Powered By Blogger

Minggu, 29 Desember 2013

Pemikiran Hadits Arent Jan Wensinck

Abstrak
Secara garis besar dapat dipahami bahwa tidak semua orientalis minat dengan kajian orientalis murni kea rah pendidikan akademik belaka, ada yang memang tidak atau bisa dikatakn kurang suka dengan Islam dan ingin mengatakan bahwa ajaran dalam Islam penuh dengan ajaran copi paste dari budaya-budaya agama sebelum Islam.
Dalam hal ini pembahasan tentang hadits, Goldziher dan penerusnya Josep Scacht sebagai penentang ajaran Islam atau sumber hukum Islam yang kedua ini mengatakan bahwa hadits adalah hasil rekaan ulama-ulama’ pada abad ke dua Hijriyah.
Kali ini seorang Arent Jan Wensinck yang seorang anak pendeta, murni mengkaji hadits karena keilmuan dan atas dorongan itulah dengan niatnya yang baik menjadikan beliau terdorong untuk bisa membuat sebuah Codex untuk hadits yakni Mu’jam Mufahros Li Alfadzi Hadits an Nabawiyah yang memuat semua hadits yang ada dalam Kutub As Sittah, dan ini merupakan sumbangan terbesar dalam bidang keilmuan hadits.

Kata Kunci : Orientalisme, Mu’jam, Wensinck









Pembahasan
       I.            Karir Inteletual A.J Wensinck
Arent Jan Wensinck dilahirkan pada 7 Agustus 1882 di Aarlanderveen, negeri Belanda bagian selatan. Ia lahir dari pasangan Johan Herman Wensinck, seorang pendeta di Gereja Protestan Belanda, dan Anna Sara Geertruida Vermeer. Wensinck lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Kristen Protestan yang taat. Ayahnya yang seorang pendeta sangat mempengaruhi kepribadiannya. Pengaruh ini tampak pada minat Wensinck muda yang mengikuti jejak ayahnya ingin menjadi pendeta. Oleh karena itu setelah lulus dari gymnasium[1] kota Amersfoort, Wensinck kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa teologi di Universitas Utrecht pada 1901.[2]
Tetapi setahun kemudian Wensinck mengubah minat studinya semula teologi, menjadi studi bahasa-bahasa Semit pada Fakultas Sastra di universitas yang sama di bawah bimbingan M.T. Houtsma (1850-1943). Tidak didapat informasi yang menjelaskan tentang perubahan minatnya ini. Sejak saat itu ia mencurahkan seluruh perhatian intelektualnya pada studi bahasa-bahasa tersebut. Perhatian seriusnya ini dibuktikannya dengan meraih predikat terpuji. Wensinck berhasil meraih gelar Litt. D (Doctor of literature: Doktor bidang kesastraan) bidang bahasa dan sastra Semit dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Mohammed en de Joden te Madina” di hadapan penguji C. Snouck Hurgronje.
Wensinck pernah memegang sejumlah jabatan di beberapa lembaga ilmiah dan proyek-proyek akademis internasional penting. Pada 10 Oktober 1917 Wensinck tercatat menjadi anggota Koninklijke Nederlanse Akademie van Wetenschapen (KNAW) hingga tahun 1938. Pada 6 Oktober 1933 ia diangkat menjadi salah satu dari lima orientalis anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Malaki, Kairo, Mesir. Tetapi, kurang dari empat bulan kemudian, pada 24 Januari 1934 Wensinck diberhentikan dari keanggotaan lembaga kerajaan Mesir tersebut atas tekanan dan protes kalangan Muslim ortodoks-radikal Mesir karena tulisan-tulisan kritis-konvensialnya dalam Da’irah al- Ma’arif al-Islamiyah.
Di samping itu, Wensinck juga terlibat dalam pengerjaan dua proyek ilmiah internasional, yakni penyusunan The Encyclopedia of Islam, lima volume edisi pertama (EI), edisi bahasa Inggris dan Perancis (1913-1938) sebagai editor dan sekaligus kontributor dan Concordance et Indices de Malik, le Musnad de Hanbal (Al-Mu’jam al- Mufahras fi Alfaz al-Hadis an-Nabawi). Wensinck juga pernah menjabat sebagai sekretaris Goeje Foundation dan, bahkan, pada 1928, menjabat rektor Universitas Leiden.
Pada tahun-tahun terakhirnya, Wensinck mencurahkan perhatiannya pada penelitian tentang Perjanjian Baru dalam latar belakang bahasa Agama dan aktif terlibat sebagai anggota dalam kegiatan liturgy Gereja Protestan Belanda pada 1939, beberapa saat sebelum meninggal. Setelah sekian lama menderita sakit, akhirnya Wensinck meninggal dunia pada 19 September 1939, dalam usia 57 tahun.
    II.            Pemikiran Arent Jan Wensinck
Karena pembahasan kali ini adalah mengenai studi hadits, kami akan mencoba menggambarkan pemikiran seorang orientalis bernama Arent Jan Wensinck dalam memandang hadits. Menurut Wensinck, urgensi studi hadits terletak pada fungsinya sebagai alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim dengan lebih mudah. Selain itu bagi Wensinck sendiri, sebagai seorang sarjana pengkaji sejarah Islam, fungsi hadits sebagai sumber utama sejarah Islam sangat penting. Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah Islam.
            Persoalan pertama tentang hadits yang menarik perhatian Wensinck adalah persoalan yang menyangkut bahwa apakah matan hadits berasal dari dalam ajaran Islam sendiri atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi di luar Islam. Dan,menurut Wensinck, sebagian hadits (untuk tidak menyebutkan semua) tidak otentik karena ia berasal dan diambil dari berbagai ajaran dan tradisi di luar Islam, yakni utamanya, Yahudi dan Kristen. Doktrin-doktrin Kristen telah menyusup secara besar besaran kedalam perkataan Nabi Muhammad saw. Tidak hanya ajaran-ajaran Kristen, hampir seluruh ajaran Yudaisme, terutama ajaran tentang eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki hadits.
Seperti yang diungkapkan Wensinck sendiri dalam karyanya The Importance of Tradition for Study of Islam :
Moslem tradition is however a term wich in Arabic is expressed not by one but by two words, hadith and sunna. The former denotes a communication or a tale in our case the oral or sribal translation of the saying or actions mentioned; the latter means "use" and "tradition", in our case the exemplar way in which  Mohammed used to act and to speak. So hadith is the form, sunna the matter. Tradition as to its form is Jewish. According to the Jewish conception the Law was revealed ....”[3]
Salah satu bukti dalam hal ini (hadits terkontaminasi dari budaya sebelum Islam itu sendiri) adalah bahwa Ka’ab al-Akhbar, seorang Muslim yang sebelumnya beragama Yahudi, telah meriwayatkan cerita-cerita dan legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (israiliyyat) ke dalam hadits. Bahkan, lebih jauh Wensinck menambahkan bahwa Helenisme juga telah masuk ke dalam hadits.
Jadi, menurut Wensinck, hadits merupakan komposisi campur aduk antara ajaran-ajaran dan tradisi tradisi yang dihisap dari Kristen, Yudaisme, Yunani (Helenisme) dan Romawi. Persepsi Wensinck tentang hadits tersebut di muka, boleh jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Ia mampu mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian sejarah agama-agama.
Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah-sejarah agama-agama Semit, Wensinck mampu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan tradisi-tradisi antar agama. Wensinck dengan leluasa melakukan cross-check otentisitas sebuah matan hadits dengan kebenaran sejarah. Pendeknya, untuk mengetahui otentik-tidaknya sebuah hadits, dalam arti sejauh mana orisinalitas dan genuinitas matan sebuah hadits sebagai produk ajaran Islam, Wensinck melakukan ‘kritik’ terhadap sebuah matan hadits dengan kenyataan dan fakta fakta sejarah, tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam.
Contoh sederhana yang diberikan Wensinck dalam hal ini adalah tiga riwayat hadits tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, tiga riwayat ini mencerminkan evolusi tiga tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni: tradisi kaum Semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria. Otentisitas hadits juga menyangkut persoalan apakah sebuah hadits benar-benar berasal dari ucapan Nabi atau buatan para generasi setelahnya. Wensinck memandang bahwa hadits, yang dianggap kata-kata Muhammad (logia Muhammadis) sebenarnya adalah cermin dari sejarah pemikiran Islam selama abad pertama Hijriyah.[4] Di tempat lain, Wensinck juga menyebut hadits sebagai hasil pergulatan teologis generasi sahabat.[5]
Wensinck menyatakan bahwa hadits adalah sumber utama untuk apa yang disebutnya sebagai history of dogma and law. Karena, hampir tidak ada sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh hadits. Dengan demikian, bagi Wensinck, hadits merupakan sumber informasi utama bagi perkembangan awal teologi Islam.
 III.            Metodologi Kajian Hadits Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck menggunakan metode higher criticism, salah satu cabang dari analisis sastra (literary analysis), yang dikenal dengan ‘kritik sejarah’ (historical criticism) yang berupaya mengungkap orisinalitas sebuah teks (kajian filologi). Secara khusus, fokus analisis higher criticism tertuju pada sumber-sumber sebuah dokumen (teks) dan pada upaya menentukan pengarang (author), waktu (period) dan tempat (place) penulisan dan materi asal teks tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian sejarah atau lebih dikenal dengan istilah ‘metode sejarah’ (historical method),[6] yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan menggunakan sumber sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti sejarah dan kemudian menulisnya. Dengan kombinasi antara ‘metode sejarah’ ditambah dengan pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam, Wensinck menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam. 
Mekanisme kritik Wensinck terhadap hadits adalah dengan cara menghadapkan hadits dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit.
 IV.            Gagasan Penyusunan Indeks Hadits
Dalam konteks al-Qur’an, indeks yaitu daftar kata yang terdapat dalam ayat-ayat suci al- Qur’an yang disertai kutipan naskah berupa penggalan ayat yang mengandung kata itu dan dilengkapi dengan keterangan nomor surat serta nomor ayatnya. Dalam konteks literatur hadits indeks bisa memiliki arti yang lebih kompleks. Karena, indeks hadits, karena luas dan banyaknya literatur, memiliki berbagai corak dan metode. Tetapi, secara sempit dan sederhana, pengertian indeks dapat dirumuskan sebagai buku yang memuat daftar kata, subjek hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits yang disertai kutipan naskah berupa penggalan matan (teks) hadits yang mengandung kata itu dan dilengkapi keterangan nama kitab (dalam arti bagian), nama atau nomor bab serta nomor haditsnya. Dua definisi yang terakhir ini, dalam konteks al- Qur’an dan hadits. Penyusunan indeks hadits merupakan agenda utama Wensinck dalam kajian keilmuannya.
Dalam bidang ini, jasa besar beliau dalam mengembangkan kajian hadits lebih dikenal di dunia barat maupun Islam. Wensinck telah menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya untuk mewujudkan gagasan ini. Gagasan penyusunan al-Mu’jam al-Mufahras ini pertama kali dicetuskan oleh Wensinck sendiri pada tahun 1916. Ide ini lahir dilatari oleh kendala yang kerap dirasakan oleh pengkaji hadits, di Barat utamanya, yakni sulitnya menemukan atau mengumpulkan hadits-hadits tentang subyek yang dikaji yang tersebar dalam berbagai kitab koleksi hadits. Padahal hadits-hadits dalam berbagai koleksi tersebut telah disusun sedemikian rupa dengan berbagai sudut pandang, prinsip, dan metode. Tetapi semua itu tidak dapat menolong dan memudahkan para peneliti secara efektif.
Al-Mu’jam al-Mufahras …, merupakan prestasi gemilang dunia kesarjanaan hadits Barat. Kehadirannya menjadi momentum yang sangat membanggakan dunia Eropa ketika sumbangan dunia Eropa terhadap kajian ketimuran (oriental studies) mengalami kemunduran yang sangat signifikan akibat berbagai faktor yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I di antaranya: menipisnya dana penelitian, berkurangnya para orientalis dan calon orientalis dan faktor-faktor domestik lain Negara-negara Eropa sendiri.





Daftar Pustaka
A.J.Wensinck, The Importance of Tradition for Study of Islam
Ed. M.Anwar Syarifuddin. Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits. 2011



[1] Gymnasium adalah sekolah lanjutan menengah yang menekankan pelajaran bahasa dan budaya Latin dari Yunani
[2] Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits, Ed. M.Anwar Syarifuddin. 2011, hlm 123
[3] A.J.Wensinck, “The Importance of Tradition for Study of Islam”, The Moslem World, 1921, hal.239.
[4] Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits, Editor. M.Anwar Syarifuddin. 2011. Hlm 125
[5] Ibid., hlm 125
[6] Ibid., hlm 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar