Abstrak
Secara garis besar dapat dipahami bahwa tidak semua orientalis
minat dengan kajian orientalis murni kea rah pendidikan akademik belaka, ada
yang memang tidak atau bisa dikatakn kurang suka dengan Islam dan ingin
mengatakan bahwa ajaran dalam Islam penuh dengan ajaran copi paste dari
budaya-budaya agama sebelum Islam.
Dalam hal ini pembahasan tentang hadits, Goldziher dan penerusnya
Josep Scacht sebagai penentang ajaran Islam atau sumber hukum Islam yang kedua
ini mengatakan bahwa hadits adalah hasil rekaan ulama-ulama’ pada abad ke dua
Hijriyah.
Kali ini seorang Arent Jan Wensinck yang seorang anak pendeta,
murni mengkaji hadits karena keilmuan dan atas dorongan itulah dengan niatnya
yang baik menjadikan beliau terdorong untuk bisa membuat sebuah Codex untuk
hadits yakni Mu’jam Mufahros Li Alfadzi Hadits an Nabawiyah yang memuat
semua hadits yang ada dalam Kutub As Sittah, dan ini merupakan sumbangan
terbesar dalam bidang keilmuan hadits.
Kata
Kunci : Orientalisme, Mu’jam, Wensinck
Pembahasan
I.
Karir
Inteletual A.J Wensinck
Arent Jan Wensinck dilahirkan pada 7 Agustus 1882 di Aarlanderveen,
negeri Belanda bagian selatan. Ia lahir dari pasangan Johan Herman Wensinck,
seorang pendeta di Gereja Protestan Belanda, dan Anna Sara Geertruida Vermeer.
Wensinck lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Kristen Protestan yang
taat. Ayahnya yang seorang pendeta sangat mempengaruhi kepribadiannya. Pengaruh
ini tampak pada minat Wensinck muda yang mengikuti jejak ayahnya ingin menjadi
pendeta. Oleh karena itu setelah lulus dari gymnasium[1]
kota Amersfoort, Wensinck kemudian mendaftarkan diri sebagai mahasiswa teologi
di Universitas Utrecht pada 1901.[2]
Tetapi setahun kemudian Wensinck mengubah minat studinya semula
teologi, menjadi studi bahasa-bahasa Semit pada Fakultas Sastra di universitas
yang sama di bawah bimbingan M.T. Houtsma (1850-1943). Tidak didapat informasi
yang menjelaskan tentang perubahan minatnya ini. Sejak saat itu ia mencurahkan
seluruh perhatian intelektualnya pada studi bahasa-bahasa tersebut. Perhatian
seriusnya ini dibuktikannya dengan meraih predikat terpuji. Wensinck berhasil
meraih gelar Litt. D (Doctor of literature: Doktor bidang kesastraan) bidang
bahasa dan sastra Semit dengan predikat cumlaude setelah
berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Mohammed en de Joden te
Madina” di hadapan penguji C. Snouck Hurgronje.
Wensinck pernah memegang sejumlah jabatan di beberapa lembaga
ilmiah dan proyek-proyek akademis internasional penting. Pada 10 Oktober 1917
Wensinck tercatat menjadi anggota Koninklijke Nederlanse Akademie van Wetenschapen
(KNAW) hingga tahun 1938. Pada 6 Oktober
1933 ia diangkat menjadi salah satu dari lima orientalis anggota Majma’
al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Malaki, Kairo,
Mesir. Tetapi, kurang dari empat bulan kemudian, pada 24 Januari 1934 Wensinck
diberhentikan dari keanggotaan lembaga kerajaan Mesir tersebut atas tekanan dan
protes kalangan Muslim ortodoks-radikal Mesir karena tulisan-tulisan
kritis-konvensialnya dalam Da’irah al- Ma’arif
al-Islamiyah.
Di samping itu, Wensinck juga terlibat dalam pengerjaan dua proyek
ilmiah internasional, yakni penyusunan The Encyclopedia of Islam, lima volume edisi pertama (EI), edisi bahasa Inggris dan Perancis
(1913-1938) sebagai editor dan sekaligus kontributor dan Concordance et
Indices de Malik, le Musnad de Hanbal (Al-Mu’jam al- Mufahras fi Alfaz al-Hadis an-Nabawi). Wensinck juga pernah
menjabat sebagai sekretaris Goeje Foundation dan, bahkan, pada 1928, menjabat
rektor Universitas Leiden.
Pada tahun-tahun terakhirnya, Wensinck mencurahkan perhatiannya
pada penelitian tentang Perjanjian Baru dalam latar belakang bahasa Agama dan
aktif terlibat sebagai anggota dalam kegiatan liturgy Gereja Protestan Belanda
pada 1939, beberapa saat sebelum meninggal. Setelah sekian lama menderita
sakit, akhirnya Wensinck meninggal dunia pada 19 September 1939, dalam usia 57
tahun.
II.
Pemikiran Arent
Jan Wensinck
Karena pembahasan kali ini adalah mengenai studi hadits, kami akan
mencoba menggambarkan pemikiran seorang orientalis bernama Arent Jan Wensinck
dalam memandang hadits. Menurut Wensinck, urgensi studi hadits terletak pada
fungsinya sebagai alat untuk memahami Islam dan kaum Muslim dengan lebih mudah.
Selain itu bagi Wensinck sendiri, sebagai seorang sarjana pengkaji sejarah
Islam, fungsi hadits sebagai sumber utama sejarah Islam sangat penting.
Kekayaan informasi yang dikandung hadits akan sangat berguna bagi para
sejarawan yang akan meneliti dan menulis sejarah Islam.
Persoalan
pertama tentang hadits yang menarik perhatian Wensinck adalah persoalan yang
menyangkut bahwa apakah matan hadits berasal dari dalam ajaran Islam sendiri
atau dari pengaruh berbagai unsur, ajaran, dan tradisi di luar Islam.
Dan,menurut Wensinck, sebagian hadits (untuk tidak menyebutkan semua) tidak
otentik karena ia berasal dan diambil dari berbagai ajaran dan tradisi di luar
Islam, yakni utamanya, Yahudi dan Kristen. Doktrin-doktrin Kristen telah
menyusup secara besar besaran kedalam perkataan Nabi Muhammad saw. Tidak hanya
ajaran-ajaran Kristen, hampir seluruh ajaran Yudaisme, terutama ajaran tentang
eskatologi dan kosmologinya, telah merasuki hadits.
Seperti yang diungkapkan Wensinck sendiri dalam karyanya The
Importance of Tradition for Study of Islam :
“Moslem tradition is however a term wich in Arabic is
expressed not by one but by two words, hadith and sunna. The former denotes a
communication or a tale in our case the oral or sribal translation of the
saying or actions mentioned; the latter means "use" and
"tradition", in our case the exemplar way in which Mohammed used to act and to speak. So hadith is the form,
sunna the matter. Tradition as to its form is Jewish. According to the Jewish
conception the Law was revealed ....”[3]
Salah satu bukti dalam hal ini (hadits terkontaminasi dari budaya
sebelum Islam itu sendiri) adalah bahwa Ka’ab al-Akhbar, seorang Muslim yang
sebelumnya beragama Yahudi, telah meriwayatkan cerita-cerita dan
legenda-legenda yang terkandung dalam Perjanjian Lama (israiliyyat) ke
dalam hadits. Bahkan, lebih jauh Wensinck menambahkan bahwa Helenisme juga telah masuk ke
dalam hadits.
Jadi, menurut Wensinck, hadits merupakan komposisi campur aduk
antara ajaran-ajaran dan tradisi tradisi yang dihisap dari Kristen, Yudaisme,
Yunani (Helenisme) dan Romawi. Persepsi Wensinck tentang hadits tersebut di
muka, boleh jadi terbentuk oleh latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Ia
mampu mengkombinasikan berbagai varian dan spesialisasi dalam kajian sejarah
agama-agama.
Dengan penguasaan yang mendalam terhadap sejarah-sejarah
agama-agama Semit, Wensinck mampu menghubungkan fakta-fakta sejarah dan
tradisi-tradisi antar agama. Wensinck dengan leluasa melakukan cross-check
otentisitas sebuah matan hadits dengan kebenaran sejarah. Pendeknya, untuk
mengetahui otentik-tidaknya sebuah hadits, dalam arti sejauh mana orisinalitas
dan genuinitas matan sebuah hadits sebagai produk ajaran Islam, Wensinck
melakukan ‘kritik’ terhadap sebuah matan hadits dengan kenyataan dan fakta
fakta sejarah, tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran agama-agama pendahulu Islam.
Contoh sederhana yang diberikan Wensinck dalam hal ini adalah tiga
riwayat hadits tentang pengkafanan jenazah. Menurutnya, tiga riwayat ini
mencerminkan evolusi tiga tradisi pengkafanan jenazah yang berbeda, yakni:
tradisi kaum Semit kuno, Yahudi, dan Kristen Syiria. Otentisitas hadits juga
menyangkut persoalan apakah sebuah hadits benar-benar berasal dari ucapan Nabi
atau buatan para generasi setelahnya. Wensinck memandang bahwa hadits, yang
dianggap kata-kata Muhammad (logia Muhammadis) sebenarnya adalah cermin
dari sejarah pemikiran Islam selama abad pertama Hijriyah.[4]
Di tempat lain, Wensinck juga menyebut hadits sebagai hasil pergulatan teologis
generasi sahabat.[5]
Wensinck menyatakan bahwa hadits adalah sumber utama untuk apa yang
disebutnya sebagai history of dogma and law. Karena, hampir tidak ada
sebuah pandangan yuridis maupun teologis yang tidak dijustifikasi oleh hadits.
Dengan demikian, bagi Wensinck, hadits merupakan sumber informasi utama bagi
perkembangan awal teologi Islam.
III.
Metodologi
Kajian Hadits Wensinck
Sebagai seorang doktor sastra, dalam penelitiannya, Wensinck
menggunakan metode higher criticism, salah satu cabang dari analisis
sastra (literary analysis), yang dikenal dengan ‘kritik sejarah’ (historical
criticism) yang berupaya mengungkap orisinalitas sebuah teks (kajian
filologi). Secara khusus, fokus analisis higher criticism tertuju pada
sumber-sumber sebuah dokumen (teks) dan pada upaya menentukan pengarang (author),
waktu (period) dan tempat (place) penulisan dan materi asal teks
tersebut.
Sebagai seorang sejarawan, Wensinck menggunakan metode penelitian
sejarah atau lebih dikenal dengan istilah ‘metode sejarah’ (historical
method),[6]
yakni serangkaian teknik dan pedoman hal mana para sejarawan menggunakan sumber
sumber primer sejarah dan fakta-fakta lainnya untuk meneliti sejarah dan
kemudian menulisnya. Dengan kombinasi antara ‘metode sejarah’ ditambah dengan
pengetahuannya tentang Yahudi, Kristen, Helenisme, dan Islam, Wensinck
menunjukkan evolusi doktrin-doktrin Islam.
Mekanisme kritik Wensinck terhadap hadits adalah dengan cara
menghadapkan hadits dengan data-data sejarah dari berbagai tradisi agama Semit.
IV.
Gagasan
Penyusunan Indeks Hadits
Dalam konteks al-Qur’an, indeks yaitu daftar kata yang terdapat
dalam ayat-ayat suci al- Qur’an yang disertai kutipan naskah berupa penggalan
ayat yang mengandung kata itu dan dilengkapi dengan keterangan nomor surat
serta nomor ayatnya. Dalam konteks literatur hadits indeks bisa memiliki arti
yang lebih kompleks. Karena, indeks hadits, karena luas dan banyaknya
literatur, memiliki berbagai corak dan metode. Tetapi, secara sempit dan
sederhana, pengertian indeks dapat dirumuskan sebagai buku yang memuat daftar
kata, subjek hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits yang
disertai kutipan naskah berupa penggalan matan (teks) hadits yang mengandung
kata itu dan dilengkapi keterangan nama kitab (dalam arti bagian), nama atau
nomor bab serta nomor haditsnya. Dua definisi yang terakhir ini, dalam konteks
al- Qur’an dan hadits. Penyusunan indeks hadits merupakan agenda utama Wensinck
dalam kajian keilmuannya.
Dalam bidang ini, jasa besar beliau dalam mengembangkan kajian hadits
lebih dikenal di dunia barat maupun Islam. Wensinck telah menghabiskan hampir
seluruh waktu hidupnya untuk mewujudkan gagasan ini. Gagasan penyusunan
al-Mu’jam al-Mufahras ini pertama kali dicetuskan oleh Wensinck sendiri pada
tahun 1916. Ide ini lahir dilatari oleh kendala yang kerap dirasakan oleh
pengkaji hadits, di Barat utamanya, yakni sulitnya menemukan atau mengumpulkan hadits-hadits
tentang subyek yang dikaji yang tersebar dalam berbagai kitab koleksi hadits.
Padahal hadits-hadits dalam berbagai koleksi tersebut telah disusun sedemikian
rupa dengan berbagai sudut pandang, prinsip, dan metode. Tetapi semua itu tidak
dapat menolong dan memudahkan para peneliti secara efektif.
Al-Mu’jam al-Mufahras …, merupakan prestasi gemilang dunia
kesarjanaan hadits Barat. Kehadirannya menjadi momentum yang sangat
membanggakan dunia Eropa ketika sumbangan dunia Eropa terhadap kajian ketimuran
(oriental studies) mengalami kemunduran yang sangat signifikan akibat berbagai
faktor yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I di antaranya: menipisnya dana
penelitian, berkurangnya para orientalis dan calon orientalis dan faktor-faktor
domestik lain Negara-negara Eropa sendiri.
Daftar Pustaka
A.J.Wensinck,
The Importance of Tradition for Study of Islam
Ed.
M.Anwar Syarifuddin. Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits. 2011
[1]
Gymnasium adalah sekolah lanjutan menengah yang menekankan pelajaran bahasa dan
budaya Latin dari Yunani
[2]
Kajian Orientalis terhadap Al Quran dan Hadits, Ed. M.Anwar Syarifuddin. 2011, hlm
123
[3]
A.J.Wensinck,
“The Importance of Tradition for Study of Islam”, The Moslem World, 1921,
hal.239.
[5]
Ibid., hlm 125
[6]
Ibid., hlm 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar