Powered By Blogger

Sabtu, 26 September 2015

ISU-ISU AKTUAL STUDI HADIS


1.      Keorisinalitas hadis
Secara resmi, pembukuan Hadis terjadi pada masa kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi wafat. Panjangnya rentang antara wafatnya Nabi dan masa pembukuan hadis ini bagi orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadits. Perhatian orientalis terhadap peradaban Timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan Timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka pertama pada Al-qur’an kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadits. Kesimpulam mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan Al-hadits diragukan sebagai sabda Rosul karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya. Terlebih lagi, ketika masih Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadits oleh para sahabat.
Meskipun terdapat berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadits Nabi telah dipelihara semenjak periode awal (sahabat), para orientalis terus saja mencari-cari peluang untuk menyalahkannya. Mereka menyatakan, hadits Nabi tidak pernah dibukukan sampai pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun waktu yang panjang ini, keberadaan Hadits tersia-sia. Alasannya karena hadits belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadits Nabi sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, hadits tidak mungkin dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.
Diantara “pentolan” orientalis adalah Ignaz Goldziher. Ia adalah Anak seorang Yahudi yang dilahirkan di sebuah kota di Hongaria pada 22 Juni 1850 dan meninggal pada 13 November 1921. Hadits menurutnya, tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua generasi pembuat Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya, hadits-hadits palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya.
Disamping itu, ia juga menyatakan bahwa jumlah hadits pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya dan juga hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua. Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian (keotentikan) Hadits harus dipertanyakan?.
Untuk merespon hal itu, sebagaimana disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadits secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari Hadits. Dengan begitu maka Hadits akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadits tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2.      Perdebatan seputar sanad
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul saw. dengan masa kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius. Diantaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi pertama, generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang tidak memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di samping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari masa kini ke masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya berbagai tuntutan mendesak. Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshohihan hadis, kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan dikembangkan hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas sebuah Hadits. Prof. Ali Mustafa Ya‘kub MA dalam bukunya yang berjudul Kritik Hadits menyatakan bahwa upaya untuk mendeteksi kedhabitan rawi dengan memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkannya dengan Hadits lain atau dengan al-Qur‘an, dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan Hadits, yaitu:
a.       Memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah Shahabat Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
b.      Memperbandingkan Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
c.       Memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru Hadits.
d.      Memperbandingkan suatu Hadits yang sedang diajarkan oleh seorang dengan Hadits semisal yang diajarkan oleh guru lain.
e.       Memperbandingkan antara Hadits-hadits yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan Hadits.
f.       Memperbandingkan Hadits dengan ayat-ayat al-Qur‘an.
Penelitian dan kritik Sanad atau Isnad (diringkas dan diubah dari Fitnah Kubro karya Prof DR M. Amhazun yang diterjemahkan oleh Daud Rasyid dari hal.39-79 dengan beberapa perubahan dan penambahan) yaitu untuk meluruskan dan membongkar kedustaan yang ada dalam khabar (berita) dengan melalui dua aspek yaitu:
a.       Aspek teoritis, iaitu penetapan kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kedustaan.
b.      Aspek praktis, iaitu penjelasan tentang peribadi-peribadi yang dianggap sebagai pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap mereka.
Dalam aspek teoritis, metode kritik para ulama telah berhasil sampai pada peletakan kaedah-kaedah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia. Untuk mengetahui ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung di bidang ini, maka cukuplah kita baca karya-karya yang mereka hasilkan dalam bentuk kaedah-kaedah Al Jarh dan At Ta‘dil, pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu, urutan hirarkisnya yang dimuali dari yang teratas -Ta‘dil- sampai tingkat yang terbawah –Jarh-, syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, dimana mereka tetapkan dua syarat pokok terhadap perawi yang bisa diterima periwayatannya, yaitu:
a.       Al Adalah (keadilan) iaitu seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak muru‘ah (martabat diri)
b.      Adh Dhobt iaitu seorang perawi harus menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal atas apa yang diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya dengan metode hafalan, cermat dengan kitabnya kalau dia meriwayatkannya dengan melalui kitabnya.
Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi, curriculum vitae-nya serta penjelasan kualiti atau penilaian terhadapnya. Untuk kepentingan ini terdapat para ulama yang khusus menyusun sejumlah besar karya yang menjelaskan hal tersebut. Dan sudah menjadi satu hal yang tidak diragukan lagi bahawa karya-karya tentang kaedah-kaedah periwayatan dan tentang para perawi itu telah memberi andil yang cukup besar dan penting dalam pemurnian islam dan pelurusan siroh dan sejarah Nabi serta Islam umumnya.
3.      Tinjauan historis oleh para orientalis
Teori sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnad, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis, apakah kemunculan isnad bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan. Sebab, menurut Muhammad Mustafa al-A’zami, buku ini ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory atau nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sha’bi. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qad’i) yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah.
Keputusan-keputusan yang diberikan pada qad’i ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di tangan para qad’i yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar