Powered By Blogger

Rabu, 09 Desember 2015

QASAM-QASAM DALAM AL-QUR’AN


A.    Pengertian aqsam
Kata aqsam merupakan bentuk jamak dari isim masdar qasam yang berarti al-halaf dan al-yamin, yakni sumpah. Sighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja aqsama atau ahlafa yang dimuta’addikan dengan huruf “ba”, sesuatu yang digunakan untuk bersumpah disebut muqsam bihi , sedangkan sesuatu yang dinyatakan dalam sumpah disebut muqsm ‘alaihi yang juga disebut jawab al-qasam.[1]
وأقسموا باالله جهد أيمنهم لا يبعث الله من يموت

Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh bahwa Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati (QS.an-Nahl[16:38]).

Qasam dan yamin merupakan sinonim yang didefinisikan untuk  maksud sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang lain yang memiliki posisi lebih tinggi. Untuk tujuan itu, ia menggunakan huruf wawu atau lainya.[2] Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya.[3]

Menurut Al-Suyuti dalam al-itqan mengatakan bahwa yang dimaksud sumpah adalah mempertegas dan memperkuat sebuah berita. Sehingga ulama menjadikan beberapa ayat al-Qur’an yang berisi tentang berita persaksian sebagai sumpah apabila isinya untuk memperkuat sebuah informasi.[4] Misalnya yang terdapat yang terdapat dalam QS. Al-Munafiqun (63): 1 berikut ini:
والله يشهد إن المنفقين لكاذبون
Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta”.


B.      Faidah Qasam
Mukhatab (lawan bicara), ditinjau dari segi pengenalan dan penerimaan terhadap berita yang disampaikan, terbagi menjadi tiga tipe,[5] yaitu:
1.       Mukhatab khaliy al-Zihni (lawan bicara yang berhati kosong), artinya lawan bicara yang belum mengenal berita tersebut dan baru mengetahui ketika beritkata itu disampaikan. Untuk mukhatab seperti ini, perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu menggunakan taukid (penguat), sebab dengan adanya taukid tidak akan memberi manfaat bagi mukhatab. Perkataan yang seperti ini dinamakan ibtida’i.
2.       Mukhatab mutaraddid (lawan bicara yang ragu-ragu), artinya lawan bicara yang ragu-ragu terhadap kebenaran yang disampaikan kepadanya. Maka untuk tipe seperti ini sebaiknya menggunakan taukid untuk menguatkan berita yang disampaikan sehingga dapat menghilangkan keraguan dipihak mukhatab. Perkataan seperti ini dinamakan talabi.
3.       Mukhatab munkir (lawan bicara yang ingkar), lawan bicara seperti ini diperkirakan sudah mengetahui kebenaran berita yang disampaikan kepadanya, tetapi berusaha mengingkarinya. Maka untuk tipe ini. Berita yang disampaikan perlu menggunakan taukid disesuaikan dengan kadar keingkaranya. Perkatan seperti ini disebut inkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantabkan dan memperkuat kebenaran suatu dalam jiwa. Qur’an al-karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mepunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari ada pula yang amat memusuhi. Karena itu di pakailah kalimat qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah pahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara yang sempurna.

C.      Muqsam Bih dalam al-Qur’an
Allah bersumpah dengan Zat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat yang khusus, atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantapkan eksistensi dan sifat--Nya. Sumpah-Nya dengan sebagaian makhluq menunjukkan bahwa makhluq itu termasuk salah salah satu ayat-Nya yang besar.
Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri dalam al-Qur’an pada tujuh tempat:
1.       Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.” (at-Taghobun [64]:7),
2.       Dan orang-orang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami. Katakanlah: Pasti datang, Demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu.” (Saba’ [34]:3),
3.       “Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (adzab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu benar.” (Yunus [10]:53),
4.       “Demi Tuhanku, sungguh kami akan membangkitkan mereka bersama syaitan.” (Maryam [19]:68),
5.       “Maka demi Tuhanku, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” (al-Hijr [15]:92),
6.       “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (an-Nisa’ [4]:65) dan
7.       “Maka aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat.” (al-Ma’arij [70]:40).

Selain ketujuh tempat ini semua sumpah dalam al-Qur’an adalah dengan makhluq-Nya. Misalnya:
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya... “  (asy-Syams [91]:1-7),
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh... “  (al-Fajr [89]:1-4),
“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang. “  (at-Takwir [81]:15) dan
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai. “ (at-Tin [95]1-2).
Allah dapat saja bersumpah dengan apa saja yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sumpah manusia dengan selain nama Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan. Dari Umar bin Khattab r.a diceritakan, r.a. diceritakan, Rasulullah bersabda:
من حلف بغير الله فقد كفر أو أشرك. [رواه الترمذى]                                                  

“Barang siapa bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan Allah.”[6]

Allah bersumpah dengan makhluq-Nya, karena makhluq itu menunjukkan Penciptanya, yaitu Allah.[7]


D.      Muqsam ‘Alaih dalam al-Qur’an
Muqsam ‘alaih atau disebut jawab al-qasam, adalah suatu pernyataan yang ingin dipertegas dan dikukuhkan. Dengan kata lain, muqsam ‘alaih  adalah materi sumpah itu sendiri. Jika seseorang berkata “Demi Allah, saya akan datang”, maka muqsam ‘alaih dalam kalimat tersebut adalah “saya akan datang”, karena pernyataan inilah yang ingin dipertegas.

Tujuan sumpah adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam ’alaih. Oleh karenanya, muqsam ‘alaih haruslah berupa hal-hal yang layak didatangkan sumpah baginya, seperti hal-hal yang ghoib dan tersembunyi atau masalah-masalah yang samar dan belum jelas, jika sumpah itu dimaksudkan untuk menetapkan keberadaannya.

Pada umumnya jawab qasam itu disebutkan. Namun terkadang ada juga yang dihilangkan, sebagaimana jawab “Lau” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah:
كلا لو تعلمون علم اليقين   (janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin) (at-Takatsur [102]:5). Penghilangan seperti ini merupakan salah satu uslub paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan. Perkiraan ayat ini adalah: “seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya.”

Penghilangan jawab qasam, misalnya: والفجر,وليال عشر,والشفع والوتر,والليل اذا يسر,هل في ذالك قسم لذي حجر.
Yang dimaksud qasam disini adalah waktu yang mengandung amal-amal yang pantas untuk dijadikan Allah sebagai muqsam bih. Sehingga tidak memerlukan muqsam ‘alaih atau jawaban lagi.

Jawab qasam terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan sesudahnya, seperti:.ولاأقسم بالنفس اللوامة لاأقسم بيوم القيامة (Aku bersumpah dengan hari kiamat dan aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela)  (al-Qiyamah [75]:1-2). Jawab qasam disini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya , yaitu: 
أيحسب الآنسان آن لن نجمع عظامه (Apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?)  (al-Qiyamah [75]:3). Taqdirnya ialah: Sunggguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.

Sumpah Allah tentang tauhid terdapat pada Qs. al-Saffat (37): 1-4, tentang kebenaran al-Qur’an terdapat pada Qs. al-Waqi’ah (56): 75-77, tentang Rasul-Nya terdapat pada Qs. Yasin (36): 1-4, tentang balasan, janji, dan ancaman terdapat pada Qs. al-Zariyat (51): 1-6 dan 22, Qs. al-Mursalat (77): 1-7, dan Qs. al-Thur (52): 1-8, sedang tentang keadaan manusia terdapat pada Qs. al-Lail (92): 1-4.


E.       Huruf aqsam
Huruf-huruf yang digunakan untuk qasam ada tiga. Pertama huruf wawu.
فورب السماء والأرض إنه لحق مثل ما أنكم تنطقون
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan (Qs adz-Dzariyat, 51:23).

Sumpah yang menggunakan wawu tidak perlu menggunakan lafadz aqsama, ahlafa. Sebaliknya, sesudah huruf itu, harus digunakan huruf yang jelas, bukan kata pengganti.

Kedua, huruf ba’.
لاأقسم بيوم القيامةsu
Aku bersumpah dengan hari kiamat (Qs al-Qiyamah, 75: 1).

Bersumpah dengan huruf ba’ bisa disertai kata yang menunjukkan sumpah, sebagaimana contoh diatas, dan boleh pula tidak menyertakan kata sumpah.
قال فبعزتك لأغوينهم أجمعين
Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semua (Qs Shad, 38: 82).

Sumpah dengan huruf ba’, bisa menggunakan kata yang terang seperti pada dua contoh diatas, bisa juga menggunakan kata pengganti (dhamir) sebagaimana dalam ucapan keseharian:
الله ربي و به أحلف لينصرنا المؤمنين
Allah adalah Tuhanku, saya bersumpah dengan-Nya, Dia akan benar-benar menolong orang-orang mukmin.

Ketiga, huruf ta’.
تاالله لتسءلن عما كنتم تفترون
Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan (Qs an-Nahl, 16: 56).

Sumpah dengan menggunakan huruf ta’ tidak boleh menggunakan kata-kata yang menunjukkan sumpah, dan sesudah ta’ harus disebutkan kata allah atau tuhan atau rabb.

f.  macam-macam qasam
                                qasam itu adakanya nampak secara jelas, tegas dan adakalanya tidak jelas (tersirat).
1)      Zhahir , ialah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karea dicukupkan dengan huruf jar berupa ‘’ba’’ ‘’wawu’’ dan ‘’ta’’.
Dan ada yang didahului ‘’la nafy’, seperi,

‘’ tidak sekali-kali, aku bersumpah pada hari kiamat. Dan tidak sekali-kali, aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (al-qiyamah:1-2).

                Sebagian ulama mengatakan, ‘’ia’’ di dua tempat ini adalah ‘’la nafy’’ untuk menafy kan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan misalnya adalah:
                ‘’tidak benar yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.’’
                Kemudian baru dilanjutkan kalimat berikutnya,
                ‘’aku bersumpah dengan hari kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan.’’ 
                Ada pula yang mengatakan pula bahwa ‘’ia’’ tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan ia mengatakan, ‘’aku tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi aku bertanya kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi aku bertanya kepdamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa kami tidak akan mengumpulkan Tulang belulang mu setelah hancur berantakan karena kematian? Masalahnya sudah amat jelas, sehingga tidak memerlukan sumpah.’’
                Tetapi juga ada berpendapat, bahwa ‘’ia’’ tersebut za’idah (tambahan).jawaban qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan, indikasihnya adalah ayat sesudahnya (al-qiyamah:3). Penjelasannya ialah: ‘’sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.’’

2)      Mudhamar , yaitu yang didalamnya tidak di jelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh ‘’lam taukid’’ yang masuk kedalam jawab qasam, seperi firman allah:
لتبلون فى أمولكم وأنفسكم
‘’kamu sungguh-sungguh akann diuji trhadap hartamu dan dirimu.’’ (ali imran: 186). Maksudnya, demi allah, kamu akn sungguh-sungguh di uji.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan singkat diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa qasam di dalam al-Qur’an difungsikan untuk memperkuat dan mempertegas sebuah informasi yang ditujukan kepada sasaran. Dengan tujuan agar sasaran dapat tunduk terhadap kebenaran yang disampaikan dan menyadarkan atas apa yang diingkarinya. Qasam terkonsep setelah melihat realitas manusia yang memiliki tingkat



[1] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Ulumul Qur’an tekstualitas dan kontekstualitas al-Qur’an, hlm. 224
[2] Ibid
[3] Manna’ al-Qattan, Studi ilmu-ilmu al-Qur’an, ter. Drs. Mudzakir AS, hlm. 414
[4] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr Al-Suyuti (selanjutnya ditulis al-Suyuti saja), Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2004), hlm. 505
[5] Ibid. Hlm.363
[6] Hadis Tirmidzi yang menilainya hadis hasan, dan dinilai sahih oleh Hakim.
[7] M. Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an: media pokok dalam menafsirkan al-Qur’an, (Bulan bintang,1988), hlm. 170.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar