Powered By Blogger

Minggu, 13 Oktober 2013

AL-QUR’AN SEBAGAI FENOMENA YANG HIDUP (KAJIAN ATAS PEMIKIRAN PARA SARJANA AL-QUR’AN) Hamam Faizin (Alumni Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IIQ Jakarta. Kini dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstract

Recently, how muslims treat or interact or response or receipt to the Qur’an in their daily life is becoming a new field of Qur’anic studies.  Their responses, treatments, and reception to the Qur’an vary. In daily life, Qur’an as experienced by muslims become ‘alive’ which in turn become alike-tradition in their culture.  In this context, what muslims do to the Qur’an is to absorb the real meaning for their lives. This phenomenon becomes the interesting fields for Qur’anic studies due to its uniqueness and hides ‘mystery’. Therefore, based on the thoughts of some qur’anic scholars, this paper is like an introduction to introduce this living qur’an as a part of Qur’anic studies. This paper also discusses the fields of living qur’an studies .   

Keywords: Qur’an, Muslims, living, phenomenon, dailylife, recitation      

A.      Latar Belakang

Tahun 2005, penulis terlibat dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia (FKMTHI). Pada tahun itu FKMTHI mengadakan kongres yang didahului dengan seminar. Tema seminar yang diusung adalah Living Qur’an: Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Penulis terlibat dalam mendiskusikan tema tersebut dengan beberapa dosen. Salah satu dosen yang gencar mengusung tema ini adalah Muhammad Mansyur dan Ahmad Rofiq.
Setelah berdiskusi dengan mereka—berdasarkan diskusi tersebut—penulis sempat membuat sebuah artikel dengan tujuan melempar tema tersebut ke publik dan akademika studi al-Qur’an, supaya mendapatkan respons. Artikel tersebut berjudul Living Qur’an: Sebuah Tawaran, yang dimuat di kolom Kajian Utan Kayu Harian Jawa Pos, 10 Januari 2005. Inti artikel ini adalah mengajak akademik untuk mengembangkan kajian al-Qur’an yang tidak melulu memperlakukan al-Qur’an sebagai teks (canon), tetapi juga mengkaji al-Qur’an sebagai fenomena yang hidup dalam masyarakat seperti cara masyarakat (awam) berinteraksi dengan al-Qur’an, memperlakukan al-Qur’an sebagai sesuatu yang bernilai dengan sendirinya.
Meskipun artikel penulis masih relatif abstrak—karena masih berupa tawaran, semingu setelah itu, yakni 16 Januari 2005, Islah Gusmian (alumni TH dan Dosen STAIN Surakarta, penulis buku Khasanah Tafsir Indonesia) menanggapi artikel penulis pada kolom dan harian yang sama dengan tajuk Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia. Dengan kerangka teoretik dan pendekatan yang berbeda dengan yang saya pakai, Islah Gusmian melihat Living Qur’an dari sisi sosial budaya dan mengajukan beberapa wilayah kajiannya: pertama, visual teks al-Qur’an (kaligrafi) yang diposisikan sebagai suatu subjek yang menghasilkan potensi seni yang sangat berharga. Kedua, aspek wujud material al-Qur’an yang dijadikan medan arsitektural dengan menuliskannya dalam ukuran yang besar. Ketiga, aspek aksentuasi grafis pada susunan teks al-Qur’an yang ditampilkan dalam bentuk puitis. Keempat, perajutan seni suara dalam keutamaan membaca al-Qur’an. Kelima, pelestarian orisinalitas teks al-Qur’an dalam tradisi tahfidz. Keenam, teks al-Qur’an sebagai mantra, hizb, wirid, yang diyakini bisa menjadi sarana mengobati penyakit atau membentuk kekuatan magis. Artikel Islah Gusmian lebih memberikan contoh detail tentang objek-objek yang bisa dijadikan kajian dalam living qur’an.
Tema Living Qur’an ini terus digemakan oleh sejumlah dosen di TH (Tafsir Hadis) UIN Suka, bahkan pada 8-9 Agustus 2006, Jurusan TH Fakultas Ushuluddin UIN Suka mengadakan Workshop Metodologi Living Qur’an dan Hadis, dengan tujuan membuat metodologi yang jelas untuk kajian Living Qur’an dan Hadis, mengingat pada waktu itu—dan dan dan perkiraan sejumlah dosen—belum  ada satu karya yang menjelaskan metodologi living qur’an dan hadis. Makalah-makalah yang dipresentasikan sejumlah dosen dalam workshop tersebut telah dibukukan setahun kemudian, dengan judul Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2007). Buku ini cukup bagus sebagai pedoman dalam kajian living quran dan hadis.
Penulis tertarik mengangkat tema ini kembali dengan dua alasan. Pertama, setahun yang lalu 25 Februari 2011,  Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tafsir Hadis CSS-Mora mengadakan Seminar Nasional dan Konferensi Studi Al-Qur’an I dengan tema ‘In search Contemporary Methods of Qur’anic Interpretation’. Kebetulan, penulis menjadi salah satu penyampai makalah dalam call for paper tersebut di Panel II yang komentatornya adalah Muhammad Mansyur. Dalam komentarnya, setelah mendengarkan presentasi dari peserta, Muhammad Mansyur merasa ‘sedih’ karena tema-tema yang dibawakan oleh peserta masih berkutat pada kajian al-Qur’an sebagai teks, belum ada pengembangan ke wilayah living qur’an—tentunya dengan berbagai alasan. Ini menjadi alasan pertama mengapa penulis mengangkat tema ini. Kedua, penulis sudah mendapatkan dan membaca beberapa buku dan artikel yang—sedikit-banyak, langsung dan tidak langsung—membahas tema ini (Living Qur’an), sehingga ada modal untuk ditulis, ditularkan dan didiskusikan dalam forum ini.

B.     Definisi Living Qur’an
Dalam pengantar buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Sahiron Syamsuddin membagi genre penelitian al-Qur’an menjadi empat: Pertama, penelitian yang menempatkan teks Al-Qur’an sebagai objek kajian. Kedua, penelitian yang menempatkan hal-hal di luar teks al-Qur’an, namun berkaitan erat dengan ‘kemunculannya’, sebagai objek kajian (Dirasat Ma Haulal Qur’an). Ketiga, penelitian yang menjadikan pemahaman terhadap teks al-Qur’an sebagai objek kajian dan keempat, penelitian yang memberikan perhatian pada respons masyarakat terhadap teks al-Qur’an dan hasil penafsiran seseorang. Termasuk dalam pengertian ‘respon masyarakat’ adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap al-Qur’an dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi bacaan surat atau ayat tertentu pada acara atau seremoni sosial keagamaaan tertentu. Teks al-Qur’an yang ‘hidup’ di masyarakat itulah yang disebut dengan the Living Qur’an.[2]
Jadi yang dibidik dalam kajian living qur’an adalah fenomena di mana al-Qur’an ‘hidup’ dalam masyarakat. Apa itu fenomena? Yezdullah Kazmi dalam The Qur’an as Event and Phenomenon, menjelaskan bahwa event itu sesuatu yang terjadi sekali dalam sejarah dan tidak akan berulang lagi. Perang, seperti perang dunia I dan II adalah event. Masing-masing perang memiliki keunikannya sendiri dan unrepeatable event.  Sedangkan fenomena adalah sesuatu yang terbuka di dalam waktu/periode di mana event itu terjadi, yang menandai keunikan sebuah peristiwa sehingga ia membentuk sesuatu yang khusus.  Perang dunia I adalah event atau peristiwa, namun perangnya sendiri disebut fenomena. Musabaqah Tilawatil Qur’an adalah event. Namun isi dari event MTQ itu fenomena. Jadi fenomena adalah isi dari event. Tanpa adanya event, fenomena tidak ada.[3]
Jadi, istilah living qur’an itu sebenarnya ingin mengungkapkan fenomena (isi sebuah kejadian) yang bersinggungan dengan al-Qur’an atau—kalau boleh disebut Living Fenomenon of Qur’an (fenomena-fenomena yang terkait dengan al-Qur’an yang hidup [dalam masyarakat]. Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010) menyebutnya The Qur’an as a living phenomenon, al-Qur’an itu seperti musik yang dimainkan oleh para pemain musik, sedangkan teks tertulisnya (mushaf) itu seperti note musik (ia diam).[4]
Kajian-kajian tentang fenomena-fenomena sosial dan budaya yang bersinggungan dengan al-Qur’an terhitung masih jarang—untuk mengatakan tidak ada sama sekali. Mengapa? Mungkin ada anggapan bahwa fenomena-fenomena tersebut bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Al-Qur’an atau tafsir, melainkan sosiologi, antropologi atau cultural studies.  Atau, mungkin juga anggapan bahwa fenomena-fenomena tertentu, seperti penggunaan teks al-qur’an sebagai jimat atau obat, pembacaan surah-surah tertentu dalam kondisi tertentu dianggap bid’ah.[5]  Hal senada diungkapkan oleh Anna M. Gade bahwa fenomena Qur’anic Healing, penyembuhan melalui praktik-praktik Qur’ani tradisional selalu menjadi perdebatan dalam wacana kontemporer. Mengapa? Pertama, karena praktik-praktik tersebut dianggap bid’ah (‘innovation’) yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam, meskipun praktik seperti ini sudah diperkenalkan sejak dulu (masa Nabi Muhammad Saw.). Kedua, praktik semacam ini dianggap sebagai tradisi-tradisi takhayul masa lampau, yang sudah tidak memiliki tempat lagi di zaman kebangkitan Islam atau dunia pengobatan modern.[6]
Nah, seminar FKMTHI tahun 2005, yang penulis ceritakan diawal, bertujuan agar kajian-kajian Qur’an as living phenomenon ini diakui secara akademis sebagai wilayah kajian studi al-Qur’an dan apapun praktik-praktik baik yang dilakukan oleh umat Islam terhadap al-Qur’an tidak buru-buru dicap bid’ah. Sebab setiap praktik memiliki alasan dan alur pikirnya sendiri dan ada presedennya (apabila mau dicari).
Beberapa tahun belakangan ini muncul karya-karya sarjana al-Qur’an terkemuka yang membahas Qur’an as living phenomenon yang bisa dirujuk sebagai dasar kajian. Beberapa karya yang penulis temukan adalah Discovering The Qur’an: A Contemporary Approaches to A Veiled Text (1996) karya Neil Robinson, The Art of Reciting the Qur’an (2001) karya Kristena Nelson, The Qur’an: Man and God Communication (2000) dan Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistics Hermeneutics karya Nasr Hamid Abu Zaid (d. 2010), The Introduction to the Qur’an (2006) karya Farid Esack,  The Qur’an an Introduction (2007) karya Abdullah Saeed, Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia (2010) karya Anne K Rasmussen, The Qur’an: An Introduction (2010) karya Anna M. Gade dan sebagainya.[7] Pemikiran para penulis buku tersebut dan sebagian artikel-artikel lainnya menjadi dasar dan rujukan penulisan paper ini.

C.  Cakupan Kajian Living Qur’an
Farid Esack dalam The Introduction to the Qur’an mengutip sebuah kisah menarik tentang hubungan Tuhan dan manusia melalui al-Qur’an. Kisah ini dari Imam al-Ghazali yang didapat dari Ahmad Ibn Hanbal. Ahmad Ibn Hanbal pernah bermimpi bertemu Tuhan. Ahmad Ibn Hanbal bertanya tentang orang-orang yang begitu dekat dengan Tuhan dan bagaimana mereka bisa meraih kedekatan tersebut. Tuhan menjawab: “Dengan firmanku [al-Qur’an], wahai Ahmad.” Ahmad Ibn Hanbal mengejar lagi dengan mengajukan pertanyaan selanjutnya: “Dengan memahami makna firmanmu atau tanpa memahaminya?” Terhadap pertanyaan ini, Tuhan menjawab: “Baik dengan memahaminya [teks al-Qur’an] maupun tidak.”[8] Jadi, al-Qur’an bisa menjadi media untuk dekat diri kepada Tuhan melalui dua cara: memahami makna [teks] al-Qur’an dan tanpa memahami [teks] al-Qur’an. Tanpa memahami makna teks al-Qur’an di sini adalah memperlakukan al-Qur’an dengan tujuan yang baik. Memperlakukan al-Qur’an dengan tanpa memahami teks al-Qur’an bisa beragam.
Berdasarkan pemetaan bentuk interaksi manusia dengan al-Qur’an yang dibuat oleh Farid Esack, perlakuan terhadap al-Qur’an ‘dengan tanpa memahami teks al-Qur’an’ biasanya dilakukan oleh uncritical lover.[9] Meskipun begitu, ‘dengan tanpa memahami teks al-Qur’an’ bisa dilakukan oleh kelompok manapun.  Bagi mereka, al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims. Al-Quran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Al-Quran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa’) atau penyelamat dari malapetaka. Mereka mentransformasikan teks al-Qur’an menjadi sebuah objek yang bernilai dengan sendirinya dan ‘hidup’.[10]
Berdasarkan usulan Islah Gusmian dan definisi living qur’an di atas, penulis mencoba memetakan wilayah-wilayah garapan studi living qur’an yang dibagi menjadi empat bagian: pertama,  aspek oral/recitation; kedua, aural/hearing; ketiga. writing/tulisan, dan keempat, attitude/sikap:
  1. Aspek oral (pembacaan) al-Qur’an
Proses pewahyuan al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari aspek oral dan aural. Proses pewahyuan al-Qur’an pada satu sisi bersifat oral (orality). Orality biasanya merujuk pada aktivasi teks ke dalam suara/performa yang melodik, terukur dan ritmis, yang dipelajari, dipraktikkan dan diselenggarakan pada waktu dan tempat tertentu.[11]  Nabi Muhammad saw. menerima al-Qur’an sebagai wahyu yang harus dibaca. Kata Qul (wahyu pertama), Qur’an (yang berarti bacaan/recitation),  peristiwa semaan Nabi Muhammad Saw dengan Jibril, tradisi transmisi pengetahuan (termasuk al-Qur’an) dari satu mulut ke mulut yang lainnya, paling tidak bisa menunjukkan bahwa aspek oral atau recitation sangat kuat. Kuatnya aspek ini melahirkan banyak hal yang bisa diteliti, misalnya:
a.       Pembacaan al-Qur’an yang sudah menjadi tradisi dan memiliki lembaganya
1)      Khataman al-Qur’an adalah membaca al-Qur'an dari surat pertama sampai surat terakhir sesuai dengan mushaf usmani, baik secara sendiri-sendiri atau bersamasama. Masa Nabi, istilah yang dipakai jenis khataman dalam konteks al-Qur'an sangat variatif, mulai dari mengkhatamkan satu ayat, beberapa ayat, rangkaian ayat-ayat terakhir dari sebuah surat dan mengkhatamkan satu surat penuh, serta khataman al-Qur'an itu sendiri. Untuk wilayah kajian ini mungkin kita bisa mencontoh makalah Ahmad Rofiq dengan judul The Rituals of Khataman Al-Qur’an in Indonesia.[12]
2)      Pembacaan ayat-ayat tertentu al-Qur’an dalam acara-acara tertentu, misalkan pembacaan ayat suci al-Qur’an sebelum seminar, peresmian dan pernikahan. Bahkan di Yogyakarta ada tradisi memutas kaset tartil al-Qur’an ketika ada yang meninggal dari pagi sampai pemberangkatan jenazah ke pemakaman.
3)      Festival/Musbaqah al-Qur’an. Hampir di setiap negara Islam, pasti mengadakan perlombaan-perlombaan untuk al-Qur’an. Untuk MTQ di Indonesia, beberapa indonesianis sudah mengkajinya termasuk Anna. M Gade dan Anne K. Rasmussen, meskipun begitu masih banyak sisi-sisi MTQ yang perlu dikaji, misalnya perkembangan jenis-jenis perlombaan, pembiayaan penyelenggaraan MTQ, isu jual-beli peserta MTQ, komodifikasi MTQ dan sebagainya yang ada di dalam arena perlombaan tersebut.
4)      Tahfidzul Qur’an. Tradisi menghapal al-Qur’an sudah berlangsung sejak pertama kali al-Qur’an diturunkan hingga kini sebagai salah satu usaha penjagaan pelestarian al-Qur’an. Lembaga-lembaga pendidikan Tahfidul Qur’an pun banyak didirikan¸ bahkan sekarang di banyak lembaga pendidikan memasukkan tahfidz al-Qur’an dalam kurikulum. Menghapal al-Qur’an merupakan sebuah investasi pembelajaran sepanjang hidup untuk mendapatkan hidayah. Di sini al-Qur’an hidup sebagai an oral text melalkui kapabilitas tubuh peserta didik baik secara psikologis maupun mental.[13]
Ada banyak yang perlu dikaji di wilayah ini, misalnya sisi psikologis huffadz, rezeki huffadz, sanad huffadz hingga sampai persoalan misalnya, mengapa para huffadz jebolan Kudus di bawah asuhan keturunannya Kyai Arwani tidak membolehkan santrinya untuk mengikuti MTQ atau perlombaan semacamnya, sedangkan di lembaga pendidikan Tahfidz lainnya boleh.
5)      Tadarus al-Qur’an.
Penulis akan kutipkan artikel Emha Ainun Nadjib:
“…ada lagi orang yang sekadar bisa baca Qur’an saja: punya tradisi nderes Qur’an berjam-jam, bersila dan tubuhnya bergoyang ke kiri ke kanan, fly, bercinta begitu khusyu dan romantik dengan Tuhannya. Memang ia tidak bisa mengartikan Bahasa Arab, tetapi percintaan itu sudah berlangsung dengan sistem komunikasinya sendiri. Ini sudah sangat lumayan….Menderes al-Qur’an adalah kebudayaan religi yang paling digemari….”

b.      Pembacaan surah, ayat, atau kata-kata yang termuat di dalam al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari (baik dalam ibadah maupun tidak). Al-Qur’an memberikan banyak sekali pengaruh dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bahasa sehari-hari. Frase-frase, ekspresi-ekspresi, rumusan-rumusan dan kosa kata-kosa kata Qur’ani telah menjadi komponen esensial susunan bahasa, tidak hanya bahasa Arab tetapi juga sebuah bahasa di negara-negara Muslim. Berikut adalah frasa, kalimat atau ayat yang hampir ditemukan dalam bahasa muslim dunia: seperti allah, syahadah, Allahu Akbar, Isti’adzah, Istighfar, Basmalah, Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh, hauqalah, tasbih, tahlil, tahmid dan sebaginya.[14]
c.       Pembacaan dalam rangka healing (pengobatan). Fenomena Qur’anic Healing atau Sufi Healing (pengobatan dengan al-Qur’an atau pengobatan ala Sufi) yang menerapkan pembacaan-pembacaan pada ayat-ayat, kalimat-kalimat, atau kata-kata tertentu dari al-Qur’an dengan jumlah  tertentu pula,[15] dengan tujuan menyembuhkan penyakit pasien sudah menjadi hal yang lumrah di sejumlah negara (termasuk Indonesia). Di Amerika pun terdapat sejumlah pusat-pusat Terapi al-Qur’an, seperti Islamic Educational & Cultural Research Center of North America.[16]  Di Malaysia, Ruqyah (incantation) juga menjadi pengobatan alternatif yang digandrungi.[17]  Dalam sejarah peradaban Islam, Qur’anic Healing memiliki preseden yang sangat panjang. Kalau kita mencermati asbâb an-nuzul dari surat al-Mu’awwidzatain (an-Nâs dan al-Falaq), akan dijumpai riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw. menolak sihir dengan membacakan surat tersebut. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah menyembuhkan penyakit dengan ruqyah lewat surat al-Fâtihah. Pada dasarnya, penyembuhan dengan al-Qur’an (Qur’anic Healing) bukanlah hal yang baru. Bahkan dalam lintasan sejarah Islam, Qur’anic Healing telah mendapatkan legitimasinya. Sebagai sumber otoritas pertama dalam Islam, al-Qur’an sendiri seringkali menyebut dirinya sebagai syifâ’ (penyembuh), sebagaimana Qs. Bani Isrâ’îl (17): 82.
d.      Seni pembacaan al-Qur’an. Seni membaca al-Qur’an telah menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam tradisi Islam. Dan ini didukung sendiri oleh al-Qur’an dan hadis.[18] Kita mengenal istilah-istilah ilmu Tajwid, Ilmu Qira’at, murattal, tahsin, mujawwad, naghamaat, dll.  Salah satu buku yang menarik untuk dibaca dalam hal ini adalah The Art of Reciting The Qur’an karya Kristena Nelson dan juga Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia karya Anne K. Rasmussen. Mereka berdua mengkaji Qur’anic recitation as phenomenon of behavior and as phenomenon of organized sound.
  1. Aspek Aural
Dalam kamus Wikipedia, aural itu segala sesuatu yang berkaitan dengan pendengaran, mendengar sebagaimana mengendus/mencium sesuatu. Al-Qur’an yang dikenal dunia sebagai dokumen yang tertulis yang bisa dibaca dan dikaji sebagai teks, ternyata termasifestasikan juga di dalam kehidupan sehari-hari melalui canel aurality dan orality. Aurality tidak hanya mengimplikasi ‘mendengar’ al-Qur’an yang dibaca tetapi juga—menurut Michael Sells—‘memasukkan ke dalam hati’.[19]
Dalam proses pewahyuan al-Qur’an aspek oral dan aural ini tidak dipisahkan. Neil Robinson mengatakan bahwa mendengarkan al-Qur’an merupakkan perbuatan keimanan pertama kali yang yang paling penting.[20] Oleh sebab itu, baik oral maupun aural akan memberikan pengaruh tersendiri kepada pelakunya. Berkaitan dengan aspek aural, terdapat sebuah riset yang meneliti tentang efek mendengarkan al-Qur’an dan mendengarkan musik klasik terhadap gelombang otak (brain wave). Penelitian tersebut mengambil sampel 28 orang untuk diperdengarkan surat Yâsîn dan Pachelbel’s Canon D (musik klasik). Terkait dengan gelombang otak kanan dan kiri, terjadi peningkatan 12.67% selama mendengarkan Surat Yâsîn dan peningkatan 9.96% selama mendengarkan musik klasik. Penemuan ini mengindikasikan, bahwa mendengarkan bacaan al-Qur’an lebih dapat meningkatkan alpha band ketimbang mendengarkan musik klasik.  Konsekuensinya, mendengarkan al-Qur’an bisa menjadikan kondisi yang lebih rilek dan siaga.[21]
  1. Tulisan
Wahyu Tuhan yang verbal dan yang kemudian dituangkan dalam bentuk nyata tulisan telah menjadi perdebatan yang panjang dan mempengaruhi peradaban. Al-Qur’an menjadi faktor utama dalam perkembangan seni kaligrafi Islam.[22] Kaligrafi Islam sendiri merupakan resepsi estetis umat Islam dalam mengekspresikan keindahan al-Qur’an. Menurut Ahmad Baidowi, sisi spiritualitas dan estetika kaligrafi sebagai pengejawantahan nilai-nilai wahyu Tuhan oleh umat Islam merupakan field research yang menarik untuk diteliti.[23] Selain kaligrafi, tulisan-tulisan al-Qur’an yang dijadikan sebagai jimat dan rajah juga menarik untuk diteliti.
  1. Perilaku
Ketika wahyu sudah dituangkan dalam tulisan dan menjadi sebuah buku, maka ia akan menjadi sesuatu yang bernilai dengan sendirinya, apalagi yang ditulis adalah wahyu Tuhan yang diyakini suci. Kesucian tersebut menjadikan manusia untuk memiliki konsep tersendiri dalam memperlakukan Kitab Suci. selama al-Qur’an masih dianggap sebagai kalam Tuhan yang verbatim, maka ia akan mendapatkan maximum respect. Ia tidak boleh ditaruh di lantai, di bawah buku atau benda lainnya, tidak boleh tersebtuh oleh kaki, sepatu sandal atau sesuatu yang kotor, harus dalam kondisi suci dari hadas besar maupun kecil, menghadap ke kiblat untuk membacanya, harus berkonsentrasi ketima membacanya, tidak boleh cengengesan, dan sebagainya.[24]
Penulis akan kutipkan artikel Kitab Suci karya Emha Ainun Nadjib:
“….tindakan ibu saya dulu zaman kanak-kanak saya dulu. Kalau Qur’an saya terjatuh karena kurang berhati-hati waktu berlari-lari dari rumah menuju Masjid di Maghrib hari, dengan wajah sedih Ibu saya menyuruh saya mencium dan nyunggi Kitab Suci itu di kepala saya sambil membaca istighfar…”

Perkembangan terakhir yang menarik penulis adalah adanya usulan dari Wamen Agama tentang pengusulan pengadaan pabrik khusus percetakan al-Qur’an milik negara yang harus dikelola oleh orang-orang khusus, yang para pekerja yang suci dari hadas besar maupun kecil. Para pekerja percetakan al-Qur’an tidak boleh menaruh al-Qur’an sembarangan, menyimpannya ditempat yang bersih, memegang dengan tangan kanan, apabila ada cetakan yang salah, dianjurkan untuk dibakar, mengenakan pakaian yang menutupi aurat.[25] Intinya semua proses pencetakan al-Qur’an dari awal hingga akhir harus dikawal oleh orang-orang yang memiliki adab dan etika terhadap al-Qur’an.


D.  Penutup
Pengalaman fisik manusia terhadap al-Qur’an (the physical experience of Qur’an) oleh Janne Dammen McAuliffe disebut dengan istilah carnal. Carnal adalah cara di mana al-Qur’an dirasakan dan di-sensed melalui tubuh manusia. Pengalaman ini menjadi salah satu alasan mengapa Al-Qur’an memiliki kekuatan tersendiri yang abadi bagi pembaca atau pendengarnya [26] dan layak dijadikan kajian sebagai upaya pengembangan wilayah studi al-Qur’an.  kehadiran al-Qur’an di dalam kehidupan muslim sehari-hari, berbagai norma dan praktik terkait dengan al-Qur’an senantiasa berkembang. Sebagian dari praktik-praktik tersebut bersifat universal, diketahui oleh mayoritas muslim. Sementara praktik-praktik lainnya lebih spesifik hanya untuk budaya dan waktu tertentu. Semua perlakuan atau praktik ini merupakan bentuk dari penghormatan dan takzim terhadap al-Qur’an sebagai kalam Allah.[27]
Sebagai penutup penulis kutipkan tulisan Nasr Hamid Abu Zayd:
“Sekarang saatnya melihat al-Quran sebagai wacana. Tanpa memikirkan kembali status living-nya sebagai ‘wacana,’ baik dalam dunai akademik maupun kehidupan sehari-hari, maka hermeneutik demokratis tidak akan dicapai. Mengapa harus demokratis? Sebab, ini tentang ‘makna hidup, maka harus hermeneutik yang terbuka secara demokratis. Jika Anda ikhlas melepaskan pemikiran keagamaan dari manipulasi kekuasaan politik, sosial atau agama, supaya mendapatkan kembali formulasi ‘makna’ bagi umat Islam, maka kita perlu menkonstruk hermeneutik yang humanistik demokratis. Al-Qur’an adalah living phenomenon seperti musik yang dimainkan oleh grup musik. Teks tertulis al-Qur’an adalah note musiknya, ia diam.[28]

Walhasil, kehadiran al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat memberikan warna tersendiri di ranah sosial dan budaya. Wallahu’alam.
 



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, (New York: Routledge, 2008).
Ahmad Baidowi, “Resepsi Estetis terhadap al-Qur’an” dalam Jurnal Esensia, Vol. 8. No. 1. 2007
Andrew Rippin (ed)., The Blackwell Companion to the Qur’an, (USA: Balckwell Publishing, 2006)
Anna M. Gade, “Taste, Talent, and the Problem of Internalization: A Qur’anic  Study in Religious Musicaliy  from Southeast  Asia” dalam History of Religions, Vol. 41, No. 4, (May, 2002)
_________, The Qur’an: an Introduction, (England Oneworld Publication, 2010).
Anne K. Rasmussen, The Qur'ân in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory” dalam Ethnomusicology, Vol. 45, No. 1 (Winter, 2001).
Bruce Lawrence, The Qur’an: A Biography, (London: Atlantik Book, 2006).
Charles Hirschkind, “The Ethics of Listening: Cassette-Sermon Audition in Contemporary Egypt” dalam American Ethnologist, Vol. 28, No. 3 (Aug., 2001)
Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya, (Yogyakarta: SIPRESS, 1992)
Farid Esack, The Introduction to the Qur’an (England: Oneworld, 2002)
Frederick M. Denny “Qur’an Recitation: A Tradition of Oral Performance and Transmission” dalam Oral Tradition, 4/1-2 (1989)
Hamam Faizin, “Living Qur’an: Sebuah Tawaran” dalam  Jawa Pos, 10 Januari 2005 .
Ilham Khori, Al-Qur’an dan Kaligrafi Islam, Peran Kitab Suci dalam transformasi budaya, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)
Ingrid Mattson, The Story of The Qur’an: Its History and Place in Muslim Life, (Blackwell Publishing, 2008).
Islah Gusmian, Al-Qur’an Surat Cinta Sang Kekasih (Yogyakarta: Galangpress, 2005)
Janne Dammen McAuliffe, “The Persistent Power of the Qur’an” dalam Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 147, No. 4 (Dec., 2003)
Kristina Nelson, “Reciter and Listener: Some Factors Shaping the Mujawwad Style of Qur'anic Reciting” dalam Ethnomusicology, Vol. 26, No. 1, 25th Anniversary Issue (Jan., 1982)
Lois Ibsen al Fārūqī, “Qur'ān Reciters in Competition in Kuala Lumpur” dalam Ethnomusicology, Vol. 31, No. 2 (Spring - Summer, 1987)
Lois Ibsen al Faruqi, “The Cantillation of the Qur'an” dalam Asian Music, Vol. 19, No. 1 (Autumn - Winter, 1987)
M. Ibnan Syarif, Ketika Mushaf Menjadi Indah, (Semarang: Penrbit AINI, 2003).
Nasaruddin Umar, “Problematika Percetakan Al-Qur’an” dalam Republika, 9 Februari 2012
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Toward a Humanistic Hermeneutics, (Amsterdam: SWP Publisher, 2004)
________, The Qur’an: God and Man in Communication. Bisa diunduh di http://www.let.leidenuniv.nl/ forum/01_1/ onderzoek/ lecture.pdf.
Neil Robinson, Discovering the Qur’an, A Contemporary Approache to a Veiled text, (UK: SCM Press, 1996).
Noor Ashikin Kadir Zulkarnaini,  Ros Shilawani S. Abdul;  Zunairah Murat,  Roshakimah Mohd, Isa, The Comparison between Listening to Al-Quran and Listening to Classical Music on the Brainwave Signal for the Alpha Band. Lihat abstrak penelitian ini di  http://www.ieeexplore.ieee.org
Nurdeng Deuraseh, “Using the Verses of the Holy Qur’an as Quqyah (Incantation): The Perception of Malay-Muslim Society in Kelantan and Terengganu on Quqyah as an Alternative Way of Healing in Malaysia,” dalam European Journal of Social Sciences,Vol. 9 Number 3 (2009).
Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur’an dan Hadis” dalam Metodologi Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007).
Thomas Hoffmann, “Ritual Poeticity in the Qur'an: Family Resemblances, Features, Functions and Appraisals” dalam Journal of Qur'anic Studies, Vol. 6, No. 2 (2004)
Yezdullah Kazmi, “The Qur’an as Event and Phenomenon” dalam Islamic Studies, Vol. 41. No. 2 (Summer 2002).

Rujukan Internet
www.iecrcna.org.





[1] Makalah ini dipresentasikan di INTERNATIONAL SEMINAR AND QUR’ANIC CONFERENCE II 2012, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Februari 2012

                [2] Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur’an dan Hadis” dalam Metodologi Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2007), h. xii-xiv
                [3]  Yezdullah Kazmi, “The Qur’an as Event and Phenomenon” dalam Islamic Studies, Vol. 41. No. 2 (Summer 2002), h. 193.
                [4] Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Toward a Humanistic Hermeneutics, (Amsterdam: SWP Publisher, 2004), h. 13.
                [5] Hamam Faizin, “Living Qur’an: Sebuah Tawaran” dalam  Jawa Pos, 10 Januari 2005 .
                [6] Anna M. Gade The Qur’an: an Introduction, (England Oneworld Publication, 2010), h. 183
                [7] Untuk artikel di jurnal, mungkin kita bisa baca misalnya Anna M. Gade, “Taste, Talent, and the Problem of Internalization: A Qur’anic  Study in Religious Musicaliy  from Southeast  Asia” dalam History of Religions, Vol. 41, No. 4, (May, 2002); Charles Hirschkind, “The Ethics of Listening: Cassette-Sermon Audition in Contemporary Egypt” dalam American Ethnologist, Vol. 28, No. 3 (Aug., 2001); Thomas Hoffmann, “Ritual Poeticity in the Qur'an: Family Resemblances, Features, Functions and Appraisals” dalam Journal of Qur'anic Studies, Vol. 6, No. 2 (2004); Lois al Fārūqī, “Qur'ān Reciters in Competition in Kuala Lumpur” dalam Ethnomusicology, Vol. 31, No. 2 (Spring - Summer, 1987); dan Lois Ibsen al Faruqi, “The Cantillation of the Qur'an” dalam Asian Music, Vol. 19, No. 1 (Autumn - Winter, 1987); Janne Dammen McAuliffe, “The Persistent Power of the Qur’an”,, dalam Proceedings of the American Philosophical Society, Vol. 147, No. 4 (Dec., 2003); Anna. M. Gade ‘Recitation’ dalam The Blackwell Companion to the Qur’an, Andrew Rippin (ed). (USA: Balckwell Publishing, 2006); Nasr Hamid Abu Zaid, “Qur’an in Everyday Life” dalam Encyclopaedia of the Qur’an, Janne Dammen McAuliffe (ed.) (Leiden: Brill, 2001); Frederick M. Denny “Qur’an Recitation: A Tradition of Oral Performance and Transmission” dalam Oral Tradition, 4/1-2 (1989): 5-26; Kristina Nelson, “Reciter and Listener: Some Factors Shaping the Mujawwad Style of Qur'anic Reciting” dalam Ethnomusicology, Vol. 26, No. 1, 25th Anniversary Issue (Jan., 1982); Anne K. Rasmussen, The Qur'ân in Indonesian Daily Life: The Public Project of Musical Oratory” dalam Ethnomusicology, Vol. 45, No. 1 (Winter, 2001).Untuk karya-karya sarjana al-Qur’an Indonesia, selain yang penulis sebut di awal, di antaranya adalah Islah Gusmian, Al-Qur’an Surat Cinta Sang Kekasih (Yogyakarta: Galangpress, 2005); Emha Ainun Nadjib, ‘Kitab Suci’ dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya, (Yogyakarta: SIPRESS, 1992).
                [8] Farid Esack, The Introduction to the Qur’an (England: Oneworld, 2002), h. 20
                [9] Pemetaan intraksi manusia dengan al-Qur’an ala Farid Esack menggunakan analogi interaksi antara seorang pecinta (lover), dengan yang dicinta (beloved), yakni al-Qur'an.  Ada dua bagian,  masing-masing bagian memiliki kelompok. Bagian pertama adalah umat Islam. Bagian kedua adalah non-muslim.  Bagian pertama memiliki tiga kelompok. Kelompok pertama disebut uncritical lover (pecinta tak kritis). Kelompok ini adalah orang-orang muslim awam (ordinary muslims). Kelompok ini berinteraksi dengan kekasihnya (baca: al-Qur'an) secara 'buta', bahwa kekasihnya, al-Qur'an adalah segala-galanya, tanpa pernah mencoba meragukan atau menanyakan tentang al-Qur'an. Kelompok kedua adalah scholarly lover, yakni sarjana muslim konvensional. Mereka ini adalah pecinta al-Qur’an yang berusaha menjelaskan kepada dunia mengapa al-Qur’an bisa disebut sebagai wahyu dari Tuhan Allah yang membawa kebenaran dan oleh karenanya perlu diterima dan dijadikan sebagai pegangan hidup. Para pecinta ini menjelaskan kehebatan atau I'jaz al-Qur’an secara ilmiah dengan piranti-piranti keilmuan yang sudah mapan, yakni ilmu tafsir (ulum al-Qur’an).  Kelompok ketiga adalah critical lover, pecinta yang kritis. Mereka berusaha bertanya tentang sifat-sifat, asal-usul (otentisitas) dan bahasa kekasihnya (al-Qur’an), sebagai refleksi kedalaman cinta. Bagian kedua yang memuat non-muslim terbagi menjadi tiga kelompok juga. Kelompok pertama adalah The Friend of Lover, teman pecinta. Kelompok ini berbeda tipis dengan kelompok critical lover. Yang membedakan hanyalah identitas keagamaan. Kelompok kedua disebut revisionist karena acap kali ingin melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya merevisi al-Qur’an beserta aspek-aspek inherennya. Dan juga berusaha melemahkan al-Qur’an dengan bukti-bukti akademis.Kelompok ketiga adalah polemicist, yakni non-muslim yang menolak al-Qur’an secara membabi-buta.
                [10] Ibid, h. 15-17.
[11] Anne K. Rasmussen, Women, the Recited Qur’an…”h. 74
[12] Ahmad Rofiq, “The Rituals of Khataman Al- Qur’an in Indonesia”, dalam http://blog.minaret.org /?p=3698
[13]  Ingrid Mattson, The Story of The Qur’an: Its History and Place in Muslim Life, (Blackwell Publishing, 2008), h. 124.
[14] Nasr Hamid Abu Zayd, The Qur’an: God and Man in Communication. Peper ini disampaikan di sebuah perkuliahan di Leiden. Bisa diunduh di http://www.let.leidenuniv.nl/ forum/01_1/ onderzoek/ lecture.pdf. Artikel ini menurut penulis memberikan landasan yang kuat untuk mengembangkan kajian Living Qur’an. Lihat juga Neil Robinson, Discovering the Qur’an, h. 17-20.
[15] Formula jumlah (nomor) yang dianjurkan dalam pembacaan penggalan-penggalan ayat-ayat tertentu al-Qur’an sering disebut dengan Numerologi. Numerologi memainkan peran penting di dalam permintaan pertolongan pasien kepada Tuhan. Ia menjadi semacam resep untuk mendapatkan rahmat agar gangguan setan itu hilang. Sebab setiap huruf di dalam alfabetis Arab mengandung sebuah ‘nilai’. Lihat Bruce Lawrence, The Qur’an: A Biography, (London: Atlantik Book, 2006). hlm. 190
[16] Lihat www.iecrcna.org.
[17] Nurdeng Deuraseh, “Using the Verses of the Holy Qur’an as Quqyah (Incantation): The Perception of Malay-Muslim Society in Kelantan and Terengganu on Quqyah as an Alternative Way of Healing in Malaysia,” dalam European Journal of Social Sciences,Vol. 9 Number 3 (2009).
[18] Baca, Frederick M. Denny “Qur’an Recitation: A Tradition of Oral Performance and Transmission”
[19] Anne K. Rasmussen, Women and the Recited Qur’an…”, h. 74.
[20] Neil Robinso, Discovering the Qur’an, A Contemporary Approache to a Veiled text, (UK: SCM Press, 1996), h. 13.
[21] Noor Ashikin Kadir Zulkarnaini,  Ros Shilawani S. Abdul;  Zunairah Murat,  Roshakimah Mohd, Isa, The Comparison between Listening to Al-Quran and Listening to Classical Music on the Brainwave Signal for the Alpha Band. Lihat abstrak penelitian ini di  http://www.ieeexplore.ieee.org
[22] Ilham Khori, Al-Qur’an dan Kaligrafi Islam, Peran Kitab Suci dalam transformasi budaya, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), baca juga M. Ibnan Syarif, Ketika Mushaf Menjadi Indah, (Semarang: Penrbit AINI, 2003).
[23] Ahmad Baidowi, “Resepsi Estetis terhadap al-Qur’an” dalam Jurnal Esensia, Vol. 8. No. 1. 2007, h. 24
[24] Lois Ibsen al-Faruqi, “Chantillation of the Qur’an” dalam Asian Music  Vol. 19 No. 1 (Auntum-Winter, 1987), h. 6
[25] Nasaruddin Umar, “Problematika Percetakan Al-Qur’an” dalam Republika, 9 Februari 2012
[26] Jane Dammen McAuliffe, “The Persistence Power of Qur’an” dalam Proceeding of the American Philosofical Society, vol 147, No. 4 (Desember, 2003), h. 339.
[27] Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, (New York: Routledge, 2008). h. 84
                [28] Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Toward a Humanistic Hermeneutics, (Amsterdam: SWP Publisher, 2004), h. 8-13. 

1 komentar:

  1. TITanium Bars - Titanium Arts
    TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. TITanium Bars. how strong is titanium TITanium Bars. TITUNDIN DININ DINING DINING DINING 오즈포탈 DINING DINING DINING DINING DINING DINING titanium dioxide formula DINING DINING DINING titanium jewelry DINING DINING DINING DINING DINING DINING DINING DINING DINING titanium bars DINING DINING

    BalasHapus