Powered By Blogger

Rabu, 16 Oktober 2013

TEOLOGI REVOLUSIONER HASSAN HANAFI

BAB l
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Hasan Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia, terutama yang gemar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hasan Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikir Islam yang lain, pemikirannya lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Dalam golongan intelektual Hasan Hanafi dikategorikan sebagai sosok intelektual yang bersifat kritis. Dalam kebangkitan Islam bagi Hasan Hanafi adalah kebangkitan rasionalisme dan menghidupkan kembali khasanah klasik, melakukan wacana perlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis realitis dunia Islam. Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.
Dalam membaca pemikiran Hasan Hanafi, yang terasa adalah adanya gugatan terhadap tradisi lama Islam. Gugatan tersebut bukan hanya terhadap tradisi paradigma klasik dalam ushuluddin tetapi juga terhadap terdisi dan konvensi teknis dikalangan muttakalimun dalam pembahasan ilmu ini. Bahwa menurut Hasan Hanafi ulama klasik dalam mukadimahnya, telah memperlihatkan pembahasan keimanan pada pendahuluan hingga seakan-akan merupakan kesimpulan. Sedangkan pembahasan diantara mukadimah dan kesimpulan merupakan sesuatu yang tidak berarti. Sebenarnya ungkapan muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan dalil-dalil, menyia-nyiakan keilmuan, lebih-lebih jika keimanan kita hendak tidak diterapkan. Keimanan kami adalah tradisi dan modernisasi dan pemecahan terhadap krisis modernitas yang menengok warisan Islam klasik, serta mencari kemungkinan untuk merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik guna memberikan sesuatu yang baru bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan.

1.2 Rumusan Masalah
     1. Bagaimana biografi Hassan Hanafi?
     2. Bagaimana sejarah munculnya pemikiran-pemikiran  Hassan Hanafi?
     3. Apa saja pemikiran-pemikiran teologi revolusioner Hassan Hanafi?

1.3 Tujuan
     1. Mengetahui biografi Hassan Hanafi.
     2. Mengetahui sejarah munculnya pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi.
     3. Mengetahui beberapa pemikiran-pemikiran teologi revolusioner Hassan Hanafi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo, tepatnya di sekitar tembok Benteng Shalahuddin daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan Al Azhar, sebagaimana diketahui, kota itu tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar khususnya di Al Azhar. Beliau terlahir  dari keluarga musisi. Akan tetapi sejak kecil Hanafi dihadapkan  pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang pahit, karena dominasi kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik asing yang lain. Ketika beliau berumur 13 tahun, ia pernah mendaftarkan diri sebagai suka relawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Karena dianggap usianya masih muda, ia ditolak oleh gerakan pemuda muslimin. Disamping itu, ia dianggap bukan kelompok mereka. Hanafi kecewa dan sadar di negaranya telah terjadi problem tentang ancaman persatuan umat yang lemah.
Pada tahun 1951, ketika masih duduk dibangku sekolah menengah atas, ia terlibat dalam perang urat saraf dengan Inggris di Terusan Suez. Di sana, ia menyaksikan para Syuhada. Bersama-sama dengan para mahasiswa, ia telah memberanikan diri untuk membantu gerakan revolusi pada akhir 40-an, gerakan revolusi tersebut  meletus pada tahun 1952. Pada tahun itu pula ia tertarik untuk masuk ke dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, atas saran pemuda muslimin. Akan tetapi, di sana, terjadi perdebatan yang sama dengan sebelumnya. Akhirnya mereka yang bergabung dalam organisasi itu menyarankan Hanafi agar bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Namun, keadaan di dalamnya sama dengan kedua organisasi sebelumnya.
Beliau adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris dengan disertasinya berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Karya setebal 900 halaman itu  mendapat penghargaan sebagai penulis karya ilmiah terbaik Mesir pada tahun 1961. Karya tersebut  merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh (Islamic Legal Teory) pada madzhab filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl.
Pendidikan  Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas- aktifitas sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.
            Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko ( 1982-1984) dan menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985). Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo. Aktifitas di dunia akademik tersebut ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat. Tercatat, Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al- Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara. (Moh. Nurhakim,2003: 8-9).

2.2  Sejarah Munculnya Pemkiran Hassan Hanafi
            Pada tahun 1952-1956 Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat. Tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara gerakan ikhwan dan gerakan revolusi. Ia berada dipihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena yang pertama mempunyai komitmen dan visi keislaman yang jelas. Hanafi mulai optimis setelah Nasser berhasil menasionalisasikan suez dan berubah menjadi pahlawan nasional. Peristiwa demi peristiwa yang dia alami selama dikampus telah membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan revormis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat islam selalu mudah dikalahkan dan mengapa konflik internal dikalangan mereka terus terjadi.
Dalam keprihatinan semacam itu, hanafi beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun 1956-1966. Keberuntungannya disini bukan karena ia berhasil melarikan diri dari situasi sulit di negerinya, akan tetapi ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus ia mulai merumuskan jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia akui, di Prancis ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang pemiir reformis katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan analisis kesadaran dari Husserl.
Sepulangnya dari Prancis pada tahun 1966, semangat Hanafi untuk meneruskan tulisannya tentang pembaharuan peemikiran islam sangat tinggi. Akan tetapi, kekalahan Mesir melawan Israel tahun 1967 membalik niatnya tersebut. Kemudian, ia ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat Nasionalisme. Karena itu, ia memanfaatkan media masa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis artikel-artikel untuk menanggapi masalah-masalah actual  untuk melacak faktor kelemahan umat islam. Disini, terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seorang pemikir dan cendekiawan, ia sangat peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Pada tahun yang terakhir tersebut, ia terkena suatu permasalahan dengan pemerintah sehingga ia diminta untuk memilih, antara berhenti dari aktifitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua. Sepulang dari Amerika ia berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran islam yang telah lama tertunda. Pengalaman itulah antara lain, yang mempertajam pemikirannya dan mendorong dirinya untuk memanfaatkan sisa umurnya untuk menulis dan menyelesaikan problem yang sedang dihadapai oleh dunia Islam. Disini, terlihat bahwa disamping sebagai pemikiran pembaru, ia juga cendekiawan yang mempunyai perhatian besar terhadap persoalan umat, bahkan, ia banyak terlihat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan.(Moh.Nurhakim,2003:9-10)

2.3 Pemikiran-pemikiran teologi revolusioner Hasan Hanafi.
2.3.1 Modernisme
            Modernisme adalah sebuah pemberontakan terhadap tradisi masa lampau, yang terdiri atas tradisi masa lalu dan masa kini, guna menciptakan sebentuk tradisi baru. Saat ini, Modernisme dalam Ilmu Pengetahuan, Peradaban, Filsafat, Metodologi, Sosial dan Ekonomi tidak memiliki batas-batas geografis, atau paling tidak, ia merupakan term yang tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi dalam satu wilayah geografis dimuka bumi ini. Modernisme saat ini adalah Modernisme agresif total, sehingga kalau anda tidak segera mengantisipasinya, atau bekerja keras untuk memberikan kontribusi karya didalamnya, atau paling sedikitnya,untuk mengetahui proses keberlanjutannya dalam kenyataan dan privasi anda, maka anda akan disingkirkan olehnya, atau digusur oleh kenyataan anda sendiri, atau dipinggirkan dan diposisikan di wilayah marginal di luar area masa kini dan area masa yang akan datang, dengan merenungkan masa lampau, atau bahkan menjerumuskan anda ke dalam masa lampau tersebut.
            Hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa kita harus menentang tradisi yang telah kita miliki serta menghadirkan diri kita sebagai sebuah totalitas dalam Peradaban Kontemporer, sehingga seolah-olah kita adalah makhluk yang tidak memiliki tradisi. Tentu tidak! Sesungguhnya peletakan dasar-dasar modernism bgi kita dan dalam lingkungan kita dapat dicapai dengan resistemisasi atas tradisi kita dan rekonstruksi hubungan kita dengannya dalam bentuk modern. Modernisme dimulai dengan penguasaan dan kepemilikan terhadap tradisi, karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyambung banyak jalur yang terputus dengannya, termasuk untuk mewujudkan proyeksi jauh ke depan menuju formulasi tradisi baru yang kita bentuk, yakni sebuah tradisi baru yang bersifat praktis, berhubungan dengan tradisi masa lampau dari segi identitas dan tipikalitas karakteristiknya, serta terpisah dengan masa lampau itu dari segi totalitas dan universalitasnya.(Hassan hanafi, 1990: 113-114)
2.3.2 Sekularisme dan islam
Al-‘ilmaniyyah adalah term yang diarabkan dan bukan kata asli dari arab. Kata tersebut menjadi sinonim dari Sekularisme, yang berasal dari bahasa latin ”Saeculum”. Artinya adalah masa (Al-‘ashr). Kata ini berasal dari peradaban barat.(Hasan Hanafi,1990:68). Yang untuk selanjutnya golongan yang menjunjung sekularisme ini pada gilirannya adalah menjadi lawan dari golongan yang fundamentalis (memegang pondasi/dasar pemikiran), dimana golongan fundamentalis adalah golongan yang menolak pengaruh dari luar yang datang, baik secara menyeluruh maupun yang dari tingkat yang sangat detail.
Di Barat, term ini menunjukkan pemisahan antara gereja dan negara atau antara otoritas religius dan otoritas politik. Di Eropa sendiri terjadi pertentangan antara para Pope di Roma, uskup dan para raja. Pertentangan ini semula dimenangkan oleh para Pope tetapi kemudian kemenangan itu berpindah tangan pada para raja setelah terjadinya revolusi prancis “ Asyniqu akhir malik bi am’ai akhir qissis” (Ikatlah raja terakhir itu dengan usus uskup terkhir). Selanjutnya kembali pada sabda Isa Al Masih “ Berikan apa yang menjadi milik raja kepadanya dan apa yang manjadi milik Allah kepadaNya” (Hasan Hanafi,1990:68-69),  berangkat dari pernyataan ini maka solusi yang ditawarkan dan sekarang telah terjadi adalah pemisahan antara dua otoritas yang keduanya pernah mengalami kemenangan yaitu gereja untuk urusan agama dan negara untuk dunia (Sekuler).
Dalam peradaban barat, Sekularisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta ditegakkan  diatas undang-undang Eropa. Karena dipisahkan kehidupan agama dan kehidupan dunia maka hukum-hukum yang dibuat pun tidak berlandasaakan pada agama tapi pada pemikiran-pemikiran secara rasional yang dikembangkan oleh yang berwenang membuat hukum-hukum. Karena terpisah pula maka tidak ada agama resmi bagi negara, mereka menganggap semua agama sama jadi tidak perlu ada pendominasian terhadap agama maka agama apapun bebas berkembang tidak peduli agama ataupun kepercayaan, tidak ada persyaratan beragama bagi seorang pemimpin negara sebagai salah satu persyaratan kemimpinan, tidak ada hukum gereja yang mengatur hubungan antara individu, seperti hukum kelurga (Al-Ahwal al-Syakhshiyyah) atau hukum kriminal (Jinayah) sebagai contoh jika ada pencuri yang ketahuan pebuatannya maka sanksi yang diberikan itu tidak mengacu pada hukum-hukum agama dalam artian disini bahwa pihak negara sendiri tanpa campur tangan pihak gereja yang notabene memegang doktrin-doktrin agama gereja, yang selanjutnya produk dari sekukarisme ini adalah tidak ada pengajaran-pengajaran agama di sekolah-sekolah serta tidak ada dakwah keagamaan dalam berbagai media informasi.
Dengan itu, setelah kerajaan memenangkan otoritas atas gereja (para Pope), maka gereja digunakan untuk kepentingan negara sehingga gereja dimanfaatkan untuk mengantarkan penjajahan dan kolonialisme. Maka, penjajahan itu selalu dihubungkan dengan misionari, demikian juga sebaliknya. Kemenangan pertama bangsa-bangsa non Eropa tercapai dengan kecintaan terhadap barat setelah hilangnya kecintaan mereka terhadap negara sendiri dan timbul perubahan iman terhadap agama barat menjadi kecintaan secara politik.
Konsepsi peradaban barat itu mulai tersebar diantara kita dan membuat kita mengerti diri kita dan membuat kita mengerti diri kita. Seperti sekularisme dan liberalisme sehingga keduanya tersebar begitu mendarah dadging diantara kita serta menjadi salah satu factor penyebab terjadinya modernisme di Barat. Tetapi ketika modernisme, bangsa-bangsa di seluruh dunia dan perputaran sejarah itu menjadi satu, maka tida diragukan lagi banyak penolakan dan pembelaan yang mewujudkan kemajuan masyarakat tanpa memperhatikan beragam karakteristik bangsa serta perputaran sejarah yang dilewati oleh masyarakat tidak ada satu ideal menuju modernitas tersebut. Dan hal ini merupakan kelemahan kita dalam menciptakan beragam cara untuk maju dari inspirasi religius, rasional, tradisi bangsa dan khazanah historisnya.
Bagi gerakan islam, hal diatas diungkapkan dalam bentuk Sekularisme dan menghubungkannya dengan westernisasi yang mengandung unsur kolonialisme dan missionary serta berpegang teguh kepada agama islam yang menyatukan agama dan dunia. Gerakan ini menjunjung tinggi slogan Al-Hakimiyyah (supremasi Hukum Allah) sebagai penjelasan dari ayat “barang siapa yang tidak menempuh hukum yang diturunkn oleh Allah maka mereka termasuk orang-orang yang kafir. Karena orang-orang kafir adalah yang menolak untuk beriman, orang fasik adalah orang yang menerima iman hanya sebagai konsep  dan menolak untuk mengamalkannya dan orang yang merugi itu adalah orang yang tidak mengetahui kemaslahatan dan  dunia.(Hasan hanafi,1990:71)
Maka kesalahan pertama adalah transformasi model sekularisme barat, dan sedikitnya reaksi yang munsul atas slogan Supremasi hukum Allah sebagai kesalahan kedua. Menyatunya kedua kesalahan ini tidak menghadirkan solusi yang tepat. Hambatannya bagi kita adalah bagaimana cara mewujudkan tujuan-tujuan kelompok sekuler berupa kebebasan dan kemajuan yang diinginkan oleh masyarakat disaat yang sama islam berusaha melaksanakan syariat islam sebagai upaya untuk menghindari pemikiran dualistik  antara dunia dan agama, amal dan iman, atau antara syariah dan akidah?
Syariat islam adalah syariat positif ditegakkan berdasarkan kemashlahatan umum yang dilihat dari dimensi primer (Dlaluriyyat), sekunder (Hajiyat), tersier (Tahsinat). Dimensi primer ada lima macam yaitu menjaga agama, kehidupan, akal, kehormatan diri dan harta benda. Semua dasar-dasar kehidupan.(Hasan Hanafi,1990:72)
Agama adalah hakikat obyektif yang bebas dari segala nafsu manusia, kehidupan manusia dilihat sebagai system nilai bagi dirinya sendiri, akal dipandang sebagai sarana taklif dan pengendali indra, kemuliaan adalah sarana bag manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan dan harta benda adalah alat untuk memenuhi kebutuhan manusia serta menjamin keberlanjutan dan berlangsungnya hidup mereka. Kelima kelompok primer ini dibela oleh para sekularis namun mereka mengadopsi dari peradaban barat dan tidak bersumber pada syariat islam. Para sekulerisme ini tidak menghiraukan sistem sanksi yang terdapat dalam undang-undang kriminal yang sangat dibela dan dipertahankan oleh para pemuka muslim sebagai reaksi untuk menolak para sekularisme yang pada hakikatnya adalah sebuah prasangka sebagai hasil dari terpecah-pecahnya konsep nasionalisme dan peperangan dengan saudara dan musuh-musuh sebagai akibat dari pengkafiran terhadap berbagai golongan yang menjerumuskan kesadaran nasional.
Adapun dispensasi pelaksanaan syariah yang kapasitasnya digugat oleh sekularisme merupakan sikap emosinal akibat tidak memahami ruh syariah. Hal itu dilakukan hanya untuk melarang, mengebiri dan mengharamkan saja dan tidak memandang dimensi kemanusiaan dan sensifitasnya terhadap fenomena aam semesta. Hukum-hukum syariat yang berjumlah lima macam yakni, wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah hanyalah mendiskripsikan stratifikasi perbuatan alamiah manusia, sebagaimana ditempatkan oleh para sekuler di luar wilayah halal dan haram yang terbentuk dan adopsi dari luar.
Syariah juga menentukan prinsip-prinsip umum dan menyimpulkan disiplin fiqh. Prinsip-prinssip itu bersifat tetap sedangkan fiqh senantiasa  berubah sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan. Hukum fiqh baru sebagai jawaban atas segala persoalan terhadap kondisi jaman, sebagai jawaban atas kemaslahatan yang selalu berubah dari generasi ke generasi.
Yang membedakan Islam dengan sistem lainnya adalah sistem kependetaan, otoritas religius, berbagai pandangan, emosi, iklim, hukum kriminal, dan sistem sanksi sehingga hal itu menghancurkan manusia dan membuat manusia berpaling pada sekulerisme model barat yang mencakup madzhab Rasionalisme, Liberalisme, Kebebasan, demokrasi, dan Modernisme. Maka aib itu ada dalam diri kita dan bukan pada orang lain, yakni dalam peniruan yang dilakukan terhadap orang lain dan bukan pada kreatifitas orisinil.
2.3.3 Fundamentalisme
            Istiah fundamentalisme berasal dari bahasa inggris fundament yang dapat di artikan dasar dari sesuatu atau sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata fundamentalisme biasa diartikan idea atau gerakan yang mendasarkan diri pada suatu gerakan yang mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang diyakini paling dasar dan benar, seperti kitab suci bagi pemeluk suatu agama atau dasar Negara (ideologi) bagi suatu bangsa.
            Hasan hanafi sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah fundamentalisme dalam islam. Kata-kata “ushuliyyah Islamiyah” (fundamentalisme islam) diberi tanda kutip sambil dijelaskan beberapa istilah lain yang berlaku di kalangan umat islam. Di dalam pandangan dan pengalaman kaum muslimin merupakan respon atas keadaan yang buruk dan upaya untuk bangkit. Namun demikian, hanafi merasa terpaksa menggunakan istilah ushuliyah islamiyah (fundamentalisme islam) sebagai judul buku, karena pertimbangan kalangan pembaca akademis di seluruh dunia.
            Lebih lanjut, hanafi mendefinisikkan fundamentalisme dalam islam sebagai suatu gerakan yang berusaha menegakkan dan merealisasikan syariat islam serta membangun system yang islami dengan menolak system non-islam yang sedang berlaku.
            Gerakan tersebut berusaha mendasarkan realitas kehidupan pada dasar islam, sebab dasar-dasar yang lain dianggap tidak sah. Karena itu, jika ia di pergunakan sebagai dasar maka realitas menjadi rusak seperti yang sedang berjalan saat ini. Pengikut gerakan itu meyakini bahwa berbagai masalah yang timbul dewasa ini di sebabkan manusia tidak menerapkan syariat Allah dengan sebenar-benarnya. Maka, jika ingin masalah-masalah itu hilang, satu-satunya cara adalah dengan menerapkan syariat Allah, meskipun realitas menolak. Bagi hanafi, gerakan itu membuat analisis persoalan berdasarkan syariat yang bersifat ideal, bukan pada realitas. Mereka menghendaki realitas mengikuti ideal syariat, bukan syariat memperturutkan realitas. Di sinilah, letak gerakan semacam itu disebut fundamentalisme. (Moh.Nur hakim,2003:148-149)  
2.3.4 Liberalisme
Liberalisme adalah sistem terpanjang yang masuk ke dalam kehidupan kita, khususnya di Mesir selama fajar kebangkitan Arab Modern setelah gerakan Islam. Pelopornya adalah Al Tanththawi di Mesir dan Khairuddin Al Tunisi di Tunisia. Mereka berkeinginan untuk mendirikan Negara modern seperti yang diinginkan oleh filsafat pencerahan di Barat, seperti yang diungkapkan oleh La Charte dalam revolusi Perancis. Untuk itu, Al Thahtawi menerjemahkannya sebagai penegas ultimatum bagi Negara Nasionalis Modern. Liberalisme tidaklah menuntut penghapusan system kerajaan dan kekhilafahan, namun menuntut system kerajaan yang terikat pada undang-undang dan system parlemen yang dibangun di atas multi-partai. Kebebasan Pers, urgensi ajaran nasional yang bebas dan independen, tanggung jawab departemen di depan para wakil rakyat, kebebasan berpendapat, berkumpul dan bekerja serta kebebasan berfikir dan menganut sebuah kepercayaan.
Liberalisme telah memimpin sejumlah peperangan untuk membangun Negara modern, sejumlah selokan dan saluran air, jembatan dan bendungan, pendirian sekolah-sekolah dan universitas-universitas, penyebaran pengajaran tanpa pembedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, serta pembentukan semangat nasionalisme, yang independen. Maka meletuslah beberapa revolusi nasional, seperti revolusi tahun 1919 di Mesir yang mengatas namakan Liberalisme.(Hassan Hanafi,1990:95)
2.3.5 Pemikiran kalam Hassan Hanafi
A. Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasan Hassan hanafi tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan,yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern (A.H. Ridwan,1998: hlm 14).
Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh di persoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis (A.H. Ridwan,1998: hlm 45).
Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabakan oleh sikap para penysun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat.                                                                                                                                                 B. Rekonstruksi Teologi
Melihat kelemahan dari teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi dengan tujuan menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia (A.H. Ridwan,1998: hlm 39).
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya di latar belakangi oleh tiga hal berikut :
Pertama : kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Kedua:    pentingnya teologi baru ini bukan semata-mata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.
Ketiga:  kepentingan teologi yang bersifat praktis(amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya ”teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam di bawah satu orde (A.H. Ridwan,1998: hlm 50).
Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi salah satu cara yang mesti di tempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-pertama untuk mentransformasikan teologi menuju antropolgi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif, maupun kesejarahan.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dari keseluruhan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hassan Hanafi adalah seorang pemikir muslim modernis dari Mesir dan guru besar pada fakultas filsafat Universitas Kairo. Dan pemikiran Hanafi meliputi bidang filsafat atau pemikiran islam, kalaupun bicara masalah lain, seperti ekonomi dan politik, itu hanya karena ia ingin menjelaskan persoalan yang sedang dihadapi oleh umat islam, tetapi tetap berada dalam kerangka bidang filsafat.
            Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al- Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara.
            Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi meliputi berbagai aspek, yaitu :
·         Modernisme
·         Fundamentalisme
·         Sekularisme
·         Liberalisme, dan
·         Pemikiran kalam Hassan Hanafi




DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Hassan. Membunuh Setan Dunia, IRCiSoD: Yogyakarta. 2003
Prasetyo, Eko. Islam Kiri, Pustaka Pelajar Offsett: Yogyakarta. 2002
Nurhakim, Moh. Islam Tradisi dan Reformasi, Bayumedia Publishing: Jatim. 2003
Rozak, Abdul dan Rosihon,Anwar. Ilmu kalam.1998



konsep RIBA, PENIMBUNAN dan ETIKA MU’AMALAH Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Baari

PEMBAHASAN

A.    RIBA dan ANCAMAN BAGI PELAKU
Dalam bahasa arab, makna dasar kata riba adalah tambahan baik tambahan tersebut terjadi pada sesuatu itu sendiri seperti Firman Allah “ وربت هتزتا ”  (tumbuh dan bertambah) atau penambahan pada gantinya seperti satu dirham diganti dengan dua dirham. Ada juga yang berpendapat bahwa tambahan pada bendanya merupakan hakikat dari makna riba, sedangkan tambahan pada penggantinya merupakan makna majaz. Ibnu Suraij menambahkan bahwa maknayang kedua merupakan hakikat syar’I dari riba.[1]
Para penulis kitab Sunan meriwayatkan dari jalur Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, dari bapaknya (dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah)
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang yang memberi (orang lain supaya memakannya), saksi dan penulis dalam transaksi riba”[2]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan melalui jalur Muqotil bin Hayyan, dia berkata
ما كان من ربا وان زاد حتى يغبط صاحبه فا ن الله يمحقه
“Apa yang berasal dari riba meskipun bertambah banyak hingga orang-orang iri terhadap pelakunya, sesungguhnya Allah akan memusnahkannya”[3]
Pernyataan ini berasal dari hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad Hasan dari Nabi SAW
ان الربا وان كثر عاقبته الى قل
“Sesungguhnya riba meski sangat banyak akhirnya akan kembali sedikit”[4]

B.     MENIMBUN BARANG
Akan tetapi sekedar membawa makanan ketempat tinggal tidak berkonsekwensi penimbunan menurut pengertian syar’I. Sebab dalam pengertian syariat menimbun adalah menahan barang dan tidak menjualnya serta menunggu hingga harganya melonjak, padahal kebutuhan dia sudah terpenuhi tanpa barang itu, sementara orang-orang membutuhkannya. Demikian penafsiran yang dikemukakan Imam Malik dari Abu Az Zinad, dari Sa’id bin Al Musayyab.[5]
Imam Malik berkata tentang seseorang yang mengangkat makanan dari tempat dimana ia disia-siakan dan dibawa kerumahnya “Ini bukan termasuk menimbun barang” sementara itu, dari Imam Ahmad dinukil pendapat bahwa yang diharamkan adalah menimbun bahan makanan pokok.
لا يحتكر الا خاطئ
“tidak akan melakukan penimbunan kecuali orang yang melakukan dosa”[6]
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim
Sehubungan dengan celaan melakukan penimbunan ini, telah disebutkan sejumlah hadits diantara hadits Ma’mar yang telah disebutkan dan hadits Umar dari Nabi SAW
من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله با لجذام والافلاس
“Barang siapa menimbun kebutuhan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya”[7]
Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Majah dengan sanad yang Hasan.

C.    ETIKA MU’AMALAH
Disebutkan dalam kitab Sunan dari Hadits Qais bin Abu Gharzah, dari Nabi SAW
يا معشر التجار ان البيع يحضره اللغو والحلف فشوبوه بالصدقة
“wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli dihadiri oleh perkataan sia-sia dan sumpah, maka liputilah ia dengan kejujuran”[8]
Apabila sumpah itu dusta, maka haram hukumnya sedangkan apabila sumpah itu benar dan jujur, maka hukumnya pun makruh.
ان رجلا ذكر للنبى صلى الله عليه وسلم انه يخدع فى البيوع فقال : اذا بايعت فقل :
لا خلابة
“Bahwasanya seorang laki-laki bercerita kepada Nabi SAW bahwa dia ditipu orang dalam jual beli. Maka Nabi bersabda : “Apabila engkau berjual-beli, maka katakan,”tidak boleh ada penipuan”[9]
Hadits ini diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf yang mengkhabarkan dari Imam Malik dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar RA.

DAFTAR PUSTAKA

Asqolani, Ibnu Hajar. 2009. Fathul Baari Syarkh Shohihul Bukhori Jilid Awwal. Lebanon: Dar Kutub Al Ilmiyah




[1] Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Fathul Baari Syarkh Shohihul Bukhori Jilid Awwal (Lebanon: Dar Kutub Al Ilmiyah 2009), Hal. 1094.
[2] Ibid.
[3] Ibid., Hal. 1095.
[4] Ibid.
[5] Ibid., 1108
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., 1095
[9] Ibid., 1104

ISLAMISASI ILMU

Pengertian
Islamisasi ilmu pengetahuan adalah wacana yang cukup ramai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of  Knowledge”. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini, mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an. Pada tahap perkembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi.
Islamization atau dalam bahasa Indonesia menjadi ISLAMISASI secara sederhana dapat dimengerti adalah Pengislaman.[1]
Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang digagas oleh Sayyed Muhammad Naquib al-Attas mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat[2], khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar yakni ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler.
Al-Attas menyerukan bahwa peradaban Islam dibangun atas dasar ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Adapun, kemunduran ummat Islam yang terjadi secara beruntun sejak beberapa abad belakangan ini, disebabkan oleh kerancuan ilmu (corruption of knowledge) dan lemahnya penguasaan ummat terhadap ilmu pengetahuan. Karena kerancuan ilmu dan penguasaan terhadap ilmu lah maka ummat Islam menghadapi berbagai masalah dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pandangan ini berbeda secara mendasar dari pendapat-pendapat yang bersifat umum yang mengatakan bahwa kemunduran ummat Islam disebabkan oleh kekalahan politik, lemahnya ekonomi, rusaknya budaya atau rendahnya mutu pendidikan, yang sebenarnya hanyalah merupakan bola salju dari problem ilmu pengetahuan.
Al-Attas menekankan akan perlunya islamisasi ilmu. Sebab, saat ini telah terjadi Westernisasi (pembaratan) ilmu pengetahuan oleh Barat. Sedang epistimologi yang dibangun oleh konsep ilmu ini sangat merugikan Islam dan kaum muslimin. Westernisasi ilmu itu telah mengeyampingkan wahyu sebagai sumber ilmu.
Dampak ilmu pengetahuan sekuler ini seperti;
Hilangnya Adab (desacralization of knowledge) dalam masyarakat dengan  menyamaratakan setiap orang dengan dirinya dalam hal pikiran dan perilaku.
Penghilangan otoritas resmi dan hirarki sosial dan keilmuan.Mengkritik ulama dimasa lalu yang banyak memberi kontribusi kepada ilmu pengetahuan Islam.
Hilangnya Adab berimplikasi pada hilangnya sikap adil dan kebingunan intelektual (intellectual confusion).
Tidak-mampu membedakan antarailmu yang benar dari ilmu yang dirasuki oleh pandangan hidup Barat.
Menurut Kuntowijoyo Islamisasi Ilmu pengetahuan sangat signifikan dalam menjawab persoalan yang selama ini dirasakan dunia pendidikan, yakni munculnya dualism antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Dualisme ini sangat mencolok yakni dengan munculnya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum.[3]
Islamisasi Ilmu dapat diwujudkan dengan melakukan upaya-upaya yang mengarah kepada merelevankan dan mensintesakan antara Islam dengan Ilmu pengetahuan modern. Dalam pandangan Ziauddin Sardar yang pertama kali harus diperhatikan adalah pandangan dunia Islam (Islamic World View) yakni membangun epistemology Islam yang didasarkan pada al Quran dan al Hadits dengan memahami perkembangan kontemporer. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan system Islam yang berbeda dengan system barat.
Dalam Islam pencarian pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pemikiran moralitas. Ilmu berkembang melalui perantara Tauhid, pengetahuan dicari guna mengagungkan Allah dan memenuhi tanggung jawab manusia atas kepercayaannya. Orang-orang yang berilmu mencari ilmu pengetahuan harus meyakini ke-Esaan Tuhan sehingga bisa menumbuhkan akhlak mulia dan pemiliki ilmu dapat memanfaatkannya untuk keperluan yang sejalan dengan nilai-nilai moral.
Berbeda dengan yang di atas yang setuju dengan Islamisasi Ilmu. Menurut Faziur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan kare­na tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, Bagi Faziur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertang­gung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.
Pada “zaman pertengahan,” Islamis­asi telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fa­khruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yu­nani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dan filsafat Yunani kuno yang diteri­ma dan ada juga yang ditolak. Ringkasnya, gagasan Islamisasi ilmu kontemporer yang diformulasikan Sayyed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu “revolusi epistemologis” yang meru­pakan merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Islami
Secara sederhana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan islami menurut Mulyanto adalah sebagai berikut :
Ilmu pengetahuan tidaklah diabdikan melulu pada praksis tanpa dihambakan pada tujuan-tujuan memahami eksistensi hakiki alam dan manusia. Ilmu pengetahuan dikembangkan kearah dicapainya terus menerus pengertian yang lebih baik, bahwa Allahlah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, yang dengan ilmu itu pengetahuan menghantarkan umat kepada peningkatan keimanan.
Membebaskan keterjeratan ilmu pengetahuan dari sekularisme. Dengan demikian tidak ada lagi kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Yang ada hanyalah kebenaran tunggal, kebenaran ilmiah sekaligus sekaligus kebenaran relijius. Dengan prinsip ini kompromi yang terus menerus antara hasil-hasil ilmu pengetahuan dan hasil-hasil interpretasi atas wahyu menyatu dalam konsesus kebenaran tunggal yang tidak member pertentangan. Interpretasi wahyu mengenai realitas mendapat batu uji melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan.
Menjadikan Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian kedua seumber ilmu pengetahuan baik fenomena alam maupun al quran mempunyai kedudukan sama. Prinsip ini menopang prinsip yang kedua karena ayat-ayat Allah selalu benar, maka tidak ada kontradiksi diantara keduanya (wahyu dan alam).[4]

Islamization of Knowledge sebagai refleksi hidup
Proses pembentukan pandangan hidup sejalan dengan proses pembentukanelemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup itu. Wahyu menjadi dasar  bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudut pandang rasionalisme dan empirisisme. Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya,sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.
Langkah awal islamisasi ilmu adalah dengan mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang terbentuk oleh budaya dan peradaban Barat, dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Namun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diislamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori.
Prosesnya adalah mengisolir metode-metode, konsep-konsep, teori-teorinya, dan simbol-simbol ilmu modern; Aspek-aspek empiris dan rasional, dan aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika; Teorinya tentang alam semesta;Pemikirannya tentang eksistensi dunia nyata, Klasifikasinya tentang ilmu; batasan- batasannya dan kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu lain, dan hubungan sosialnya.
Adapun langkah keduanya adalah memasukkan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Konsep-konsep dasar Islam itu diantaranya adalah konsep :
Din (agama)
konsep manusia (insan)
konsep ilmu (ilm dan ma’rifah)
konsep keadilan (adl )
konsep amal yang benar (amal sebagai adab)
dan semua istilah dan konsep yang berhubungan dengan itu semua.
Serta konsep tentang universitas (kulliyah, jami’ah) yang berfungsi sebagai bentuk implementasi semua konsep-konsep itu dan menjadi model sistim pendidikan.
                Jika kedua proses tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia dari magic, mitologi, animisme, tradisi budaya nasional yang bertentangan dengan Islam.
Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi,makna dan ungkapan sekuler.





DAFTAR PUSTAKA
Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesian Dictonary, (Jakarta ; Modern English Press, 2000)
Sayyed Muhammad Naquib al Attas, Islam and Sekularisme (Kuala Lumpur ; ISTAC, edisi kedua, 1993)
Kuntowijoyo. Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung; Mizan)
Mulyanto “Islamisasi ilmu pengetahuan” dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta ; PT Gidesinde. 2000)



[1] Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesian Dictonary, (Jakarta ; Modern English Press, 2000) hlm 771
[2] Sayyed Muhammad Naquib al Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur ; ISTAC, edisi kedua, 1993) hlm 133-135
[3] Kuntowijoyo. Paradigma Islam ; Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung; Mizan) hlm 345
[4] Lihat Mulyanto “Islamisasi ilmu pengetahuan” dalam Moeflih Hasbullah, Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta ; PT Gidesinde. 2000) hlm 27-29.

ILMU MAJAZ AL HADITS

A.    Pengertian Majaz al Hadits
Majaz secara etimologis, berasal dari kata Jaza al Syai’a Yajuzuhu (seseorang telah melewti sesuatu, maka dia terlewatinya), yakni kata yang dialihkan dari makna asalnya kemudian digunakan untuk menunjukkan makna yang lain yang mempunyai kesesuaian dari makna asalnya.[1]
Sedangkan secara terminologis, al jahiz mendefinisikan majaz adalah sebagai kebalikan dari ungkapan hakiki yaitu sebagaimana pernyataannya;
“ Majaz adalah lafad yang diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya karena adanya perluasan makna dari ahli bahasa”.[2]
Maka definisi yang diberikan oleh al jahiz di atas memberikan konsekuensi bahwa dalam majaz berlaku adanya penambahan dan perluasan makna, sejalan dengan al Jahiz,  ibnu Jinni juga mendefinisikan majaz sebagai kebalikan dari ugkapan hakiki dalam arti bahwa ungkapan hakiki adalah ungkapan yang pokok sdangkan ungkapan majazi adalah cabang darinya.[3]
Sedangkan pengertian majaz di kalangan lughowiyyin dan balaghiyyin lebih banyak variasi dan macam-macam majaz karena mereka membagi pengertia majaz berdasarkan alaqohnya (keterkaitan maknanya) ketika mengalihkan makna hakiki ke makna majazi sebagaimana, ditegaskan oleh Ahmad al Hasyimi adalah:
“Lafad yang diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya dalam percakapan karena adanya alaqoh (keterkaitan makna) serta qorinah (indikator) yang menghalangi untuk dimaknai sebagaimana makna aslinya”.[4]
Dari beberapa definisi mengenai majaz di atas dapat ditarik pengertian bahwa majaz adalah pengunaan kata tidak pada makna aslinya karena adanya alasan yang menyertainya.
Sedangkan secara sederhana dapat dipahami hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi setelah kenabian baik berupa ucapan (qoul), perilaku (fi’il), sifat maupun ketetapan (taqrir).[5]
Dari kedua kata ini, kemudian dijadikan dalam bentuk idhofah yaitu majaz al hadits yang dapat didefinisikan bahwa majaz al hadits atau ilmu majaz al hadits adalah ilmu yang mengkaji tentang redaksi hadits yang tidak digunakan sebagaimana makna aslinya karena adanya alasan yang mengharuskan dimaknai tidak sebagaimana makna aslinya.
B.     Sebab-sebab terjadinya Majaz al Hadits
Bahasa yang digunakan dalam hadits Nabi jelas adalah bahasa arab yang dalam bahasa arab itu  sendiri banyak terdapat  ungkapan majaz, bahkan tidak hanya bahasa arab, namun bahasa apa saja banyak menggunakan ungkapan majaz, maka dalam mengalihkan makna hakiki ke makna majazi dalam hadits Nabi sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan yang menjadi sebab terjadinya majaz dalam bahasa arab itu sendiri.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Jinni secara sederhana ada tiga alasan mengalihan makna hakiki ke makna majazi yakni
-          Adanya ittisa’ (perluasan makna) .
-          Adanya ta’kid (penguatan makna).
-          Adanya tasybih (penyerupaan makna).
Sedangkan ahli bahasa menjelaskan secara global sebab terjadinya pengalihan makna hakiki ke makna majazi. Sebab-sebab tersebut antara lain:
-          Jika diungkapkan dengan umgkapan hakiki terasa berat karena mengandung konotasi yang berlebihan sehingga perlu digunakan kata-kata yang lebih ringan untuk diucapkan.
-          Penggunaan ungkapan hakiki mempunyai konotasi yang rendah dan tidak sopan.
-          Penggunaan majaz adalah sebuah keniscayaan terjadinya ungkapan yang indah yang tidak dapat diungkapkan dalam bentuk hakiki seperti dalam syair-syair.
-          Penggunaan ungkapan majaz adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara.
Ibrahim Anis juga telah menambahkan arti penting sebab terjadinya majaz antara lain :
-          Penjelasan makna, penggunaan ungkapan majaz merupakan bentuk penjelasan makna yang abstrak menjadi makna dalm bentuk yang kongkrit, sehingga orang yang mendengarkannya mudah menangkap dan memahami makna yang disampaikan dalam bentuk majaz. Seperti kata “ Rojulun Katsrotu ar Romad” (orang yang banyak abunya). Untuk menggambarkan “orang yang mulia” yang masih abstrak kemudian dijelaskan dengan kata-kata yang kongkrit yang masih mempunyai keterkaitan dengan kata Katsrotu ar Romad, dengan adanya keterkaitan bahwa orang yang banyak abunya berarti dia banyak masak dan orang yang banyak masak dia adalah orang yang banyak menjamu tamu. Dengan banyak menjamu tamu maka dia termasuk orang yang mulia.
-          Penggunaan majaz merupakan peningkatan intelektualitas manusia yang terus berkembang, semakin berkembang intelektual manusia maka hal-hal yang masih bersifat abstrak tidak bisa menggambarkan makna yang lebih jelas, sehingga selalu menuntut adanya perluasan makna.[6]
Berdasarkan pemaparan sebabsebab terjadinya majaz diatas adalah suatu bukti bahwa terjadinya  majaz dalam bahasa adalah suatu keniscayaan. Begitu pula dengan hadits  Nabi bahasa yang digunakan adalah bahasa arab yang banyak mengandung majaz, maka sebab-sebab terjadinya majaz dalam bahasa adalah sama halnya dengan yang terjadi terhadap hadits Nabi yang juga menggunakan bahasa arab.
Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang paling fasih dalam bertutur, orang yang jelas dalam berargumen, lahjahnya yang jelas, serta mempunyai gaya bicara yang mempunyai nilai sastra yang tinggi, maka tidak heran jika Nabi menggunakan ungkapan-ungkapan jawami’ alkalim maupun ungkapan simbolik (ramzi),[7]yang didalamnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan dalam hadits dengan ungkapan majazi, namun demikian perlu digarisbawahi bahwa Nabi juga faham sekali dengan siapa beliau berbicara, dalam arti beliaupun menyesuaikan dengan kemampuan akal mukhotob (sahabat) sehingga mukhotob pun dapat memahami apa yang disampaikan oleh Nabi. Jika diantara sahabat ada yang tidak paham adalah karena perbedaan daya tangkap diantara mereka bukan karena Nabi yang salah menyampaikan ungkapan beliau.
Penggunaan ungkapan majazi dalam Hadits yang disampaikan Nabi juga karena Nabi sangat paham dengan bahasa arab itu sendiri. Dalam sejarah dikatakan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang sangat erat kaitannya dengan syi’ir-syi’ir pra Islam, sedangkan majaz sendiri adalah bagian sulit dilepaskan dalam mengungkapkan gaya bahasa dalam syi’ir, dalam artian syi’ir tanpa adanya majaz tidak akan terasa keindahan bahasanya karena majaz adalah sebuah Tasybih dan bentuk symbol-simbol yang dipinjam untuk mengungkapkan ungkapan hakiki dengan bentuk tertentu dalam syi’ir arab. Melihat hal ini maka Nabi sebetulnya paham sekali bahwa ungkapan Nabi yang mengandung majaz adalah bukan hal yang asing bagi orang arab.
C.    Contoh Majaz al Hadits


Artinya :
“Nabi SAW. bersabda : Ingatlah bahwa sesungguhnya iman adalah Yaman dan hikmah adalah Yamaniyyah dan aku mendapatkan “nafas “ Tuhan kalian dari Yaman.”
Menurut Syarif  Ridlo, hadits di atas mengandung majaz, selebihnya ia menyatakan:
“Hadits di atas mengandung majaz, karena yang dimaksud oleh Nabi adalah bahwa pertolongan Allah datang dari “kabilah” Yaman (kaum Anshor) yang menjadi perantara atas pertolongan sehingga membuka jalan kesulitan mereka yang dianugerahkan Allah terhadap orang yang berjihad di jalan Allah, bukan Negara Yaman.”[8]
Dilihat dari pernyataan Syarif Ridlo di atas, dia mengatakan hadits Nabi yang mengandung majaz adalah dengan mengalihkan makna hadits tersebut ke makna majazi yakni yang dimaksud dengan “nafas dari Yaman” bukanlah Negara Yaman yang dapat memberikan pertolongan yang dianugerahkan Allah, melainkan yang dimaksud penduduk Yaman adalah (kaum Anshor) yang menjadi perantara atas pertolongan Allah terhadap orang-orang yang berjihad di jalan Allah.[9]
Disisi lain Ibnu Al Jauzi sebagaimana pendapatnya yang mengikuti Ibnu Qutaibah, melihat hadits diatas dari sisi lafad yang ghorib, dalam pemahaman beliau, memasukkan kajian ini kedalam kajian ghorib al hadits dengan melihat obyeknya pada kata-kata yang ghorib.
Kata yang ghorib yang terdapat dalam hadits di atas adalah kata “nafas” , terhadap hadits ini Ibnu Al Jauzi sebagaimana pendapat Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata nafas adalah pertolongan yang dianugerahkan Allah melalui kaum Anshor yang berada di daerah Yaman.[10]



Artinya:
Dari Anas RA dari Nabi SAW tentang hadits yang diriwayatkan Nabi dari Allah, Allah berfirman : Jika seorang hamba mendekat kepadaku sejengkal, aku akan mendekat kepadanya sehasta dan jika dia mendekat kepadaku sehasta aku akan mendekat kepadanya se-depa, dan jika dia datang kepadaku sambil berjalan, aku akan datang kepadanya sambil berlari.”
Syarif Ridlo mengatakan bahwa hadits diatas mengandung majaz, selanjutnya dia mengatakan :
“ Hadits ini mengandung majaz karena yang dimaksud dari hadits diatas adalah perbuatan baik yang sedikit akan dibalas Allah dengan kebaikan yang lebih besar, hanya saja Nabi “taqorrub” sebagai ungkapan yang berarti memberikan pahala, bukan sebagai makna aslinya, sehingga seakan-akan Tuhan mendekat kepada orang-orang yang berbuat sesuatu yang berpahala dengan cara menggunakan ungkapan majaz dan perluasan makna. Adapun bunyi hadits selanjutnya “dan barang siapa yang datang kepadaku berjalan maka aku akan mendatanginya dengan berlari” maksudnya adalah barang siapa yang beruat taat kepada Allah walaupun degan cara yang sangat lambat maka Allah akan membalasnya dengan sangat cepat tanpa ditunda-tunda. Datang dengan berjalan adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang lamban, sedangkan datang dengan berlari adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang cepat, ungkapan majazi seperti ini memang sering digunakan Nabi untuk mengungkapkan perbuatan Tuhan yang sangat agung terhadap hambanya, walaupun terkadang pahala yang danugerahkanNya tidak harus datang sekali itu juga tapi terkadang ditunda atas kehendakNya.”[11]
Sedangkan dilihat dari pemaparan di atas objek kajian antara Ghorib al Hadits dan Majaz al Hadits bisa sama juga bisa berbeda. Objek kajian Ghorib al Hadits adalah kata sedangkan majaz al hadits adalah bisa kata dan bisa keseluruhan redaksi hadits. Begitu juga cara penyelesaiannya juga menuntut cara yang berbeda walaupun kajian haditsnya sama persis.
D.    Kedudukan Ilmu Majaz al Hadits
Banyak sekali upaya ulama’ untuk membuktikan kualitas hadits dari segi matannya, karena jika matan tidak shohih maka hadits belum dapat dikatakan shohih, untuk membuktikan kualitas matan hadits salah satunya adalah dengan pendekatan bahasa.
Menurut Yusuf Qordlowi bahwa terburu-buru menolak hadist yang sulit dipahami, padahal hadits tersebut shohih adalah suatu kesalahan, karena sebetulnya hadits yang sulit dipahami bisa didekati dengan makna majazi, sehingga kesulitan tersebut menjadi hilang, bahkan memahami secara majazi adalah sebuah keharusan jika terdapat alasan yang kuat yang mengharuskan dimaknai majazi[12].
Berdasarkan pemaparan diatas, maka kedudukan ilmu majaz alhadits dalam ilmu hadits adalah sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang matan hadits, dilihat dari aspek bahasa, terutama dalam hal pentakwilan hadits yang pada saat tertentu tidak dapat dimaknai secara hakiki.
Dilihat dari aspek kualitas hadits, ilmu majaz al hadits adalah salah satu aspek yang mengkaji kualitas matan hadits dari segi bahasa, karena fenomena bahasa yang digunakan oleh Nabi banyak yang menggunakan ungkapan ungkapan majazi, yang sulit dipahami jika tidak dilihat dari aspek bahasa, dengan mengalihkan makna hakiki ke makna majazi, akibatnya kualitas matan hadits tersebut menjadi diragukan hanya karena sulit dipahami, sebetulnya secara majazi matan hadits tersebut dapat dipahami dan diterima kualitasnya.



















DAFTAR PUSTAKA
Hasyimi, Sayyid ahmad. 2000. Jawahirul Balaghoh fil Ma’ani wal Bayan wal Badi, Beirut: Darul Fikr.
Ismail, M. Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press.
Iwad, Haidar farid. 2005. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa Tatbiqiyyah, Mesir: Maktabatul Adab.
Jauzi, Ibnu. Ghoribul Hadits, Jilid II, Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah.
Khotib, M. Ajjaj. 2006. Ushul Hadis Ulumuhu wa Mustholahahu,Beirut: Darul Fikr.
Qordlowi, Yusuf. 2007. Pengantar Study Hadits, terj. Agus Suryadi Rahayusun. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ridlo, Al Syarif . al Majazat al Nabawiyah, Mesir: Muassasah al Halaby.



[1] Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’ (Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 253.
[2] Haidar farid iwad. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa tatbiqiyyah (Mesir: Maktabatul Adab, 2005), hlm. 61.
[3] Ibid., hlm. 60.
[4] Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’(Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 253.
[5] M. Ajjaj al Khotib, Ushul Hadis Ulumuhu wa Mustholahahu (Beirut: Darul Fikr, 2006), hlm. 19.
[6] Haidar farid iwad. Ilmu Dalalah Dirosah Nazriyyah wa tatbiqiyyah (Mesir: Maktabatul Adab, 2005), hlm. 65-66.
[7] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 9.
[8] Al Syarif al Ridlo, al Majazat al Nabawiyah (Mesir: Muassasah al Halaby), hlm56.
[9] Sayyid ahmad al hasyimi, jawahirul balaghoh fil ma’ani wal bayan wal badi’(Beirut: Darul Fikr, 2000), hlm. 254-255.
[10] Ibnu Al Jauzi, Ghoribul Hadits, Jilid II (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah), hlm 425.
[11]  Al Syarif al Ridlo, al Majazat al Nabawiyah (Mesir: Muassasah al Halaby), hlm. 371-372.
[12] Yusuf Qordlowi, Pengantar Study Hadits, terj. Agus SuryadiRahayusun (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 141-142.