1.
Keorisinalitas
hadis
Secara resmi, pembukuan Hadis terjadi pada masa kekhalifahan Umar
Bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi wafat.
Panjangnya rentang antara wafatnya Nabi dan masa pembukuan hadis ini bagi
orientalis merupakan peluang terlebar untuk mengkritik hadits. Perhatian
orientalis terhadap peradaban Timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu
tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan
Timur ketika mereka (barat) kalah dalam perang salib. Perhatian ilmiah mereka
pertama pada Al-qur’an kemudian pada sumber Islam yang kedua; al-Hadits.
Kesimpulam mereka umumnya menyatakan bahwa keabsahan Al-hadits diragukan
sebagai sabda Rosul karena panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya.
Terlebih lagi, ketika masih Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadits oleh
para sahabat.
Meskipun terdapat berbagai data pendukung yang kuat bahwa hadits
Nabi telah dipelihara semenjak periode awal (sahabat), para orientalis terus
saja mencari-cari peluang untuk menyalahkannya. Mereka menyatakan, hadits Nabi
tidak pernah dibukukan sampai pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka
berkesimpulan, bahwa pada kurun waktu yang panjang ini, keberadaan Hadits
tersia-sia. Alasannya karena hadits belum ditulis dalam artian dibukukan.
Implisitnya, keotentikan hadits Nabi sangat diragukan dan cenderung ditolak,
lebih jauh, hadits tidak mungkin dapat dijadikan hujjah atau sumber hukum.
Diantara “pentolan” orientalis adalah Ignaz Goldziher. Ia adalah
Anak seorang Yahudi yang dilahirkan di sebuah kota di Hongaria pada 22 Juni
1850 dan meninggal pada 13 November 1921. Hadits menurutnya, tidak lebih
kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa
sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua
generasi pembuat Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Celakanya,
hadits-hadits palsu itu dipakai pula oleh para penganut mazhab untuk membela
dan melegitimasi pendapatnya masing-masing. Pendapat Goldziher ini tertuang
dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian dijadikan “kitab suci” oleh para
orientalis berikutnya, dimana para orientalis berkiblat padanya.
Disamping itu, ia juga menyatakan bahwa jumlah hadits pada koleksi
yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya dan juga hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan
yang diriwayatkan sahabat yang tua. Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian
(keotentikan) Hadits harus dipertanyakan?.
Untuk merespon hal itu, sebagaimana disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadits secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari Hadits. Dengan begitu maka Hadits akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadits tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Untuk merespon hal itu, sebagaimana disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa pengumpulan hadits secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari Hadits. Dengan begitu maka Hadits akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad Hadits tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2.
Perdebatan
seputar sanad
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang
cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul saw. dengan masa
kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan
teori-teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius.
Diantaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses
pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini
diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul (semua
sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi pertama,
generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung kelemahan
inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang tidak memiliki
keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di samping itu, para
peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru,
pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari masa kini ke
masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya
berbagai tuntutan mendesak. Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad
ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian
validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja
satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshohihan hadis,
kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan dikembangkan
hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas sebuah Hadits.
Prof. Ali Mustafa Ya‘kub MA dalam bukunya yang berjudul Kritik Hadits
menyatakan bahwa upaya untuk mendeteksi kedhabitan rawi dengan memperbandingkan
Hadits-hadits yang diriwayatkannya dengan Hadits lain atau dengan al-Qur‘an,
dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan Hadits, yaitu:
a.
Memperbandingkan
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah Shahabat Nabi, antara yang satu
dengan yang lain.
b.
Memperbandingkan
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan.
c.
Memperbandingkan
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari seorang guru
Hadits.
d.
Memperbandingkan
suatu Hadits yang sedang diajarkan oleh seorang dengan Hadits semisal yang
diajarkan oleh guru lain.
e.
Memperbandingkan
antara Hadits-hadits yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku
lain, atau dengan hafalan Hadits.
f.
Memperbandingkan
Hadits dengan ayat-ayat al-Qur‘an.
Penelitian dan kritik Sanad atau Isnad (diringkas dan diubah dari
Fitnah Kubro karya Prof DR M. Amhazun yang diterjemahkan oleh Daud Rasyid dari
hal.39-79 dengan beberapa perubahan dan penambahan) yaitu untuk meluruskan dan
membongkar kedustaan yang ada dalam khabar (berita) dengan melalui dua aspek yaitu:
a.
Aspek
teoritis, iaitu penetapan kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya kedustaan.
b.
Aspek
praktis, iaitu penjelasan tentang peribadi-peribadi yang dianggap sebagai
pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap
mereka.
Dalam aspek teoritis, metode kritik para ulama telah berhasil
sampai pada peletakan kaedah-kaedah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat
teliti sebagai puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia. Untuk
mengetahui ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung di
bidang ini, maka cukuplah kita baca karya-karya yang mereka hasilkan dalam
bentuk kaedah-kaedah Al Jarh dan At Ta‘dil, pengertian istilah-istilah yang
tercakup dalam dua kategori itu, urutan hirarkisnya yang dimuali dari yang
teratas -Ta‘dil- sampai tingkat yang terbawah –Jarh-, syarat-syarat penerimaan
suatu riwayat, dimana mereka tetapkan dua syarat pokok terhadap perawi yang
bisa diterima periwayatannya, yaitu:
a.
Al
Adalah (keadilan) iaitu seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal,
jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak
muru‘ah (martabat diri)
b.
Adh
Dhobt iaitu seorang perawi harus menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal atas
apa yang diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya dengan metode hafalan, cermat
dengan kitabnya kalau dia meriwayatkannya dengan melalui kitabnya.
Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi,
curriculum vitae-nya serta penjelasan kualiti atau penilaian terhadapnya. Untuk
kepentingan ini terdapat para ulama yang khusus menyusun sejumlah besar karya
yang menjelaskan hal tersebut. Dan sudah menjadi satu hal yang tidak diragukan
lagi bahawa karya-karya tentang kaedah-kaedah periwayatan dan tentang para
perawi itu telah memberi andil yang cukup besar dan penting dalam pemurnian
islam dan pelurusan siroh dan sejarah Nabi serta Islam umumnya.
3.
Tinjauan
historis oleh para orientalis
Teori
sistem isnad sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena
isnad tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila
seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isnad, maka pada
gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis,
apakah kemunculan isnad bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh
sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam
buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini
juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal
ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan. Sebab,
menurut Muhammad Mustafa al-A’zami, buku ini ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini
Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis
berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis
yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim
materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali
saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan
hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam
koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan
sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari
kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa
tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan
rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory
gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory atau
nazariyyah al-qadhaf al-khalfi li al-asad ini termasuk teori penting dalam
kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua
sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan
bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi (w. 110 H). Oleh sebab itu,
bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu
adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sha’bi. Hukum Islam baru
dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qad’i) yang baru dilakukan pada
masa Dinasti Umayyah.
Keputusan-keputusan
yang diberikan pada qad’i ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu,
mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri,
melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh
legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada
Nabi Muhammad saw.
Bila
merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam
tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak
langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul
jauh sesudah beliau wafat di tangan para qad’i yang dibubuhi sanad serta
diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak
otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar