BAB l
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hasan
Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia,
terutama yang gemar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya
ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur
Rahman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed
Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hasan Hanafi
merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikir Islam yang lain, pemikirannya lebih
mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Dalam
golongan intelektual Hasan Hanafi dikategorikan sebagai sosok intelektual yang
bersifat kritis. Dalam kebangkitan Islam bagi Hasan Hanafi adalah kebangkitan
rasionalisme dan menghidupkan kembali khasanah klasik, melakukan wacana
perlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis realitis dunia Islam.
Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.
Dalam membaca
pemikiran Hasan Hanafi, yang terasa adalah adanya gugatan terhadap tradisi lama
Islam. Gugatan tersebut bukan hanya terhadap tradisi paradigma klasik dalam
ushuluddin tetapi juga terhadap terdisi dan konvensi teknis dikalangan
muttakalimun dalam pembahasan ilmu ini. Bahwa menurut Hasan Hanafi ulama klasik
dalam mukadimahnya, telah memperlihatkan pembahasan keimanan pada pendahuluan
hingga seakan-akan merupakan kesimpulan. Sedangkan pembahasan diantara
mukadimah dan kesimpulan merupakan sesuatu yang tidak berarti. Sebenarnya
ungkapan muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan
dalil-dalil, menyia-nyiakan keilmuan, lebih-lebih jika keimanan kita hendak
tidak diterapkan. Keimanan kami adalah tradisi dan modernisasi dan pemecahan
terhadap krisis modernitas yang menengok warisan Islam klasik, serta mencari
kemungkinan untuk merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik guna
memberikan sesuatu yang baru bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Hassan Hanafi?
2. Bagaimana sejarah munculnya
pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi?
3. Apa saja pemikiran-pemikiran
teologi revolusioner Hassan Hanafi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui biografi Hassan Hanafi.
2. Mengetahui sejarah munculnya
pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi.
3. Mengetahui beberapa
pemikiran-pemikiran teologi revolusioner Hassan Hanafi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Hassan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo,
tepatnya di sekitar tembok Benteng Shalahuddin daerah yang tidak terlalu jauh
dari perkampungan Al Azhar, sebagaimana diketahui, kota itu tempat bertemunya
para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar khususnya di Al
Azhar. Beliau terlahir dari keluarga musisi. Akan tetapi sejak kecil
Hanafi dihadapkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang pahit,
karena dominasi kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik asing yang
lain. Ketika beliau berumur 13 tahun, ia pernah mendaftarkan diri sebagai suka
relawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Karena dianggap usianya masih
muda, ia ditolak oleh gerakan pemuda muslimin. Disamping itu, ia dianggap bukan
kelompok mereka. Hanafi kecewa dan sadar di negaranya telah terjadi problem
tentang ancaman persatuan umat yang lemah.
Pada tahun 1951, ketika masih duduk dibangku sekolah menengah atas,
ia terlibat dalam perang urat saraf dengan Inggris di Terusan Suez. Di sana, ia
menyaksikan para Syuhada. Bersama-sama dengan para mahasiswa, ia telah
memberanikan diri untuk membantu gerakan revolusi pada akhir 40-an, gerakan
revolusi tersebut meletus pada tahun 1952. Pada tahun itu pula ia
tertarik untuk masuk ke dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, atas saran pemuda
muslimin. Akan tetapi, di sana, terjadi perdebatan yang sama dengan sebelumnya.
Akhirnya mereka yang bergabung dalam organisasi itu menyarankan Hanafi agar
bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Namun, keadaan di dalamnya sama dengan
kedua organisasi sebelumnya.
Beliau adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih gelar Sarjana
Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar
Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris dengan disertasinya
berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode
Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Karya setebal
900 halaman itu mendapat penghargaan sebagai penulis karya ilmiah
terbaik Mesir pada tahun 1961. Karya tersebut merupakan upaya Hassan
Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh (Islamic Legal Teory) pada madzhab
filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl.
Pendidikan Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948,
kemudian dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang
diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif mengikuti
diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah
mengetahui pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan
aktifitas- aktifitas sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari
pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu,
ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan
sosial.
Di
dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis
(1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat
(1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko ( 1982-1984) dan
menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985).
Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang
(1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi
diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo. Aktifitas di
dunia akademik tersebut ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat.
Tercatat, Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat
Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan
Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat
Filsafat Arab.
Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa.
Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi
penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al- Islami. Pemikiran yang terkenal dengan
al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat,
yang memasukkannya ke dalam penjara. (Moh. Nurhakim,2003: 8-9).
2.2 Sejarah Munculnya Pemkiran Hassan Hanafi
Pada
tahun 1952-1956 Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk mendalami bidang
filsafat. Tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara gerakan ikhwan dan
gerakan revolusi. Ia berada dipihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan
Nasser, karena yang pertama mempunyai komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Hanafi mulai optimis setelah Nasser berhasil menasionalisasikan suez dan
berubah menjadi pahlawan nasional. Peristiwa demi peristiwa yang dia alami
selama dikampus telah membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu,
dan revormis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat islam
selalu mudah dikalahkan dan mengapa konflik internal dikalangan mereka terus
terjadi.
Dalam keprihatinan semacam itu, hanafi beruntung memperoleh
kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun 1956-1966.
Keberuntungannya disini bukan karena ia berhasil melarikan diri dari situasi
sulit di negerinya, akan tetapi ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk
mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh
negerinya dan sekaligus ia mulai merumuskan jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia
akui, di Prancis ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah
maupun bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang
pemiir reformis katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan,
dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan analisis
kesadaran dari Husserl.
Sepulangnya dari Prancis pada tahun 1966, semangat Hanafi untuk
meneruskan tulisannya tentang pembaharuan peemikiran islam sangat tinggi. Akan
tetapi, kekalahan Mesir melawan Israel tahun 1967 membalik niatnya tersebut.
Kemudian, ia ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat
Nasionalisme. Karena itu, ia memanfaatkan media masa sebagai corong
perjuangannya. Ia menulis artikel-artikel untuk menanggapi masalah-masalah
actual untuk melacak faktor kelemahan umat islam. Disini, terlihat
Hanafi ingin menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan.
Artinya, sebagai seorang pemikir dan cendekiawan, ia sangat peka terhadap
persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Pada tahun yang terakhir tersebut, ia terkena suatu permasalahan
dengan pemerintah sehingga ia diminta untuk memilih, antara berhenti dari
aktifitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua.
Sepulang dari Amerika ia berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan
pemikiran islam yang telah lama tertunda. Pengalaman itulah antara lain, yang
mempertajam pemikirannya dan mendorong dirinya untuk memanfaatkan sisa umurnya
untuk menulis dan menyelesaikan problem yang sedang dihadapai oleh dunia Islam.
Disini, terlihat bahwa disamping sebagai pemikiran pembaru, ia juga cendekiawan
yang mempunyai perhatian besar terhadap persoalan umat, bahkan, ia banyak
terlihat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan.(Moh.Nurhakim,2003:9-10)
2.3 Pemikiran-pemikiran teologi revolusioner Hasan Hanafi.
2.3.1 Modernisme
Modernisme
adalah sebuah pemberontakan terhadap tradisi masa lampau, yang terdiri atas
tradisi masa lalu dan masa kini, guna menciptakan sebentuk tradisi baru. Saat
ini, Modernisme dalam Ilmu Pengetahuan, Peradaban, Filsafat, Metodologi, Sosial
dan Ekonomi tidak memiliki batas-batas geografis, atau paling tidak, ia
merupakan term yang tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi dalam satu wilayah
geografis dimuka bumi ini. Modernisme saat ini adalah Modernisme agresif total,
sehingga kalau anda tidak segera mengantisipasinya, atau bekerja keras untuk
memberikan kontribusi karya didalamnya, atau paling sedikitnya,untuk mengetahui
proses keberlanjutannya dalam kenyataan dan privasi anda, maka anda akan
disingkirkan olehnya, atau digusur oleh kenyataan anda sendiri, atau
dipinggirkan dan diposisikan di wilayah marginal di luar area masa kini dan
area masa yang akan datang, dengan merenungkan masa lampau, atau bahkan
menjerumuskan anda ke dalam masa lampau tersebut.
Hal
ini tidak serta merta menunjukkan bahwa kita harus menentang tradisi yang telah
kita miliki serta menghadirkan diri kita sebagai sebuah totalitas dalam
Peradaban Kontemporer, sehingga seolah-olah kita adalah makhluk yang tidak
memiliki tradisi. Tentu tidak! Sesungguhnya peletakan dasar-dasar modernism bgi
kita dan dalam lingkungan kita dapat dicapai dengan resistemisasi atas tradisi
kita dan rekonstruksi hubungan kita dengannya dalam bentuk modern. Modernisme
dimulai dengan penguasaan dan kepemilikan terhadap tradisi, karena hanya itulah
jalan satu-satunya untuk menyambung banyak jalur yang terputus dengannya,
termasuk untuk mewujudkan proyeksi jauh ke depan menuju formulasi tradisi baru
yang kita bentuk, yakni sebuah tradisi baru yang bersifat praktis, berhubungan
dengan tradisi masa lampau dari segi identitas dan tipikalitas
karakteristiknya, serta terpisah dengan masa lampau itu dari segi totalitas dan
universalitasnya.(Hassan hanafi, 1990: 113-114)
2.3.2 Sekularisme dan islam
Al-‘ilmaniyyah adalah term yang diarabkan dan bukan kata asli dari
arab. Kata tersebut menjadi sinonim dari Sekularisme, yang berasal dari bahasa
latin ”Saeculum”. Artinya adalah masa (Al-‘ashr). Kata ini berasal dari
peradaban barat.(Hasan Hanafi,1990:68). Yang untuk selanjutnya golongan yang
menjunjung sekularisme ini pada gilirannya adalah menjadi lawan dari golongan
yang fundamentalis (memegang pondasi/dasar pemikiran), dimana golongan
fundamentalis adalah golongan yang menolak pengaruh dari luar yang datang, baik
secara menyeluruh maupun yang dari tingkat yang sangat detail.
Di Barat, term ini menunjukkan pemisahan antara gereja dan negara
atau antara otoritas religius dan otoritas politik. Di Eropa sendiri terjadi
pertentangan antara para Pope di Roma, uskup dan para raja. Pertentangan ini
semula dimenangkan oleh para Pope tetapi kemudian kemenangan itu berpindah
tangan pada para raja setelah terjadinya revolusi prancis “ Asyniqu akhir malik
bi am’ai akhir qissis” (Ikatlah raja terakhir itu dengan usus uskup terkhir).
Selanjutnya kembali pada sabda Isa Al Masih “ Berikan apa yang menjadi milik
raja kepadanya dan apa yang manjadi milik Allah kepadaNya” (Hasan
Hanafi,1990:68-69), berangkat dari pernyataan ini maka solusi yang
ditawarkan dan sekarang telah terjadi adalah pemisahan antara dua otoritas yang
keduanya pernah mengalami kemenangan yaitu gereja untuk urusan agama dan negara
untuk dunia (Sekuler).
Dalam peradaban barat, Sekularisme menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari serta ditegakkan diatas undang-undang Eropa. Karena
dipisahkan kehidupan agama dan kehidupan dunia maka hukum-hukum yang dibuat pun
tidak berlandasaakan pada agama tapi pada pemikiran-pemikiran secara rasional
yang dikembangkan oleh yang berwenang membuat hukum-hukum. Karena terpisah pula
maka tidak ada agama resmi bagi negara, mereka menganggap semua agama sama jadi
tidak perlu ada pendominasian terhadap agama maka agama apapun bebas berkembang
tidak peduli agama ataupun kepercayaan, tidak ada persyaratan beragama bagi
seorang pemimpin negara sebagai salah satu persyaratan kemimpinan, tidak ada
hukum gereja yang mengatur hubungan antara individu, seperti hukum kelurga
(Al-Ahwal al-Syakhshiyyah) atau hukum kriminal (Jinayah) sebagai contoh jika
ada pencuri yang ketahuan pebuatannya maka sanksi yang diberikan itu tidak
mengacu pada hukum-hukum agama dalam artian disini bahwa pihak negara sendiri
tanpa campur tangan pihak gereja yang notabene memegang doktrin-doktrin agama
gereja, yang selanjutnya produk dari sekukarisme ini adalah tidak ada
pengajaran-pengajaran agama di sekolah-sekolah serta tidak ada dakwah keagamaan
dalam berbagai media informasi.
Dengan itu, setelah kerajaan memenangkan otoritas atas gereja (para
Pope), maka gereja digunakan untuk kepentingan negara sehingga gereja
dimanfaatkan untuk mengantarkan penjajahan dan kolonialisme. Maka, penjajahan
itu selalu dihubungkan dengan misionari, demikian juga sebaliknya. Kemenangan
pertama bangsa-bangsa non Eropa tercapai dengan kecintaan terhadap barat
setelah hilangnya kecintaan mereka terhadap negara sendiri dan timbul perubahan
iman terhadap agama barat menjadi kecintaan secara politik.
Konsepsi peradaban barat itu mulai tersebar diantara kita dan
membuat kita mengerti diri kita dan membuat kita mengerti diri kita. Seperti
sekularisme dan liberalisme sehingga keduanya tersebar begitu mendarah dadging
diantara kita serta menjadi salah satu factor penyebab terjadinya modernisme di
Barat. Tetapi ketika modernisme, bangsa-bangsa di seluruh dunia dan perputaran
sejarah itu menjadi satu, maka tida diragukan lagi banyak penolakan dan
pembelaan yang mewujudkan kemajuan masyarakat tanpa memperhatikan beragam
karakteristik bangsa serta perputaran sejarah yang dilewati oleh masyarakat
tidak ada satu ideal menuju modernitas tersebut. Dan hal ini merupakan
kelemahan kita dalam menciptakan beragam cara untuk maju dari inspirasi
religius, rasional, tradisi bangsa dan khazanah historisnya.
Bagi gerakan islam, hal diatas diungkapkan dalam bentuk Sekularisme
dan menghubungkannya dengan westernisasi yang mengandung unsur kolonialisme dan
missionary serta berpegang teguh kepada agama islam yang menyatukan agama dan
dunia. Gerakan ini menjunjung tinggi slogan Al-Hakimiyyah (supremasi Hukum
Allah) sebagai penjelasan dari ayat “barang siapa yang tidak menempuh hukum
yang diturunkn oleh Allah maka mereka termasuk orang-orang yang kafir. Karena
orang-orang kafir adalah yang menolak untuk beriman, orang fasik adalah orang
yang menerima iman hanya sebagai konsep dan menolak untuk mengamalkannya
dan orang yang merugi itu adalah orang yang tidak mengetahui kemaslahatan
dan dunia.(Hasan hanafi,1990:71)
Maka kesalahan pertama adalah transformasi model sekularisme barat,
dan sedikitnya reaksi yang munsul atas slogan Supremasi hukum Allah sebagai
kesalahan kedua. Menyatunya kedua kesalahan ini tidak menghadirkan solusi yang
tepat. Hambatannya bagi kita adalah bagaimana cara mewujudkan tujuan-tujuan
kelompok sekuler berupa kebebasan dan kemajuan yang diinginkan oleh masyarakat
disaat yang sama islam berusaha melaksanakan syariat islam sebagai upaya untuk
menghindari pemikiran dualistik antara dunia dan agama, amal dan
iman, atau antara syariah dan akidah?
Syariat islam adalah syariat positif ditegakkan berdasarkan
kemashlahatan umum yang dilihat dari dimensi primer (Dlaluriyyat), sekunder
(Hajiyat), tersier (Tahsinat). Dimensi primer ada lima macam yaitu menjaga
agama, kehidupan, akal, kehormatan diri dan harta benda. Semua dasar-dasar
kehidupan.(Hasan Hanafi,1990:72)
Agama adalah hakikat obyektif yang bebas dari segala nafsu manusia,
kehidupan manusia dilihat sebagai system nilai bagi dirinya sendiri, akal
dipandang sebagai sarana taklif dan pengendali indra, kemuliaan adalah sarana
bag manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan dan harta benda adalah alat untuk
memenuhi kebutuhan manusia serta menjamin keberlanjutan dan berlangsungnya
hidup mereka. Kelima kelompok primer ini dibela oleh para sekularis namun
mereka mengadopsi dari peradaban barat dan tidak bersumber pada syariat islam.
Para sekulerisme ini tidak menghiraukan sistem sanksi yang terdapat dalam
undang-undang kriminal yang sangat dibela dan dipertahankan oleh para pemuka
muslim sebagai reaksi untuk menolak para sekularisme yang pada hakikatnya
adalah sebuah prasangka sebagai hasil dari terpecah-pecahnya konsep
nasionalisme dan peperangan dengan saudara dan musuh-musuh sebagai akibat dari
pengkafiran terhadap berbagai golongan yang menjerumuskan kesadaran nasional.
Adapun dispensasi pelaksanaan syariah yang kapasitasnya digugat
oleh sekularisme merupakan sikap emosinal akibat tidak memahami ruh syariah.
Hal itu dilakukan hanya untuk melarang, mengebiri dan mengharamkan saja dan
tidak memandang dimensi kemanusiaan dan sensifitasnya terhadap fenomena aam
semesta. Hukum-hukum syariat yang berjumlah lima macam yakni, wajib, sunnah,
haram, makruh, dan mubah hanyalah mendiskripsikan stratifikasi perbuatan
alamiah manusia, sebagaimana ditempatkan oleh para sekuler di luar wilayah
halal dan haram yang terbentuk dan adopsi dari luar.
Syariah juga menentukan prinsip-prinsip umum dan menyimpulkan
disiplin fiqh. Prinsip-prinssip itu bersifat tetap sedangkan fiqh
senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan. Hukum
fiqh baru sebagai jawaban atas segala persoalan terhadap kondisi jaman, sebagai
jawaban atas kemaslahatan yang selalu berubah dari generasi ke generasi.
Yang membedakan Islam dengan sistem lainnya adalah sistem
kependetaan, otoritas religius, berbagai pandangan, emosi, iklim, hukum
kriminal, dan sistem sanksi sehingga hal itu menghancurkan manusia dan membuat
manusia berpaling pada sekulerisme model barat yang mencakup madzhab
Rasionalisme, Liberalisme, Kebebasan, demokrasi, dan Modernisme. Maka aib itu
ada dalam diri kita dan bukan pada orang lain, yakni dalam peniruan yang
dilakukan terhadap orang lain dan bukan pada kreatifitas orisinil.
2.3.3 Fundamentalisme
Istiah
fundamentalisme berasal dari bahasa inggris fundament yang dapat di
artikan dasar dari sesuatu atau sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata
fundamentalisme biasa diartikan idea atau gerakan yang mendasarkan diri pada
suatu gerakan yang mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang
diyakini paling dasar dan benar, seperti kitab suci bagi pemeluk suatu agama
atau dasar Negara (ideologi) bagi suatu bangsa.
Hasan
hanafi sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah fundamentalisme dalam
islam. Kata-kata “ushuliyyah Islamiyah” (fundamentalisme islam) diberi tanda
kutip sambil dijelaskan beberapa istilah lain yang berlaku di kalangan umat
islam. Di dalam pandangan dan pengalaman kaum muslimin merupakan respon atas
keadaan yang buruk dan upaya untuk bangkit. Namun demikian, hanafi merasa
terpaksa menggunakan istilah ushuliyah islamiyah (fundamentalisme islam)
sebagai judul buku, karena pertimbangan kalangan pembaca akademis di seluruh
dunia.
Lebih
lanjut, hanafi mendefinisikkan fundamentalisme dalam islam sebagai suatu
gerakan yang berusaha menegakkan dan merealisasikan syariat islam serta
membangun system yang islami dengan menolak system non-islam yang sedang
berlaku.
Gerakan
tersebut berusaha mendasarkan realitas kehidupan pada dasar islam, sebab
dasar-dasar yang lain dianggap tidak sah. Karena itu, jika ia di pergunakan
sebagai dasar maka realitas menjadi rusak seperti yang sedang berjalan saat
ini. Pengikut gerakan itu meyakini bahwa berbagai masalah yang timbul dewasa
ini di sebabkan manusia tidak menerapkan syariat Allah dengan sebenar-benarnya.
Maka, jika ingin masalah-masalah itu hilang, satu-satunya cara adalah dengan
menerapkan syariat Allah, meskipun realitas menolak. Bagi hanafi, gerakan itu
membuat analisis persoalan berdasarkan syariat yang bersifat ideal, bukan pada
realitas. Mereka menghendaki realitas mengikuti ideal syariat, bukan syariat
memperturutkan realitas. Di sinilah, letak gerakan semacam itu
disebut fundamentalisme. (Moh.Nur hakim,2003:148-149)
2.3.4 Liberalisme
Liberalisme adalah sistem terpanjang yang masuk ke dalam kehidupan
kita, khususnya di Mesir selama fajar kebangkitan Arab Modern setelah gerakan
Islam. Pelopornya adalah Al Tanththawi di Mesir dan Khairuddin Al Tunisi di
Tunisia. Mereka berkeinginan untuk mendirikan Negara modern seperti yang
diinginkan oleh filsafat pencerahan di Barat, seperti yang diungkapkan oleh La
Charte dalam revolusi Perancis. Untuk itu, Al Thahtawi menerjemahkannya sebagai
penegas ultimatum bagi Negara Nasionalis Modern. Liberalisme tidaklah menuntut
penghapusan system kerajaan dan kekhilafahan, namun menuntut system kerajaan
yang terikat pada undang-undang dan system parlemen yang dibangun di atas
multi-partai. Kebebasan Pers, urgensi ajaran nasional yang bebas dan
independen, tanggung jawab departemen di depan para wakil rakyat, kebebasan
berpendapat, berkumpul dan bekerja serta kebebasan berfikir dan menganut sebuah
kepercayaan.
Liberalisme telah memimpin sejumlah peperangan untuk membangun
Negara modern, sejumlah selokan dan saluran air, jembatan dan bendungan,
pendirian sekolah-sekolah dan universitas-universitas, penyebaran pengajaran
tanpa pembedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, serta
pembentukan semangat nasionalisme, yang independen. Maka meletuslah beberapa
revolusi nasional, seperti revolusi tahun 1919 di Mesir yang mengatas namakan
Liberalisme.(Hassan Hanafi,1990:95)
2.3.5 Pemikiran kalam Hassan Hanafi
A. Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasan Hassan hanafi tentang rekonstruksi teologi
tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual
kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang
terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika
inti keislaman sistem kepercayaan,yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil
dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan
doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks
sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan
diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu,
kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayan klasik,
harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan
modern (A.H. Ridwan,1998: hlm 14).
Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang
sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh di
persoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted.
Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan
falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis (A.H. Ridwan,1998: hlm 45).
Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideologi
yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim.
Kegagalan para teolog tradisional disebabakan oleh sikap para penysun teologi
yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal
praktisnya di kalangan
umat. B.
Rekonstruksi Teologi
Melihat kelemahan dari teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan
saran rekonstruksi teologi dengan tujuan menjadikan teologi tidak sekedar
dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang
pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi
secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia (A.H. Ridwan,1998: hlm
39).
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya di latar
belakangi oleh tiga hal berikut :
Pertama : kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di
tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
Kedua: pentingnya teologi baru ini bukan
semata-mata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan
praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah.
Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah
di negara-negara muslim.
Ketiga: kepentingan teologi yang bersifat
praktis(amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui
realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya ”teologi dunia”
yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam di bawah satu orde (A.H.
Ridwan,1998: hlm 50).
Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi salah satu cara yang
mesti di tempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang
konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-pertama
untuk mentransformasikan teologi menuju antropolgi, menjadikan teologi sebagai
wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif, maupun
kesejarahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
keseluruhan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hassan Hanafi adalah
seorang pemikir muslim modernis dari Mesir dan guru besar pada fakultas
filsafat Universitas Kairo. Dan pemikiran Hanafi meliputi bidang filsafat atau
pemikiran islam, kalaupun bicara masalah lain, seperti ekonomi dan politik, itu
hanya karena ia ingin menjelaskan persoalan yang sedang dihadapi oleh umat islam,
tetapi tetap berada dalam kerangka bidang filsafat.
Pemikiran
Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981,
ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal
ilmiah Al-Yasar al- Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami
sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke
dalam penjara.
Pemikiran-pemikiran
Hassan Hanafi meliputi berbagai aspek, yaitu :
· Modernisme
· Fundamentalisme
· Sekularisme
· Liberalisme,
dan
· Pemikiran
kalam Hassan Hanafi
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Hassan. Membunuh Setan Dunia, IRCiSoD: Yogyakarta.
2003
Prasetyo, Eko. Islam Kiri, Pustaka Pelajar Offsett:
Yogyakarta. 2002
http://id.wikipedia.org/wiki/pemikiran Hassan
Hanafi
Nurhakim, Moh. Islam Tradisi dan Reformasi, Bayumedia
Publishing: Jatim. 2003
Rozak, Abdul dan Rosihon,Anwar. Ilmu kalam.1998