Powered By Blogger

Minggu, 29 Desember 2013

Pemikiran Hadits Arent Jan Wensinck

Abstrak
Secara garis besar dapat dipahami bahwa tidak semua orientalis minat dengan kajian orientalis murni kea rah pendidikan akademik belaka, ada yang memang tidak atau bisa dikatakn kurang suka dengan Islam dan ingin mengatakan bahwa ajaran dalam Islam penuh dengan ajaran copi paste dari budaya-budaya agama sebelum Islam.
Dalam hal ini pembahasan tentang hadits, Goldziher dan penerusnya Josep Scacht sebagai penentang ajaran Islam atau sumber hukum Islam yang kedua ini mengatakan bahwa hadits adalah hasil rekaan ulama-ulama’ pada abad ke dua Hijriyah.
Kali ini seorang Arent Jan Wensinck yang seorang anak pendeta, murni mengkaji hadits karena keilmuan dan atas dorongan itulah dengan niatnya yang baik menjadikan beliau terdorong untuk bisa membuat sebuah Codex untuk hadits yakni Mu’jam Mufahros Li Alfadzi Hadits an Nabawiyah yang memuat semua hadits yang ada dalam Kutub As Sittah, dan ini merupakan sumbangan terbesar dalam bidang keilmuan hadits.

Kata Kunci : Orientalisme, Mu’jam, Wensinck









Pembahasan
       I.            Karir Inteletual A.J Wensinck
Arent Jan Wensinck dilahirkan pada 7 Agustus 1882 di Aarlanderveen, negeri Belanda bagian selatan. Ia lahir dari pasangan Johan Herman Wensinck, seorang pendeta di Gereja Protestan Belanda, dan Anna Sara Geertruida Vermeer. Wensinck lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Kristen Protestan yang taat. Ayahnya yang seorang pendeta sangat mempengaruhi kepribadiannya. Pengaruh ini tampak pada minat Wensinck muda yang mengikuti jejak ayahnya ingin menjadi pendeta. Oleh karena itu setelah lulus dari gymnasium[1] kota Amersfoort, Wensinck kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa teologi di Universitas Utrecht pada 1901.[2]
Tetapi setahun kemudian Wensinck mengubah minat studinya semula teologi, menjadi studi bahasa-bahasa Semit pada Fakultas Sastra di universitas yang sama di bawah bimbingan M.T. Houtsma (1850-1943). Tidak didapat informasi yang menjelaskan tentang perubahan minatnya ini. Sejak saat itu ia mencurahkan seluruh perhatian intelektualnya pada studi bahasa-bahasa tersebut. Perhatian seriusnya ini dibuktikannya dengan meraih predikat terpuji. Wensinck berhasil meraih gelar Litt. D (Doctor of literature: Doktor bidang kesastraan) bidang bahasa dan sastra Semit dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Mohammed en de Joden te Madina” di hadapan penguji C. Snouck Hurgronje.
Wensinck pernah memegang sejumlah jabatan di beberapa lembaga ilmiah dan proyek-proyek akademis internasional penting. Pada 10 Oktober 1917 Wensinck tercatat menjadi anggota Koninklijke Nederlanse Akademie van Wetenschapen (KNAW) hingga tahun 1938. Pada 6 Oktober 1933 ia diangkat menjadi salah satu dari lima orientalis anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Malaki, Kairo, Mesir. Tetapi, kurang dari empat bulan kemudian, pada 24 Januari 1934 Wensinck diberhentikan dari keanggotaan lembaga kerajaan Mesir tersebut atas tekanan dan protes kalangan Muslim ortodoks-radikal Mesir karena tulisan-tulisan kritis-konvensialnya dalam Da’irah al- Ma’arif al-Islamiyah.
Di samping itu, Wensinck juga terlibat dalam pengerjaan dua proyek ilmiah internasional, yakni penyusunan The Encyclopedia of Islam, lima volume edisi pertama (EI), edisi bahasa Inggris dan Perancis (1913-1938) sebagai editor dan sekaligus kontributor dan Concordance et Indices de Malik, le Musnad de Hanbal (Al-Mu’jam al- Mufahras fi Alfaz al-Hadis an-Nabawi). Wensinck juga pernah menjabat sebagai sekretaris Goeje Foundation dan, bahkan, pada 1928, menjabat rektor Universitas Leiden.
Pada tahun-tahun terakhirnya, Wensinck mencurahkan perhatiannya pada penelitian tentang Perjanjian Baru dalam latar belakang bahasa Agama dan aktif terlibat sebagai anggota dalam kegiatan liturgy Gereja Protestan Belanda pada 1939, beberapa saat sebelum meninggal. Setelah sekian lama menderita sakit, akhirnya Wensinck meninggal dunia pada 19 September 1939, dalam usia 57 tahun.
    II.            Pemikiran Arent Jan Wensinck
Karena pembahasan kali ini adalah mengenai studi hadits, kami akan mencoba menggambarkan pemikiran seorang orientalis bernama Arent Jan Wensinck dalam memandang hadits. Menurut Wensinck, urgensi studi hadits terletak pada fungsinya sebagai alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim dengan lebih mudah. Selain itu bagi Wensinck sendiri, sebagai seorang sarjana pengkaji sejarah Islam, fungsi hadits sebagai sumber utama sejarah Islam sangat penting. Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah Islam.
            Persoalan pertama tentang hadits yang menarik perhatian Wensinck adalah persoalan yang menyangkut bahwa apakah matan hadits berasal dari dalam ajaran Islam sendiri atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi di luar Islam. Dan,menurut Wensinck, sebagian hadits (untuk tidak menyebutkan semua) tidak otentik karena ia berasal dan diambil dari berbagai ajaran dan tradisi di luar Islam, yakni utamanya, Yahudi dan Kristen. Doktrin-doktrin Kristen telah menyusup secara besar besaran kedalam perkataan Nabi Muhammad saw. Tidak hanya ajaran-ajaran Kristen, hampir seluruh ajaran Yudaisme, terutama ajaran tentang eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki hadits.
Seperti yang diungkapkan Wensinck sendiri dalam karyanya The Importance of Tradition for Study of Islam :
Moslem tradition is however a term wich in Arabic is expressed not by one but by two words, hadith and sunna. The former denotes a communication or a tale in our case the oral or sribal translation of the saying or actions mentioned; the latter means "use" and "tradition", in our case the exemplar way in which  Mohammed used to act and to speak. So hadith is the form, sunna the matter. Tradition as to its form is Jewish. According to the Jewish conception the Law was revealed ....”[3]
Salah satu bukti dalam hal ini (hadits terkontaminasi dari budaya sebelum Islam itu sendiri) adalah bahwa Ka’ab al-Akhbar, seorang Muslim yang sebelumnya beragama Yahudi, telah meriwayatkan cerita-cerita dan legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (israiliyyat) ke dalam hadits. Bahkan, lebih jauh Wensinck menambahkan bahwa Helenisme juga telah masuk ke dalam hadits.
Jadi, menurut Wensinck, hadits merupakan komposisi campur aduk antara ajaran-ajaran dan tradisi tradisi yang dihisap dari Kristen, Yudaisme, Yunani (Helenisme) dan Romawi. Persepsi Wensinck tentang hadits tersebut di muka, boleh jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Ia mampu mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian sejarah agama-agama.
Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah-sejarah agama-agama Semit, Wensinck mampu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan tradisi-tradisi antar agama. Wensinck dengan leluasa melakukan cross-check otentisitas sebuah matan hadits dengan kebenaran sejarah. Pendeknya, untuk mengetahui otentik-tidaknya sebuah hadits, dalam arti sejauh mana orisinalitas dan genuinitas matan sebuah hadits sebagai produk ajaran Islam, Wensinck melakukan ‘kritik’ terhadap sebuah matan hadits dengan kenyataan dan fakta fakta sejarah, tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam.
