Powered By Blogger

Sabtu, 26 September 2015

INGKARUS SUNNAH



A.    PENDAHULUAN
Hadis merupakan landasan kedua bagi umat Islam setelah Al-Qur’an. Posisi hadis ataupun sunnah berperan andil dalam hal menafsirkan isi kandungan makna yang terdapat dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sendiri masih bersifat global dalam penyampaiannya. Maka dari itu, hadislah yang berperan untuk memperinci/ menjelaskan isi kandungan teks Al-Qur’an setelah Nabi Wafat.
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadits sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi.  Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Wacana pembaharuan pemikiran dalam Islam selalu menarik untuk dibicarakan. Banyak ulama dan cendekiawan muslim yang memberikan pandangan atau pendapat mengenai reaksi pemahaman tentang Islam, reaksi yang muncul beraneka ragam ada yang pro dan dan ada pula yang kontra, terutama yang berhubungan dengan sumber hukum kedua atau al-sunnah dan Islam. Maka tema yang diangkat dalam makalah ini adalah Inkar al-Sunnah
B.     RUMUSAN MASALAH
-          Apa pengertian inkar sunnah?
-          Bagaimana argument mereka dalam membela diri?
-          Siapa tokoh terkemuka aliran inkar sunnah






C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Inkarus Sunnah
Ingkar al-Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua[1]. Orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an, merekalah yang dikatakan sebagai penganut paham Inkar Al-Sunnah atau dalam istilah yang kurang populer disebut juga sebagai munkir al-sunnah[2].
Dikatakan sebagai kelompok Inkar Al-Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar Al-Hadits, karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari pada kata hadits. Mengingkari sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi lebih dari itu juga mengingkari tradisinya yang ditransmisikan dan dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dan generasi ke generasi berikutnya.
Inkarus sunnah secara keseluruhan terpolarisasi kedalam tiga kelompok[3],yaitu:
a.       Kelompok yang menolak sunnah, secara baik yang bernilai sahih, hasan maupun da’if sekalipun.
b.      Kelompok yang menolak sebagian hadits atau sunnah, yaitu hadits yang tidak sesuai dengan al-Qur’an secara tekstual. Kelompok ini menganggap hadits atau sunnah tidak memiliki kompetensi dalam menciptakan hokum yang baru.
c.       Kelompok yang menolak sunnah yang tidak bernilai mutawir.
2.      Argument Para Pengingkar Sunnah
            Kelompok inkar sunnah menjunjung tinggi bahwa Al-Quran lah satu-satunya pedoman yang paling sempurna dan tidak membutuhkan landasan-landasan lainnya. Hal tersebut dijadikan argument mereka dalam penolakan sunnah sebagai landasan. Akan tetapi, pengingkar sunnah juga mempunyai argument-argumen lain sebagai hujjah mereka, diantaranya yaitu:
a.       Firman Allah
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًۭا لِّكُلِّ شَىْءٍۢ وَهُدًۭى وَرَحْمَةًۭ وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. ( An-Nahl:89)
Mereka (inkar sunnah) mengatakan apabila Al-Qur’an merupakan keterangan segala sesuatu dan di dalam Al-Qur’an Allah telah menuangkan segalanya tanpa ada sedikitpun kekurangan, maka tentu hokum-hukum Allah lah (Al-Qur’an) yang paling berhak sebagai penjelas dari segala sesuatu. Kita tidak perlu lagi menggunakan dalil-dalil selain Al-Qur’an.[4]
b.      Para pengingkar sunnah juga beragumentasi bahwa Rasulullah SAW memang mengambil penulis dari kalangan para sahabatnya untuk menulis Al-Qur’an, tetapi beliau tidak mengisyaratkan kepada salah satu dari mereka untuk menulis sunnah. Nabi bahkan melarang untuk menulisnya, sebagaimana hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim:
Barang siapa menulis dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah
Para pengingkar sunnah mengatakan bahwa ini merupakan dalil. Sunnah bukan merupakan undang-undang umum yang harus disampaikan kepada kaum muslimin, seperti halnya Al-Qur’an. Oleh karena itu, jika sunnah seperti halnya Al-Qur’an sebagai landasan hidup, maka tentunya Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk menulisnya, sebagaimana perintah beliau dalam menuliskan Al-Qur’an.[5] 
c.       Sumber sejarah menyatakan bahwa khalifah Abu Bakar pernah membakar catatan hadis karena khawatir hadis-hadis itu tidak benar. Khalifah Umar juga telah membatalkan rencanya untuk mengoleksi hadis karena khawatir ummat Islam akan berpaling dari Al-Qur’an pada hadis.[6]
d.      Hanya al-Qur’an yang memilki otoitas dan legitimasi menjadisumber hukum Islam. Untuk itu Allah telah menjamin kelestarian, keutuhan dan keorisinilannya sampai hari Kiamat. Hadits tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu, karena bisa dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT untuk memelihara kelestarian dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti[7]. Sesuai dengan Firman Allah SWT:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
e.       Realitas sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi beberapa kelompok karena perbedaan paham dalam memahami realitas agama yang menimbulkan konsekuensi kemunduran Islam dalam peraturan dan persaingan internasional sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan hadits sebagai literatur mereka. Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang merah bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya umat Islam. Kassim Ahmad selaku inkar sunnah yang bermukim di Malaysia menyatakan: “ hadis pada prinsipnya adalah ajaran palsu yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad merupakan salah satu puncak perpecahan dan kemunduran ummat Islam”[8]
f.        Signifikasi metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif terhadap hadits seperti kritik sanad, masih belum representatif dan masih lemah dalam menentukan kesahihan (realibility) sebuah hadits, karena dua alasan; pertama kritik sanad yang terdapat dalam ‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil, baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat. Sehingga mata rantai pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak dapat ditemui dan diteliti lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai perawi pada tingkatan pertama, dinilai semua adil oleh para muhaddisin abad III H atau awal abad IV H, dengan konsep ta’dil alsahabah, sehingga mereka dikategorikan sebagai orang yang ma'sum dari kesalahan dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits.[9]

3.      Tokoh Inkar Sunnah
Diantara pelopor gerakan inkar sunnah adalah Taufiq Shidqi (Mesir), Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez (India-Pakistan), Rasyad Khalifah (Amerika), Haji Abdurrahman, Ustadz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto (Jakarta), Dailami Lubis (Sumatra Barat), serta Kassim Ahmad (Malaysia)[10]. Namun disini saya hanya akan membahas salah satu pemikiran tokoh inkar sunnah, yaitu Kassim Ahmad.
Kassim Ahmad merupakan tokoh inkar sunnah di Negara Malaysia, tepatnya di Bukit Pinang, daerah kota Setar Utara, propinsi Kedah Malaysia. Kassim Ahmad pada tahun 1985 tertarik mengkaji hadis setelah terpengaruh oleh bukunya Rashad Khalifa “The Computer Speaks” dan “Qur’an, Hadith and Islam” yang secara ilmiah membuktikan bahwa Al-Qur’an lengkap-terperinci, sehingga manusia tidak lagi memerlukan penjelasan dari hadis. Ia mengkaji hadis kurang lebih 3 bulan sehingga ia yakin kalau hadis menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad. Dengan melakukan generalisasi, ia mengatakan bahwa hadis yang beredar pada akhir abad kedua dari awal abad ketiga hijriah adalah palsu akibat situasi politik yang labil.[11]
Kassim Ahmad beranggapan bahwa tugas utama Nabi adalah memimpin dalam konsep ulil amri. Mustahil Nabi bisa menafsirkan isi Al-Qur’an mengingat Al-Qur’an adalah ilmu Tuhan yang penafsirannya hanya dapat dicapai sedikit demi sedikit melalui kajian saintifik dan pemikiran rasional dalam jangka waktu yang panjang.
Dalam membela paham inkar sunnah ini, ia membuat keterangan bahwa ibadah-ibadah agama seperti shalat, puasa, zakat dan haji tidaklah diamalkan berdasarkan hadis Nabi. Akan tetapi hal-hal tersebut telah telah diajarkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan kemudian diwariskan turun temurun kepada generasi Muhammad SAW.
Untuk menguatkan argumennya, ia mengutip ibadah Kristen Ortodok Syiria yang mengklaim shalatnya tujuh kali dalam sehari semalam. Mereka juga melakukan rukuk dan sujud. Walaupun bentuknya sedikit berbeda dengan yang diwariskan Nabi Muhammad SAW. Karena Ahmad berpandangan bahwa shalat sudah ada sebelum Islam, maka shalat versinya adalah bebas dengan mengabaikan tuntunan-tuntunan shalat dalam hadis. Di dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada ayat-ayat yang menjelaskan secara terperinci tentang tata cara shalat. Yang ada hanyalah ayat-ayat umum teantang kewajiban medirikan shalat.
Menurut Kassim Ahmad, ada dua ikmah Tuhan tidak merincikan bentuk dan ketentuan shalat dalam Al-Qur’an. Pertama, karena ketentuan ini telah diajarkan kepada Nabi Ibrahim dan pengikutnya, kemudian diikuti oleh umat Nabi Muhammad SAW. Kedua, karena bentuk dan ketentuan shalat tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberikan kepada umat Muhammad untuk melakukan shalat dalam keadaan apa saja.
Kassim Ahmad juga menyatakan bahwa Nabi bukanlah Uswatun Hasanah. Menurut para pembela sunnah, Nabi merupakan suri tauladan yang baik dan wajib diikuti dengan berpegang pada hadisnya. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al- Ahzab: 21
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Adapun menurut Kassim Ahmad, jika melihat pada konteks ayat di atas, ternyata tidak merujuk pada setiap gerak-gerik dan kelakuan Nabi. Sebab tingkah laku dan gerak-gerik itu dipengaruhi oleh faktor budaya, situasi dan kondisi dimana orang itu hidup. Ungkapan ustawun hasanah disini menurut Kassim Ahmad berarti pegangan, pendirian dan perujuangan.





D.    PENUTUP
Dari pemaparan yang telah dijelaskan di atas dapat kita ambil poin:
-          Ingkar al-Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua
-          Untuk pembelaan diri, para pengingkar sunnah juga sudah menyiapkan hujjah/argument mereka yang tetap bersikap bahwa Al-Quran adalah satu-satunya landasan terlengkap dan tidak butuh teori apapun untuk menjelaskan isi dalam Al-Qur’an.
-          Kassim Ahmad adalah salah satu tokoh inkar sunnah yang berasal dari Malaysia. Dalam pembelaannya terhadap inkar sunnah, ia menggunakan argument yang diantaranya: sunnah bukan merupakan bagian dari wahyu, tugas utama Nabi bukan sebagai penafsir Al-Qur’an dan Nabi bukanlah uswatun hasanah.




[1] IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, (Jakata: Djambatan, 1992) hlm.428.
[2] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) hlm. 14.
[3] Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah danJawabannya, (Jakarta: Media Da’wan, 1984), hlm. 7.
[4] Shalih Ahmad Ridla, Berkenalan dengan Inkar Sunnah, (Jakarta: Gema Insani press, 1991), hlm 50-51
[5] Shalih Ahmad Ridla, Berkenalan dengan Inkar Sunnah, hlm 52
[6] TH-Khusus UIN Sunan Kalijaga 07, Yang membela dan Yang menggugat, (Yogyakarta: CSS Suka Press, 2012) hlm 245
[7] Muh Natsir Nur, Inkar Sunnah di Zaman Modern, (Pekan Baru: UIN Sultan Syarif Kasim), hlm  7, PDF
[8] Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, (Selangor : Media Intelek, 1986), hlm. 14-20
[9] Muh Natsir Nur, Inkar Sunnah di Zaman Modern, hlm 11
[10] TH-Khusus UIN Sunan Kalijaga 07, Yang membela dan Yang menggugat, hlm 245
[11] TH-Khusus UIN Sunan Kalijaga 07, Yang membela dan Yang menggugat, hlm 245-246

Tidak ada komentar:

Posting Komentar