus digemakan oleh sejumlah dosen di TH (Tafsir Hadis) UIN Suka,
bahkan pada 8-9 Agustus 2006, Jurusan TH Fakultas Ushuluddin UIN Suka
mengadakan Workshop Metodologi Living Qur’an dan Hadis, dengan tujuan membuat
metodologi yang jelas untuk kajian Living Qur’an dan Hadis, mengingat pada
waktu itu—dan dan dan perkiraan sejumlah dosen—belum ada satu karya yang menjelaskan metodologi living
qur’an dan hadis. Makalah-makalah yang dipresentasikan sejumlah dosen dalam
workshop tersebut telah dibukukan setahun kemudian, dengan judul Metodologi
Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2007). Buku ini
cukup bagus sebagai pedoman dalam kajian living quran dan hadis.
Penulis tertarik
mengangkat tema ini kembali dengan dua alasan. Pertama, setahun yang
lalu 25 Februari 2011, Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Tafsir Hadis CSS-Mora mengadakan Seminar Nasional dan
Konferensi Studi Al-Qur’an I dengan tema ‘In search Contemporary Methods of
Qur’anic Interpretation’. Kebetulan, penulis menjadi salah satu penyampai
makalah dalam call for paper tersebut di Panel II yang komentatornya
adalah Muhammad Mansyur. Dalam komentarnya, setelah mendengarkan presentasi
dari peserta, Muhammad Mansyur merasa ‘sedih’ karena tema-tema yang dibawakan oleh
peserta masih berkutat pada kajian al-Qur’an sebagai teks, belum ada pengembangan
ke wilayah living qur’an—tentunya dengan berbagai alasan. Ini
menjadi alasan pertama mengapa penulis mengangkat tema ini. Kedua, penulis
sudah mendapatkan dan membaca beberapa buku dan artikel yang—sedikit-banyak,
langsung dan tidak langsung—membahas tema ini (Living Qur’an), sehingga ada
modal untuk ditulis, ditularkan dan didiskusikan dalam forum ini.
B.
Definisi Living Qur’an
Dalam pengantar buku Metodologi
Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Sahiron Syamsuddin membagi genre
penelitian al-Qur’an menjadi empat:
Pertama, penelitian yang
menempatkan teks Al-Qur’an sebagai objek kajian. Kedua, penelitian yang
menempatkan hal-hal di luar teks al-Qur’an, namun berkaitan erat dengan
‘kemunculannya’, sebagai objek kajian (Dirasat Ma Haulal Qur’an). Ketiga,
penelitian yang menjadikan pemahaman terhadap teks al-Qur’an sebagai objek
kajian dan keempat, penelitian yang memberikan perhatian pada respons
masyarakat terhadap teks al-Qur’an dan hasil penafsiran seseorang. Termasuk
dalam pengertian ‘respon masyarakat’ adalah resepsi mereka terhadap teks
tertentu dan hasil penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap al-Qur’an dapat kita temui dalam kehidupan
sehari-hari, seperti tradisi bacaan surat atau ayat tertentu pada acara atau
seremoni sosial keagamaaan tertentu. Teks al-Qur’an yang ‘hidup’ di masyarakat itulah
yang disebut dengan the Living Qur’an.[2]
Jadi yang dibidik dalam
kajian living qur’an adalah fenomena di mana al-Qur’an ‘hidup’ dalam masyarakat.
Apa itu fenomena? Yezdullah Kazmi dalam The Qur’an as Event and Phenomenon, menjelaskan
bahwa event itu sesuatu yang terjadi sekali dalam sejarah dan tidak akan
berulang lagi. Perang, seperti perang dunia I dan II adalah event. Masing-masing
perang memiliki keunikannya sendiri dan unrepeatable event. Sedangkan fenomena adalah sesuatu yang terbuka
di dalam waktu/periode di mana event itu terjadi, yang menandai keunikan sebuah
peristiwa sehingga ia membentuk sesuatu yang khusus. Perang dunia I adalah event atau
peristiwa, namun perangnya sendiri disebut fenomena. Musabaqah Tilawatil Qur’an
adalah event. Namun isi dari event MTQ itu fenomena. Jadi
fenomena adalah isi dari event. Tanpa adanya event, fenomena
tidak ada.[3]
Jadi, istilah living
qur’an itu sebenarnya ingin mengungkapkan fenomena (isi sebuah kejadian)
yang bersinggungan dengan al-Qur’an atau—kalau boleh disebut Living
Fenomenon of Qur’an (fenomena-fenomena yang terkait dengan al-Qur’an yang
hidup [dalam masyarakat]. Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010) menyebutnya The
Qur’an as a living phenomenon, al-Qur’an itu seperti musik yang dimainkan oleh
para pemain musik, sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu seperti note
musik (ia diam).[4]
Kajian-kajian tentang
fenomena-fenomena sosial dan budaya yang bersinggungan dengan al-Qur’an
terhitung masih jarang—untuk mengatakan tidak ada sama sekali. Mengapa? Mungkin
ada anggapan bahwa fenomena-fenomena tersebut bukanlah termasuk dalam ruang
lingkup kajian Al-Qur’an atau tafsir, melainkan sosiologi, antropologi atau
cultural studies. Atau, mungkin juga anggapan
bahwa fenomena-fenomena tertentu, seperti penggunaan teks al-qur’an sebagai
jimat atau obat, pembacaan surah-surah tertentu dalam kondisi tertentu dianggap
bid’ah.[5]
Hal senada diungkapkan oleh Anna M.
Gade bahwa fenomena Qur’anic Healing, penyembuhan melalui praktik-praktik
Qur’ani tradisional selalu menjadi perdebatan dalam wacana kontemporer. Mengapa?
Pertama, karena praktik-praktik tersebut dianggap bid’ah (‘innovation’)
yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam, meskipun praktik seperti ini
sudah diperkenalkan sejak dulu (masa Nabi Muhammad Saw.). Kedua, praktik
semacam ini dianggap sebagai tradisi-tradisi takhayul masa lampau, yang sudah
tidak memiliki tempat lagi di zaman kebangkitan Islam atau dunia pengobatan
modern.[6]
Nah, seminar FKMTHI tahun
2005, yang penulis ceritakan diawal, bertujuan agar kajian-kajian Qur’an as
living phenomenon ini diakui secara akademis sebagai wilayah kajian studi
al-Qur’an dan apapun praktik-praktik baik yang dilakukan oleh umat Islam terhadap
al-Qur’an tidak buru-buru dicap bid’ah. Sebab setiap praktik memiliki alasan
dan alur pikirnya sendiri dan ada presedennya (apabila mau dicari).
Beberapa tahun belakangan
ini muncul karya-karya sarjana al-Qur’an terkemuka yang membahas Qur’an as
living phenomenon yang bisa dirujuk sebagai dasar kajian. Beberapa karya
yang penulis temukan adalah Discovering The Qur’an: A Contemporary
Approaches to A Veiled Text (1996) karya Neil Robinson, The Art of
Reciting the Qur’an (2001) karya Kristena Nelson, The Qur’an: Man and
God Communication (2000) dan Rethinking the Qur’an: Towards a
Humanistics Hermeneutics karya Nasr Hamid Abu Zaid (d. 2010), The
Introduction to the Qur’an (2006) karya Farid Esack, The Qur’an an Introduction (2007)
karya Abdullah Saeed, Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia
(2010) karya Anne K Rasmussen, The Qur’an: An Introduction (2010)
karya Anna M. Gade dan sebagainya.[7]
Pemikiran para penulis buku tersebut dan sebagian artikel-artikel lainnya menjadi
dasar dan rujukan penulisan paper ini.
C. Cakupan Kajian Living
Qur’an
Farid Esack dalam The
Introduction to the Qur’an mengutip sebuah kisah menarik tentang hubungan
Tuhan dan manusia melalui al-Qur’an. Kisah ini dari Imam al-Ghazali yang
didapat dari Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad Ibn Hanbal pernah bermimpi bertemu Tuhan.
Ahmad Ibn Hanbal bertanya tentang orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan
dan bagaimana mereka bisa meraih kedekatan tersebut. Tuhan menjawab: “Dengan
firmanku [al-Qur’an], wahai Ahmad.” Ahmad Ibn Hanbal mengejar lagi dengan
mengajukan pertanyaan selanjutnya: “Dengan memahami makna firmanmu atau tanpa
memahaminya?” Terhadap pertanyaan ini, Tuhan menjawab: “Baik dengan memahaminya
[teks al-Qur’an] maupun tidak.”[8]
Jadi, al-Qur’an bisa menjadi media untuk dekat diri kepada Tuhan melalui dua
cara: memahami makna [teks] al-Qur’an dan tanpa memahami [teks] al-Qur’an. Tanpa
memahami makna teks al-Qur’an di sini adalah memperlakukan al-Qur’an dengan
tujuan yang baik. Memperlakukan al-Qur’an dengan tanpa memahami teks al-Qur’an
bisa beragam.
Berdasarkan pemetaan bentuk
interaksi manusia dengan al-Qur’an yang dibuat oleh Farid Esack, perlakuan
terhadap al-Qur’an ‘dengan tanpa memahami teks al-Qur’an’ biasanya dilakukan
oleh uncritical lover.[9]
Meskipun begitu, ‘dengan tanpa memahami teks al-Qur’an’ bisa dilakukan oleh
kelompok manapun. Bagi mereka, al-Quran
fulfills many of functions in lives of muslims. Al-Quran mampu memenuhi
banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Al-Quran bisa berfungsi sebagai
pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram
hati, dan bahkan obat (syifa’) atau penyelamat dari malapetaka. Mereka mentransformasikan
teks al-Qur’an menjadi sebuah objek yang bernilai dengan sendirinya dan ‘hidup’.[10]
Berdasarkan usulan Islah
Gusmian dan definisi living qur’an di atas, penulis mencoba memetakan
wilayah-wilayah garapan studi living qur’an yang dibagi menjadi empat
bagian: pertama, aspek oral/recitation;
kedua, aural/hearing; ketiga. writing/tulisan, dan keempat,
attitude/sikap:
- Aspek oral (pembacaan) al-Qur’an
Proses pewahyuan al-Qur’an
tidak bisa dilepaskan dari aspek oral dan aural. Proses pewahyuan al-Qur’an pada
satu sisi bersifat oral (orality). Orality biasanya merujuk pada
aktivasi teks ke dalam suara/performa yang melodik, terukur dan ritmis, yang
dipelajari, dipraktikkan dan diselenggarakan pada waktu dan tempat tertentu.[11] Nabi Muhammad saw. menerima al-Qur’an sebagai
wahyu yang harus dibaca. Kata Qul (wahyu pertama), Qur’an (yang
berarti bacaan/recitation),
peristiwa semaan Nabi Muhammad Saw dengan Jibril, tradisi transmisi
pengetahuan (termasuk al-Qur’an) dari satu mulut ke mulut yang lainnya, paling
tidak bisa menunjukkan bahwa aspek oral atau recitation sangat kuat. Kuatnya
aspek ini melahirkan banyak hal yang bisa diteliti, misalnya:
a.
Pembacaan al-Qur’an yang sudah menjadi tradisi dan memiliki lembaganya
1)
Khataman al-Qur’an adalah membaca al-Qur'an dari surat pertama sampai
surat terakhir sesuai dengan mushaf usmani, baik secara sendiri-sendiri atau
bersamasama. Masa Nabi, istilah yang dipakai jenis khataman dalam konteks
al-Qur'an sangat variatif, mulai dari mengkhatamkan satu ayat, beberapa ayat,
rangkaian ayat-ayat terakhir dari sebuah surat dan mengkhatamkan satu surat
penuh, serta khataman al-Qur'an itu sendiri. Untuk wilayah kajian ini mungkin
kita bisa mencontoh makalah Ahmad Rofiq dengan judul The Rituals of Khataman
Al-Qur’an in Indonesia.[12]
2)
Pembacaan ayat-ayat tertentu al-Qur’an dalam acara-acara tertentu,
misalkan pembacaan ayat suci al-Qur’an sebelum seminar, peresmian dan
pernikahan. Bahkan di Yogyakarta ada tradisi memutas kaset tartil al-Qur’an
ketika ada yang meninggal dari pagi sampai pemberangkatan jenazah ke pemakaman.
3)
Festival/Musbaqah al-Qur’an. Hampir di setiap negara Islam, pasti mengadakan
perlombaan-perlombaan untuk al-Qur’an. Untuk MTQ di Indonesia, beberapa
indonesianis sudah mengkajinya termasuk Anna. M Gade dan Anne K. Rasmussen,
meskipun begitu masih banyak sisi-sisi MTQ yang perlu dikaji, misalnya perkembangan
jenis-jenis perlombaan, pembiayaan penyelenggaraan MTQ, isu jual-beli peserta
MTQ, komodifikasi MTQ dan sebagainya yang ada di dalam arena perlombaan
tersebut.
4)
Tahfidzul Qur’an. Tradisi
menghapal al-Qur’an sudah berlangsung sejak pertama kali al-Qur’an diturunkan
hingga kini sebagai salah satu usaha penjagaan pelestarian al-Qur’an. Lembaga-lembaga
pendidikan Tahfidul Qur’an pun banyak didirikan¸ bahkan sekarang di
banyak lembaga pendidikan memasukkan tahfidz al-Qur’an dalam kurikulum. Menghapal
al-Qur’an merupakan sebuah investasi pembelajaran sepanjang hidup untuk
mendapatkan hidayah. Di sini al-Qur’an hidup sebagai an oral text melalkui
kapabilitas tubuh peserta didik baik secara psikologis maupun mental.[13]
Ada banyak yang perlu dikaji di wilayah ini, misalnya
sisi psikologis huffadz, rezeki huffadz, sanad huffadz hingga
sampai persoalan misalnya, mengapa para huffadz jebolan Kudus di bawah
asuhan keturunannya Kyai Arwani tidak membolehkan santrinya untuk mengikuti MTQ
atau perlombaan semacamnya, sedangkan di lembaga pendidikan Tahfidz lainnya
boleh.
5)
Tadarus al-Qur’an.
Penulis akan kutipkan artikel Emha Ainun Nadjib:
“…ada lagi orang yang sekadar bisa baca Qur’an saja: punya tradisi nderes
Qur’an berjam-jam, bersila dan tubuhnya bergoyang ke kiri ke kanan, fly,
bercinta begitu khusyu dan romantik dengan Tuhannya. Memang ia tidak bisa
mengartikan Bahasa Arab, tetapi percintaan itu sudah berlangsung dengan sistem
komunikasinya sendiri. Ini sudah sangat lumayan….Menderes al-Qur’an adalah kebudayaan
religi yang paling digemari….”
b.
Pembacaan surah, ayat, atau kata-kata yang termuat di dalam al-Qur’an
dalam kehidupan sehari-hari (baik dalam ibadah maupun tidak). Al-Qur’an
memberikan banyak sekali pengaruh dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
bahasa sehari-hari. Frase-frase, ekspresi-ekspresi, rumusan-rumusan dan kosa
kata-kosa kata Qur’ani telah menjadi komponen esensial susunan bahasa, tidak
hanya bahasa Arab tetapi juga sebuah bahasa di negara-negara Muslim. Berikut
adalah frasa, kalimat atau ayat yang hampir ditemukan dalam bahasa muslim
dunia: seperti allah, syahadah, Allahu Akbar, Isti’adzah, Istighfar,
Basmalah, Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh, hauqalah, tasbih,
tahlil, tahmid dan sebaginya.[14]
c.
Pembacaan dalam rangka healing (pengobatan). Fenomena Qur’anic
Healing atau Sufi Healing (pengobatan dengan al-Qur’an atau pengobatan ala
Sufi) yang menerapkan pembacaan-pembacaan pada ayat-ayat, kalimat-kalimat, atau
kata-kata tertentu dari al-Qur’an dengan jumlah
tertentu pula,[15]
dengan tujuan menyembuhkan penyakit pasien sudah menjadi hal yang lumrah di
sejumlah negara (termasuk Indonesia). Di Amerika pun terdapat sejumlah
pusat-pusat Terapi al-Qur’an, seperti Islamic Educational & Cultural
Research Center of North America.[16] Di Malaysia, Ruqyah (incantation) juga
menjadi pengobatan alternatif yang digandrungi.[17] Dalam sejarah peradaban Islam, Qur’anic
Healing memiliki preseden yang sangat panjang. Kalau kita mencermati asbâb
an-nuzul dari surat al-Mu’awwidzatain (an-Nâs dan al-Falaq), akan dijumpai
riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw. menolak sihir dengan
membacakan surat tersebut. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi
Muhammad pernah menyembuhkan penyakit dengan ruqyah lewat surat al-Fâtihah. Pada
dasarnya, penyembuhan dengan al-Qur’an (Qur’anic Healing) bukanlah hal yang
baru. Bahkan dalam lintasan sejarah Islam, Qur’anic Healing telah mendapatkan
legitimasinya. Sebagai sumber otoritas pertama dalam Islam, al-Qur’an sendiri
seringkali menyebut dirinya sebagai syifâ’ (penyembuh), sebagaimana Qs. Bani
Isrâ’îl (17): 82.
d.
Seni pembacaan al-Qur’an. Seni membaca al-Qur’an telah menjadi disiplin
ilmu tersendiri dalam tradisi Islam. Dan ini didukung sendiri oleh al-Qur’an
dan hadis.[18]
Kita mengenal istilah-istilah ilmu Tajwid, Ilmu Qira’at, murattal, tahsin,
mujawwad, naghamaat, dll. Salah
satu buku yang menarik untuk dibaca dalam hal ini adalah The Art of Reciting
The Qur’an karya Kristena Nelson dan juga Women, the Recited Qur’an and
Islamic Music in Indonesia karya Anne K. Rasmussen. Mereka berdua mengkaji Qur’anic
recitation as phenomenon of behavior and as phenomenon of organized sound.
- Aspek Aural
Dalam kamus Wikipedia, aural
itu segala sesuatu yang berkaitan dengan pendengaran, mendengar sebagaimana
mengendus/mencium sesuatu. Al-Qur’an yang dikenal dunia sebagai dokumen yang
tertulis yang bisa dibaca dan dikaji sebagai teks, ternyata termasifestasikan
juga di dalam kehidupan sehari-hari melalui canel aurality dan orality.
Aurality tidak hanya mengimplikasi ‘mendengar’ al-Qur’an yang dibaca tetapi
juga—menurut Michael Sells—‘memasukkan ke dalam hati’.[19]
Dalam proses pewahyuan
al-Qur’an aspek oral dan aural ini tidak dipisahkan. Neil Robinson mengatakan
bahwa mendengarkan al-Qur’an merupakkan perbuatan keimanan pertama kali yang
yang paling penting.[20]
Oleh sebab itu, baik oral maupun aural akan memberikan pengaruh tersendiri
kepada pelakunya. Berkaitan dengan aspek aural, terdapat sebuah riset yang
meneliti tentang efek mendengarkan al-Qur’an dan mendengarkan musik klasik
terhadap gelombang otak (brain wave). Penelitian tersebut mengambil sampel 28
orang untuk diperdengarkan surat Yâsîn dan Pachelbel’s Canon D (musik klasik).
Terkait dengan gelombang otak kanan dan kiri, terjadi peningkatan 12.67% selama
mendengarkan Surat Yâsîn dan peningkatan 9.96% selama mendengarkan musik
klasik. Penemuan ini mengindikasikan, bahwa mendengarkan bacaan al-Qur’an lebih
dapat meningkatkan alpha band ketimbang mendengarkan musik klasik. Konsekuensinya, mendengarkan al-Qur’an bisa
menjadikan kondisi yang lebih rilek dan siaga.[21]
- Tulisan
Wahyu Tuhan yang verbal dan yang kemudian dituangkan dalam
bentuk nyata tulisan telah menjadi perdebatan yang panjang dan mempengaruhi
peradaban. Al-Qur’an menjadi faktor utama dalam perkembangan seni kaligrafi
Islam.[22]
Kaligrafi Islam sendiri merupakan resepsi estetis umat Islam dalam
mengekspresikan keindahan al-Qur’an. Menurut Ahmad Baidowi, sisi spiritualitas
dan estetika kaligrafi sebagai pengejawantahan nilai-nilai wahyu Tuhan oleh
umat Islam merupakan field research yang menarik untuk diteliti.[23]
Selain kaligrafi, tulisan-tulisan al-Qur’an yang dijadikan sebagai jimat
dan rajah juga menarik untuk diteliti.
- Perilaku
Ketika wahyu sudah
dituangkan dalam tulisan dan menjadi sebuah buku, maka ia akan menjadi sesuatu
yang bernilai dengan sendirinya, apalagi yang ditulis adalah wahyu Tuhan yang
diyakini suci. Kesucian tersebut menjadikan manusia untuk memiliki konsep
tersendiri dalam memperlakukan Kitab Suci. selama al-Qur’an masih dianggap
sebagai kalam Tuhan yang verbatim, maka ia akan mendapatkan maximum respect.
Ia tidak boleh ditaruh di lantai, di bawah buku atau benda lainnya, tidak
boleh tersebtuh oleh kaki, sepatu sandal atau sesuatu yang kotor, harus dalam
kondisi suci dari hadas besar maupun kecil, menghadap ke kiblat untuk
membacanya, harus berkonsentrasi ketima membacanya, tidak boleh cengengesan,
dan sebagainya.[24]
Penulis akan kutipkan artikel
Kitab Suci karya Emha Ainun Nadjib:
“….tindakan ibu saya dulu zaman kanak-kanak saya dulu.
Kalau Qur’an saya terjatuh karena kurang berhati-hati waktu berlari-lari dari
rumah menuju Masjid di Maghrib hari, dengan wajah sedih Ibu saya menyuruh saya
mencium dan nyunggi Kitab Suci itu di kepala saya sambil membaca istighfar…”
Perkembangan terakhir yang menarik
penulis adalah adanya usulan dari Wamen Agama tentang pengusulan pengadaan
pabrik khusus percetakan al-Qur’an milik negara yang harus dikelola oleh
orang-orang khusus, yang para pekerja yang suci dari hadas besar maupun kecil.
Para pekerja percetakan al-Qur’an tidak boleh menaruh al-Qur’an sembarangan,
menyimpannya ditempat yang bersih, memegang dengan tangan kanan, apabila ada
cetakan yang salah, dianjurkan untuk dibakar, mengenakan pakaian yang menutupi
aurat.[25]
Intinya semua proses pencetakan al-Qur’an dari awal hingga akhir harus dikawal
oleh orang-orang yang memiliki adab dan etika terhadap al-Qur’an.
D. Penutup
Pengalaman
fisik manusia terhadap al-Qur’an
(the physical experience
of Qur’an) oleh
Janne Dammen McAuliffe disebut dengan istilah carnal. Carnal
adalah cara di mana al-Qur’an dirasakan dan
di-sensed melalui tubuh manusia.
Pengalaman ini menjadi salah satu alasan mengapa Al-Qur’an memiliki kekuatan
tersendiri yang abadi bagi pembaca atau pendengarnya [26]
dan layak dijadikan kajian sebagai upaya pengembangan wilayah studi al-Qur’an. kehadiran al-Qur’an di dalam kehidupan muslim
sehari-hari, berbagai norma dan praktik terkait dengan al-Qur’an senantiasa
berkembang. Sebagian dari praktik-praktik tersebut bersifat universal,
diketahui oleh mayoritas muslim. Sementara praktik-praktik lainnya lebih
spesifik hanya untuk budaya dan waktu tertentu. Semua perlakuan atau praktik
ini merupakan bentuk dari penghormatan dan takzim terhadap al-Qur’an sebagai
kalam Allah.[27]
Sebagai penutup penulis
kutipkan tulisan Nasr Hamid Abu Zayd:
“Sekarang saatnya melihat al-Quran
sebagai wacana. Tanpa memikirkan kembali status living-nya
sebagai ‘wacana,’ baik dalam dunai akademik
maupun kehidupan sehari-hari, maka hermeneutik
demokratis tidak akan dicapai. Mengapa harus
demokratis? Sebab, ini tentang ‘makna hidup,
maka harus hermeneutik yang terbuka secara demokratis.
Jika Anda ikhlas melepaskan pemikiran keagamaan
dari manipulasi kekuasaan politik, sosial atau agama, supaya mendapatkan
kembali formulasi ‘makna’ bagi umat Islam, maka kita perlu menkonstruk
hermeneutik yang humanistik demokratis. Al-Qur’an adalah living phenomenon
seperti musik yang dimainkan oleh grup musik. Teks
tertulis al-Qur’an adalah note
musiknya, ia diam.[28]
Walhasil, kehadiran al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat
memberikan warna tersendiri di ranah sosial dan budaya. Wallahu’alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, (New
York: Routledge, 2008).
Ahmad Baidowi, “Resepsi Estetis terhadap al-Qur’an”
dalam Jurnal Esensia, Vol. 8. No. 1. 2007
Andrew Rippin (ed)., The Blackwell Companion to the
Qur’an, (USA: Balckwell Publishing, 2006)
Anna M. Gade, “Taste, Talent, and the Problem of
Internalization: A Qur’anic Study in
Religious Musicaliy from Southeast Asia” dalam History of Religions, Vol.
41, No. 4, (May, 2002)
_________, The Qur’an: an Introduction, (England
Oneworld Publication, 2010).
Anne K. Rasmussen, The Qur'ân in Indonesian Daily
Life: The Public Project of Musical Oratory” dalam Ethnomusicology, Vol.
45, No. 1 (Winter, 2001).
Bruce Lawrence, The Qur’an: A Biography,
(London: Atlantik Book, 2006).
Charles Hirschkind, “The Ethics of Listening:
Cassette-Sermon Audition in Contemporary Egypt” dalam American Ethnologist,
Vol. 28, No. 3 (Aug., 2001)
Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya,
(Yogyakarta: SIPRESS, 1992)
Farid Esack, The Introduction to the Qur’an (England:
Oneworld, 2002)
Frederick M. Denny “Qur’an Recitation: A Tradition of
Oral Performance and Transmission” dalam Oral Tradition, 4/1-2 (1989)
Hamam Faizin, “Living Qur’an: Sebuah Tawaran”
dalam Jawa Pos, 10
Januari 2005 .
Ilham Khori, Al-Qur’an dan Kaligrafi Islam, Peran
Kitab Suci dalam transformasi budaya, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,
1999)
Ingrid Mattson, The Story of The Qur’an: Its
History and Place in Muslim Life, (Blackwell Publishing, 2008).
Islah Gusmian, Al-Qur’an Surat Cinta Sang Kekasih (Yogyakarta:
Galangpress, 2005)
Janne Dammen McAuliffe, “The Persistent Power of the
Qur’an” dalam Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 147, No.
4 (Dec., 2003)
Kristina Nelson, “Reciter and Listener: Some Factors
Shaping the Mujawwad Style of Qur'anic Reciting” dalam Ethnomusicology,
Vol. 26, No. 1, 25th Anniversary Issue (Jan., 1982)
Lois Ibsen al Fārūqī, “Qur'ān Reciters in Competition
in Kuala Lumpur” dalam Ethnomusicology, Vol. 31, No. 2 (Spring - Summer,
1987)
Lois Ibsen al Faruqi, “The Cantillation of the Qur'an”
dalam Asian Music, Vol. 19, No. 1 (Autumn - Winter, 1987)
M. Ibnan Syarif, Ketika Mushaf Menjadi Indah, (Semarang:
Penrbit AINI, 2003).
Nasaruddin Umar, “Problematika Percetakan Al-Qur’an”
dalam Republika, 9 Februari 2012
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an:
Toward a Humanistic Hermeneutics, (Amsterdam: SWP Publisher, 2004)
________, The Qur’an: God and Man in Communication. Bisa diunduh di http://www.let.leidenuniv.nl/
forum/01_1/ onderzoek/ lecture.pdf.
Neil Robinson, Discovering the Qur’an, A
Contemporary Approache to a Veiled text, (UK: SCM Press, 1996).
Noor Ashikin Kadir Zulkarnaini, Ros Shilawani S. Abdul; Zunairah Murat, Roshakimah Mohd, Isa, The Comparison between Listening
to Al-Quran and Listening to Classical Music on the Brainwave Signal for the
Alpha Band. Lihat abstrak penelitian ini di
http://www.ieeexplore.ieee.org
Nurdeng Deuraseh, “Using the Verses of the Holy
Qur’an as Quqyah (Incantation): The Perception of Malay-Muslim Society in
Kelantan and Terengganu on Quqyah as an Alternative Way of Healing in
Malaysia,” dalam European Journal
of Social Sciences,Vol. 9 Number 3 (2009).
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam
Studi al-Qur’an dan Hadis” dalam Metodologi Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
Teras, 2007).
Thomas Hoffmann, “Ritual Poeticity in the Qur'an:
Family Resemblances, Features, Functions and Appraisals” dalam Journal of
Qur'anic Studies, Vol. 6, No. 2 (2004)
Yezdullah Kazmi, “The Qur’an as Event and Phenomenon”
dalam Islamic Studies, Vol. 41. No. 2 (Summer 2002).
Rujukan
Internet
http://blog.minaret.org
/?p=3698
www.iecrcna.org.
[1] Makalah ini
dipresentasikan di INTERNATIONAL SEMINAR AND QUR’ANIC CONFERENCE II 2012,
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Februari 2012
[7]
Untuk artikel di jurnal, mungkin kita bisa baca misalnya Anna M. Gade,
“Taste, Talent, and the Problem of Internalization: A Qur’anic Study in Religious Musicaliy from Southeast Asia” dalam History of Religions, Vol.
41, No. 4, (May, 2002); Charles Hirschkind, “The Ethics of Listening:
Cassette-Sermon Audition in Contemporary Egypt” dalam American Ethnologist,
Vol. 28, No. 3 (Aug., 2001); Thomas Hoffmann, “Ritual Poeticity in the Qur'an:
Family Resemblances, Features, Functions and Appraisals” dalam Journal of
Qur'anic Studies, Vol. 6, No. 2 (2004); Lois al Fārūqī, “Qur'ān Reciters in
Competition in Kuala Lumpur” dalam Ethnomusicology, Vol. 31, No. 2
(Spring - Summer, 1987); dan Lois Ibsen al Faruqi, “The Cantillation of the
Qur'an” dalam Asian Music, Vol. 19, No. 1 (Autumn - Winter, 1987); Janne
Dammen McAuliffe, “The Persistent Power of the Qur’an”,, dalam Proceedings of
the American Philosophical Society, Vol. 147, No. 4 (Dec., 2003); Anna. M. Gade
‘Recitation’ dalam The Blackwell Companion to the Qur’an, Andrew Rippin
(ed). (USA: Balckwell Publishing, 2006); Nasr Hamid Abu Zaid, “Qur’an in
Everyday Life” dalam Encyclopaedia of the Qur’an, Janne Dammen McAuliffe
(ed.) (Leiden: Brill, 2001); Frederick M. Denny “Qur’an Recitation: A Tradition
of Oral Performance and Transmission” dalam Oral Tradition, 4/1-2
(1989): 5-26; Kristina Nelson, “Reciter and Listener: Some Factors Shaping the
Mujawwad Style of Qur'anic Reciting” dalam Ethnomusicology, Vol. 26, No.
1, 25th Anniversary Issue (Jan., 1982); Anne K. Rasmussen, The Qur'ân in
Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory” dalam Ethnomusicology,
Vol. 45, No. 1 (Winter, 2001).Untuk karya-karya sarjana al-Qur’an Indonesia,
selain yang penulis sebut di awal, di antaranya adalah Islah Gusmian, Al-Qur’an
Surat Cinta Sang Kekasih (Yogyakarta: Galangpress, 2005); Emha Ainun
Nadjib, ‘Kitab Suci’ dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya, (Yogyakarta:
SIPRESS, 1992).
[9] Pemetaan
intraksi manusia dengan al-Qur’an ala Farid Esack menggunakan analogi interaksi
antara seorang pecinta (lover), dengan
yang dicinta (beloved), yakni al-Qur'an. Ada dua bagian, masing-masing bagian memiliki kelompok. Bagian
pertama adalah umat Islam. Bagian
kedua adalah non-muslim. Bagian pertama memiliki tiga kelompok.
Kelompok pertama disebut uncritical lover (pecinta tak kritis). Kelompok
ini adalah orang-orang muslim awam (ordinary muslims). Kelompok ini
berinteraksi dengan kekasihnya (baca: al-Qur'an) secara 'buta', bahwa
kekasihnya, al-Qur'an adalah segala-galanya, tanpa pernah mencoba meragukan
atau menanyakan tentang al-Qur'an. Kelompok kedua adalah scholarly lover,
yakni sarjana muslim konvensional. Mereka ini adalah pecinta al-Qur’an yang
berusaha menjelaskan kepada dunia mengapa al-Qur’an bisa disebut sebagai wahyu
dari Tuhan Allah yang membawa kebenaran dan oleh karenanya perlu diterima dan
dijadikan sebagai pegangan hidup. Para pecinta ini menjelaskan kehebatan atau
I'jaz al-Qur’an secara ilmiah dengan piranti-piranti keilmuan yang sudah mapan,
yakni ilmu tafsir (ulum al-Qur’an). Kelompok ketiga adalah critical lover,
pecinta yang kritis. Mereka berusaha bertanya tentang sifat-sifat, asal-usul
(otentisitas) dan bahasa kekasihnya (al-Qur’an), sebagai refleksi kedalaman
cinta. Bagian
kedua yang memuat non-muslim terbagi menjadi tiga kelompok juga. Kelompok
pertama adalah The Friend of Lover, teman pecinta.
Kelompok ini berbeda tipis dengan kelompok critical lover. Yang membedakan
hanyalah
identitas keagamaan. Kelompok
kedua disebut revisionist karena acap kali ingin melakukan perubahan-perubahan yang
sifatnya merevisi al-Qur’an beserta aspek-aspek inherennya. Dan juga berusaha
melemahkan al-Qur’an dengan bukti-bukti akademis.Kelompok ketiga adalah
polemicist, yakni non-muslim yang menolak al-Qur’an secara membabi-buta.
[12] Ahmad
Rofiq, “The Rituals of Khataman Al- Qur’an in Indonesia”, dalam http://blog.minaret.org /?p=3698
[13] Ingrid Mattson, The Story of The Qur’an:
Its History and Place in Muslim Life, (Blackwell Publishing, 2008), h. 124.
[14] Nasr
Hamid Abu Zayd, The Qur’an: God and Man in Communication. Peper ini
disampaikan di sebuah perkuliahan di Leiden. Bisa diunduh di http://www.let.leidenuniv.nl/
forum/01_1/ onderzoek/ lecture.pdf. Artikel ini menurut penulis memberikan
landasan yang kuat untuk mengembangkan kajian Living Qur’an. Lihat juga
Neil Robinson, Discovering the Qur’an, h. 17-20.
[15] Formula jumlah
(nomor) yang dianjurkan dalam pembacaan penggalan-penggalan ayat-ayat tertentu
al-Qur’an sering disebut dengan Numerologi. Numerologi memainkan peran penting
di dalam permintaan pertolongan pasien kepada Tuhan. Ia menjadi semacam resep
untuk mendapatkan rahmat agar gangguan setan itu hilang. Sebab setiap huruf di
dalam alfabetis Arab mengandung sebuah ‘nilai’. Lihat Bruce Lawrence, The
Qur’an: A Biography, (London: Atlantik Book, 2006). hlm. 190
[17] Nurdeng Deuraseh,
“Using the Verses of the Holy Qur’an as Quqyah (Incantation): The Perception of
Malay-Muslim Society in Kelantan and Terengganu on Quqyah as an Alternative Way
of Healing in Malaysia,” dalam European Journal of Social
Sciences,Vol.
9 Number 3 (2009).
[20] Neil Robinso, Discovering
the Qur’an, A Contemporary Approache to a Veiled text, (UK: SCM Press,
1996), h. 13.
[21] Noor Ashikin Kadir
Zulkarnaini, Ros Shilawani S.
Abdul; Zunairah Murat, Roshakimah Mohd, Isa, The Comparison between
Listening to Al-Quran and Listening to Classical Music on the Brainwave Signal
for the Alpha Band. Lihat abstrak penelitian ini di http://www.ieeexplore.ieee.org
[22] Ilham
Khori, Al-Qur’an dan Kaligrafi Islam, Peran Kitab Suci dalam transformasi
budaya, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), baca juga M. Ibnan Syarif, Ketika
Mushaf Menjadi Indah, (Semarang: Penrbit AINI, 2003).
[23] Ahmad Baidowi,
“Resepsi Estetis terhadap al-Qur’an” dalam Jurnal Esensia, Vol. 8. No.
1. 2007, h. 24
[24] Lois
Ibsen al-Faruqi, “Chantillation of the Qur’an” dalam Asian Music Vol. 19 No. 1 (Auntum-Winter, 1987), h. 6
[26] Jane Dammen
McAuliffe, “The Persistence Power of Qur’an” dalam Proceeding of the
American Philosofical Society, vol 147, No. 4 (Desember, 2003), h. 339.
TITanium Bars - Titanium Arts
BalasHapusTITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. how strong is titanium TITanium Bars. TITUNDIN DININ DINING DINING DINING 오즈포탈 DINING DINING DINING DINING DINING DINING titanium dioxide formula DINING DINING DINING titanium jewelry DINING DINING DINING DINING DINING DINING DINING DINING DINING titanium bars DINING DINING