Contoh sederhana yang diberikan Wensinck dalam hal ini adalah tiga riwayat hadits tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, tiga riwayat ini mencerminkan evolusi tiga tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni: tradisi kaum Semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria. Otentisitas hadits juga menyangkut persoalan apakah sebuah hadits benar-benar berasal dari ucapan Nabi atau buatan para generasi setelahnya. Wensinck memandang bahwa hadits, yang dianggap kata-kata Muhammad (logia Muhammadis) sebenarnya adalah cermin dari sejarah pemikiran Islam selama abad pertama Hijriyah.[4] Di tempat lain, Wensinck juga menyebut hadits sebagai hasil pergulatan teologis generasi sahabat.[5]
Wensinck menyatakan bahwa hadits adalah sumber utama untuk apa yang disebutnya sebagai history of dogma and law. Karena, hampir tidak ada sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh hadits. Dengan demikian, bagi Wensinck, hadits merupakan sumber informasi utama bagi perkembangan awal teologi Islam.
 III.            Metodologi Kajian Hadits Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck menggunakan metode higher criticism, salah satu cabang dari analisis sastra (literary analysis), yang dikenal dengan ‘kritik sejarah’ (historical criticism) yang berupaya mengungkap orisinalitas sebuah teks (kajian filologi). Secara khusus, fokus analisis higher criticism tertuju pada sumber-sumber sebuah dokumen (teks) dan pada upaya menentukan pengarang (author), waktu (period) dan tempat (place) penulisan dan materi asal teks tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian sejarah atau lebih dikenal dengan istilah ‘metode sejarah’ (historical method),[6] yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan menggunakan sumber sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti sejarah dan kemudian menulisnya. Dengan kombinasi antara ‘metode sejarah’ ditambah dengan pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam, Wensinck menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam. 
Mekanisme kritik Wensinck terhadap hadits adalah dengan cara menghadapkan hadits dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit.
 IV.            Gagasan Penyusunan Indeks Hadits
Dalam konteks al-Qur’an, indeks yaitu daftar kata yang terdapat dalam ayat-ayat suci al- Qur’an yang disertai kutipan naskah berupa penggalan ayat yang mengandung kata itu dan dilengkapi dengan keterangan nomor surat serta nomor ayatnya. Dalam konteks literatur hadits indeks bisa memiliki arti yang lebih kompleks. Karena, indeks hadits, karena luas dan banyaknya literatur, memiliki berbagai corak dan metode. Tetapi, secara sempit dan sederhana, pengertian indeks dapat dirumuskan sebagai buku yang memuat daftar kata, subjek hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits yang disertai kutipan naskah berupa penggalan matan (teks) hadits yang mengandung kata itu dan dilengkapi keterangan nama kitab (dalam arti bagian), nama atau nomor bab serta nomor haditsnya. Dua definisi yang terakhir ini, dalam konteks al- Qur’an dan hadits. Penyusunan indeks hadits merupakan agenda utama Wensinck dalam kajian keilmuannya.
Dalam bidang ini, jasa besar beliau dalam mengembangkan kajian hadits lebih dikenal di dunia barat maupun Islam. Wensinck telah menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya untuk mewujudkan gagasan ini. Gagasan penyusunan al-Mu’jam al-Mufahras ini pertama kali dicetuskan oleh Wensinck sendiri pada tahun 1916. Ide ini lahir dilatari oleh kendala yang kerap dirasakan oleh pengkaji hadits, di Barat utamanya, yakni sulitnya menemukan atau mengumpulkan hadits-hadits tentang subyek yang dikaji yang tersebar dalam berbagai kitab koleksi hadits. Padahal hadits-hadits dalam berbagai koleksi tersebut telah disusun sedemikian rupa dengan berbagai sudut pandang, prinsip, dan metode. Tetapi semua itu tidak dapat menolong dan memudahkan para peneliti secara efektif.
Al-Mu’jam al-Mufahras …, merupakan prestasi gemilang dunia kesarjanaan hadits Barat. Kehadirannya menjadi momentum yang sangat membanggakan dunia Eropa ketika sumbangan dunia Eropa terhadap kajian ketimuran (oriental studies) mengalami kemunduran yang sangat signifikan akibat berbagai faktor yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I di antaranya: menipisnya dana penelitian, berkurangnya para orientalis dan calon orientalis dan faktor-faktor domestik lain Negara-negara Eropa sendiri.





Daftar Pustaka
A.J.Wensinck, The Importance of Tradition for Study of Islam
Ed. M.Anwar Syarifuddin. Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits. 2011



[1] Gymnasium adalah sekolah lanjutan menengah yang menekankan pelajaran bahasa dan budaya Latin dari Yunani
[2] Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits, Ed. M.Anwar Syarifuddin. 2011, hlm 123
[3] A.J.Wensinck, “The Importance of Tradition for Study of Islam”, The Moslem World, 1921, hal.239.
[4] Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits, Editor. M.Anwar Syarifuddin. 2011. Hlm 125
[5] Ibid., hlm 125
[6] Ibid., hlm 125

Kamis, 12 Desember 2013

TAFSIR AYAT SOSIAL: Ahl Kitab

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ahli Kitab adalah sebutan bagi umat Yahudi dan Nashrani di dalam Al-Qur'an. Dinamakan demikian karena Allah telah mengutus nabi-nabi yang membawa kitab suci yaitu Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa. Dengan kedatangan Nabi Muhammad dan diturunkannya Al-Quran, ahli kitab ini ada yang menerima dan ada yang menolak kerasulan Muhammad maupun kebenaran Al-Quran dari Allah. Penafsiran secara umum diterima bahwa kitab-kitab sebelum datangnya Islam adalah Taurat, Zabur dan Injil. Dalam masalah penyembelihan hewan qurban, bila dilakukan ahli kitab; dihalalkan, asalkan niatnya hanya untuk allah semata.
Ahli kitab sudah ada sejak dulu, bahkan sampai sekarang. Dengan penjelasan dari nash-nash, tampak bagaimana seharusnya kita (umat islam) membangun hubungan sosial dengan mereka. Terlepas dari ajaran bahwa seharusnya para ahli kitab mengikuti ajaran Nabi Muhammad sebagai penerus dari Nabi-Nabi mereka. Namun kenyataannya sampai sekarang masih ada dari mereka yang memegangi ajaran Nabi-nabi mereka. Sekaligus tetap berpegang pada kitab-kitab agama mereka. 
Dari nash-nash yang menjelaskan mengenai ahli kitabpun masih menimbulkan beberapa perbedaan penafsiran dari kalangan para ulama tafsir. Diantaranya yang dimaksud ahli kitab dalam al-Qur,an itu seluruh ahli kitab atau ahli kitab yag masih ada pada Zaman Nabi. Bagaimana pula hukumnya jika seorang muslim menikah dengan ahli kitab atau sebaliknya, dan bagaimna hubungan-hubungan yang lain yang kemungkinan besar terjadi dalam kehidupan sosial.
B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat mengenai ahli kitab?
2. Bagaimana kontekstualisasinya pada zaman sekarang?




PEMBAHASAN
1.      Penafsiran
A.    QS. Al-Baqarah : 109
وَدَّ كَثِيرٌۭ مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعْدِ إِيمَٰنِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًۭا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلْحَقُّ ۖ فَٱعْفُوا۟ وَٱصْفَحُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌۭ
“ Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya[82]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
[82]  Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi.
Mufrodat
وَدَّ كَثِيرٌۭ                   : Sebahagian besar
: karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri. حَسَدًۭا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم 
Asbabun Nuzul
Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, katanya, Salamah menceritakan kepada kami, katanya, Ibnu Ishaq menceritakan kepadaku, katanya, Abu Kuraib menceritakan kepada kami, katanya, Yunus bin Bukair menceritakan kepada kami, katanya Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada kami, katanya Muhammad bin Abi Muhammad budak Zaid bin Tsabiq menceritakan kepada kami, katanya, Said bin Jubair menceritakan kepadaku atau Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, bahwa Hay bin Akhtab dan Abu Yasir bin Akhtab adalah orang-orang Yahudi yang paling benci kepada orang-orang Arab, karena Allah telah mengistimewakan mereka dengan munculnya seorang utusan di antara mereka (Nabi Muhammad). Yahudi dan Nasrani adalah orang-orang yang berusaha memurtadkan manusia dari Islam dengan semampu mereka, maka Allah menurunkan kepada mereka surat al-Baqarah ayat 109.[1]
Tafsir Ayat
Ayat ini sekali lagi memperingatkan bahwa banyak di antara ahli Kitab, yakni orang Yahudi dan Nasrani, menginginkan dari lubuk hati mereka disertai dengan upaya nyata seandainya mereka dapat mengembalikan kamu  semua setelah keimanan kamu kepada Allah dan Rosul-Nya kepada kekafiran, baik dalam bentuk tidak mempercayai tauhid dan rukun-rukun iman maupun kekufuran yang bersifat kedurkahaan serta pelanggaran pengamalan agama. Ini disebabka karena iri hati yang timbul dari kedengkian yang amat besar yang terpendam dalam diri mereka. Karena itu jangan duga kamu bisa menginsafkan mereka, apalagi sikap mereka itu bukan karena tidak tahu. Sikap mereka itu justru setelah nyata bagi kebenaran . maka, maafkan yakni perlakukan mereka dengan perlakuan orang yang memaafkan yang bersalah dan biarka mereka, seakan-akan engkau tidak mengetahui niat buruk mereka. Maafkan dan biarkan sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Dan ketika itu, ikuti tuntunan Allah karena itu pasti menenangkan kamu dan mengalahkan mereka, atau sampai datang ketentuan Allah yang memuaskan kamu, yaitu memerangi mereka atau memaksa mereka membayar jizyah karena sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatau.
Ayat ini menyatakan :banyak ayat di antara ahli Kitab, bukan semuanya dan bukan kebanyakan, sebagaimana diterjemahkan oleh sementara penerjemah. Jika ada sepuluh lembar kertas, tiga di antaranya berwaarna merah dan selebihnya bgerwarna putih, yang iga dapat dikatakan banyak, bukan kebanyakan. Apabila tiga itu dikatakan kebanyakan maka keliru. Jika yang berwarna merah ada tujuh maka boleh berkata kebanyakan dan boleh juga berkata banyak karena semua yang lebih dari dua adalah banyak.
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan hamba-Nya yang beriman agar tidak menempuh jalan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab. Allah juga memberitahu mereka tentang permusuhan orang-orang kafir terhadap mereka, baik secara bathiniyah maupun lahiriyah. Dan berbagai kedengkian yang menyelimuti mereka terhadap orang-orang mukmin karena mereka mengetahui kelebihan orang mukmin dan Nabi mereka. Selain itu Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlapang dada dan memberi maaf sampai tiba saatnya allah mendatangkan pertolongan dan kemenangan.[2]
B.     QS. al-Imran : 113
لَيْسُوا۟ سَوَآءًۭ ۗ مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ أُمَّةٌۭ قَآئِمَةٌۭ يَتْلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ
Artinya: mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).
Mufrodat
-          لَيْسُوا۟ سَوَآءًۭ : mereka itu tidak sama, yakni berbeda dari perilaku ahl kitab yang lain
-          أُمَّةٌۭ قَآئِمَةٌۭ : golongan yang berlaku lurus
Asbabu al-Nuzul
Ketika Abdullah bin Salam dan sahabat-sahabatnya masuk islam, Ahyar al-Yahudi berkata,” Tidaklah orang yang beriman kepada Muhammad kecuali dia adalah seburuk-buruknya orang diantara kita walaupun dia termasuk orang-orang terbaik kita selama dia meninggalkan agama bapak-bapak mereka”. Kemudian Abdullah bin salam dan sahabat-sahabatnya berkata,” Kalian sungguh telah kafir dan rugi”. Setelah itu Allah menurunkan surat Ali Imran: 113[3].
Tafsir Ayat
Allah Maha Adil, semua makhluk, termasuk manusia adalah hamba-Nya. Disamping yang buruk ada pula yang baik. Kalau yang buruk, akan dinyatakan buruk, tapi Allah tidak lupa menyebutkan yang baik.
Ahlu kitab bukanlah sebuah golongan yang bisa disamakan semuanya, diantara mereka ada pula kelompok yang mengikuti jalan lurus, yaitu agama Allah. Mereka juga ada yang membaca ayat-ayat Allah dan bertahajud pada malam hari[4]
“Tidaklah mereka sama, diantara ahlu kitab ada yang lurus”. Maksudnya yang jujur, yang juga menginginkan kebenaran dan kebaikan. “Mereka membaca kitab-kitab Allah di tengah malam dan merekapun merendahkan diri”. Kitapun harus menghargai pegangan mereka, meskipun kita berpendapat bahwa antara kitab-kitab yang mereka pegang dikatakan Taurat, Zabur atau injil itu telah tercampur aduk, antara  wahyu asli dengan tulisan tangan manusia, namun tulisan tentu ada juga. Kalau kita perhatikan didalam Zabur dan Mazmur, kita akan menemukan berbagai doa dan munajat kepada Tuhan yang dapat mendatangkan khusyu’ bagi mereka dan dapat dibaca di tengah malam[5].
Pada umumnya, ulama-ulama tafsir memahami kelompok yang dibicarakan oleh ayat tersebut adalah ahli kitab yang memeluk agama Islam. Syaikh Mutawalli asy-sya’rawi bahkan menjadikan penutp ayat 113 di atas sebagai bukti bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam karena, katanya, bahwa orang-orang Yahudi tidak mengenal shalat malam sehingga firman Allah di sini bahwa mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud, yakni shalat, membuktikan bahwa mereka telah masuk Islam karena hanya umat Islam yang mengenal shalat malam.[6]
C.    QS. al-Maidah : 51
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍۢ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Mufrodat
-          لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ : , janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani.
-          أَوْلِيَآءَ : pemimpin
Asbabun Nuzul
            Ketika Abdillah bin Ubayyin bin Salul (seorang tokoh kaum munafikin Madinah) dan Ubadah bin shamit (seorang tokoh Muslim dari bani Khazraj) terlibat dalam ikatan perjanjian untuk saling bela membela dengan kaum Yahudi Qainuqa, yang ketika itu Bani Qunaiqa baru terlibat pertempuran dengan Rosulullah SAW, Ubadah bin Shamit berangkat menghadap Rosulullah untuk membersihkan diri dari ikatan perjanjian dengan kaum Yahudi Qainuna tersebut. Dia ingin membersihkan diri kepada Allah dan Rosul-Nya serta menggabungkan diri kepada tentara kaum muslimin. Dia berbai’at dengan setulus hati untuk membela panji-panji Islam di bawah pimpinan Rosululllah. Sedangkan Abdillah bin Ubayyin bin Salul tidak melibatkan diri dalam pertempuran tersebut. Peristiwa itu telah melatar-belakangi turunnya ayat ke-51 yang dengan tegas memberi peringatan terhadap orang-orang yang beriman agar selalu taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Di samping itu diturunkannya ayat ini sebagai larangan mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pimpinan (agama) bagi kaum muslimin.[7]
Ada juga yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini tentang kisah perang Uhud ketika kaum muslim dihinggapi rasa takut, hingga sekelompok orang dari mereka berniat untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.[8]
Tafsir Ayat
              Surat al-Maidah ayat 51 ini menjelaskan tentang tidak dibolehkannya menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak dibolehkan untuk menjadi pemimpin dalam ayat ini adalah orang munafik[9] yakni orang yang lebih suka mengikuti hukum jahiliyah dan mengabaikan hukum Allah, bahkan bermaksud memalingkan kaum muslimin dari apa yang telah diperintahkan oleh Allah[10]. Orang yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin itu telah menentang Allah dan Rosul-Nya, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani itu menentang Allah dan Rosul-Nya, sehingga mereka pasti menjadi musuh Allah dan Rosul-Nya sebagaimana orang yahudi dan Nasrani itu menjadi musuh Allah dan Rosul-Nya. Mereka akan masuk neraka sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani masuk neraka, sehingga dia akan menjadi bagian dari mereka.[11] Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim yakni tidak menunjuki dan tidak mengantar menuju jalan keahagiaan duniawi dan ukhrawi.
D.    QS. al-Maidah : 59
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ هَلْ تَنقِمُونَ مِنَّآ إِلَّآ أَنْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَٰسِقُونَ
“Katakanlah: "Hai ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, Hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik ?”
Asbab al-Nuzul
              Sekelompok orang Yahudi antara lain Abu Yasin bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin Umar datang menghadap Nabi saw. Menanyakan tentang Rosul yang mana yang beliau Imani. Nabi saw menjawab : “aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka : tidaklah kami perbedakan seorang juga diantara mereka dan kami tunduk kepda Allah.” Ketika Nabi menyebutkan nama Isa mereka mengingkari kenabiannya dan berkata : “tidaklah kami beriman kepada Isa dan tidak beriman pula kepada orang yang beriman kepada Isa.” Maka Allah menurunkan ayat ini.[12]
Tafsir Ayat
Allah berfirman, hai Muhammad katakanlah kepada orang-orang dari kalangan ahlul kitab yang menjadikan agamamu sebagai bahan ejekan, dan semua yang berperilaku seperti mereka, apakah kamu memandang kami salah dan mengecam perbuatan kami, yakni tidak ada yang menjadikan kamu memandang kami bersalah hanya kami beriman kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa dan beriman juga kepada apa yang diturunkan kepada kami sambil melaksanakan tuntunannya dan juga beriman kepada apa yakni kitab suci yang diturunkan sebelumnya, kepada para nabi yang lalu seperti Taurat, Injil, Zabur dan wahyu-wahyu Allah yang lain dan yang dibenarkan kandungannya oleh kitab suci kami. Dan itu semua kami percaya dan hormati. Itu semua adalah hal-hal yang baik dan terpuji, tidak wajar dicela atau dipersalahkan tetapi karena kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan diantara kamu , wahai ahli Kitab  adalah orang-orang fasik yang benar-benar telah keluar dari tuntutan agama sehingga kamu mengecam dan mempersalahkan kami.
            Wa anna aktsarakum fasiquun dapat juga dipahami sebagai lanjutan dari alasan mengapa mereka mengecam. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa kecaman mereka disebabkan karena kami beriman dan kami percaya bahwa kebanyakan di antara kalian adalah orang-orang fasik. Memang, salah satu sebab kebencian non-Muslim terhadap orang-orang Muslim adalah karena keyakinan umat Islam tentang kesesatan ajaran mereka.[13]
2.      Kontekstualisasi
Dalam surat Al-Baqoroh ayat 109 menjelaskan kepada kita bahwa ahl kitab merasa tidak suka terhadap orang-orang yang telah masuk Islam dan menginginkan agar kembali kedalam kekafiran, faktornya tidak lain karena dilatar belakangi sifat dengki ahl kitab terhadap Islam.  Hal ini memberi pesan moral kepada kita jika dalam berinteraksi social kita menjumpai kelompok ataupun individu yang merasa dengki dengan apa yang kita miliki, maka Al-Qur’an menyerukan untuk memaafkan dan tidak menggubris mereka untuk menghindari adanya ketidak serasian dalam berinteraksi sosial yang akan timbul dari masalah tersebut. Rasa dengki merupakan salah satu penyakit hati yang menginginkan nikmat yang ada pada orang lain hilang dari orang itu, bahkan ingin agar nikmat tersebut jatuh ketangannya. Sifat ini kalau dibiarkan menguasai diri akan menjadi jalan kemodlorotan bagi diri sendiri dan orang lain. Kemadlorotan terhadap diri sang pendengki sendiri adalah adanya tekanan perasaan dan kehidupan orang lain akan hancur.[14]
Islam mengajarkan manusia sebagai mahkluk social yang diciptakan berpasang-pasangan untuk mengadakan interaksi dengan sesamanya tanpa melihat jenis jenis kelamin, suku, bangsa dan agama. Dalam interaksi social, Islam tidak mendiskriminasikan seseorang lantaran agamanya sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, apalagi mengambil sikap tidak bersahabat. Dalam surat Al-Imran diterangkan bahwa dalam ayat tersebut menggunakan redaksi sebagian banyak dari ahl kitab, hal ini mengisyaratkan bahwa juga ada ahl kitab yang bersikap baik terhadap Islam. Al-Qur’an sama sekali tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum muslim dari negeri mereka. Hal ini berarti bahwa Islam tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin interaksi social.[15]
Akan tetapi, walaupun kita sebagai ummat Islam tidak adanya larangan untuk berinteraksi sosial dengan pemeluk agama lain, dalam surat Al-Maidah ayat 51 melarang ummat Islam untuk mengangkat seorang pemimpin dari ahl kitab. Kepemimpinan disini adalah pemimpin dalam urusan-urusan keagamaan atau dalam lingkup masyarakat muslim, bukanlah pemimpin dalam urusan-urusan kenegaraan dalam konteks Indonesia yang plural. Hal ini dikarenakan jika terdapat suatu problem sosial pada masyarakat muslim yang dapat mengetahui tentang pemecahan problem tersebut adalah pemimpin yang mengetahui tentang Islam itu sendiri. Disamping itu untuk menghindari munculnya kepentingan-kepentingan ideologi suatu kepemimpinan terhadap ummat Islam apabila masyarakat muslim tersebut dipimpin oleh non-muslim.
Selanjutnya, dalam melakukan interaksi antara individu dengan individu lain atau kelompok dengan kelompok lain kita seharusnya melepaskan agama sebagai doktrin dalam bersosial (masyarakat plural). Pada surat Al-Maidah ayat 59 disitu dijelaskan bahwa orang-orang non-muslim menganggap salah terhadap kaum muslim hanya karena beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan adanya doktrin dari agama yang dianutnya dan doktrin tersebut dibawa kedalam interaksi social yang tidak jarang hal tersebut akan berdampak pada terjadinya konflik keagamaan pada masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa dalam bersosial sepatutnya kita saling menghargai antar umat beragama agar dalam suatu masyarakat tercipta kehidupan yang harmonis.




KESIMPULAN
-          Yang dimaksud ahl kitab disini adalah Yahudi dan Nasrani
-          Rasa dengki adalah suatu sifat tercela yang harus kita hindari dalam melakukan interaksi social untuk tercapainya suatu keharmonisan.
-          Tidak semua ahl kitab adalah negative, tapi ada juga yang positif yang patut kita hargai dan hormati.
-          Suatu kepemimpinan tidak akan berjalan lancar/sejalan kalau berbeda ideology
-          Dalam bersosial masyarakat seharusnya saling menghargai antar umat beragama dalam masyarakat plural.




[1] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Tafsir ath-Thabari Jilid 2. Terj Ahmad Affandi. Jakarta.Pustaka Azzam.2008.hlm 385
[2]Abdullah bin Muhammad bin abdurrahman.Tafsir Ibnu Katsir jilid 1.putaka Imam Syafi’i 2008. Hlm 223
[3] Ali Al-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir, ( Beirut: Darul Fikr, 2001), hlm. 204
[4] Ibid
[5] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1990), hlm. 896
[6] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an volume :2. Jakarta, Lentera Hati, 2002. Hlm 227-228.
[7] A. Mudjab Mahali. Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman al-Quran).Jakarta. Rajawali Press, 1989.hlm 34-35.
[8] Syaikh  Imam al-Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi Jilid 6.jakarta.Pustaka Azam. 2008.hlm 518
[9] Ibid
[10] M. Qurais Shihab. Tafsir al-Misbah volume 3.Jakarta.Lentera Hati.2009.hlm 149.
[11]Syaikh  Imam al-Qurthubi. Tafsir al-Qurthubi Jilid 6.jakarta.Pustaka Azam. 2008.hlm 520.
[12] A. Mudjab Mahali. Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman al-Quran).Jakarta. Rajawali Press, 1989.hlm 221-222
[13] M. Qurais Shihab. Tafsir al-Misbah volume 3.Jakarta.Lentera Hati.2009.hlm 170
[14]  Anwar Sanusi. Jalan Kebahagiaan. Jakarta: Gema Insasi. 2006. Hlm 58
[15] Muhammad Galib M. Ahl Kitab: makna dan cakupannya. Jakarta: Paramadina. 1998. Hlm. 157-158