Powered By Blogger

Sabtu, 09 November 2013

Tafsir Ahkam: Hukum Khamr (Minuman Keras)

BAB   I
PENDAHULUAN
            Modernisasi adalah suatu keniscayaan bagi umat manusia. Dalam pengertiannya, Wilbert E Moore menyebutkan bahwa modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan manusia yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi cirri negara barat yang stabil. Sementara menurut J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
            Modernitas tidak bisa lepas dari globalisasi, adanya kedua hal tersebut terdapat dampak positif yang bisa kita rasakan, seperti; tingkat kehidupan yang lebih baik dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, akses informasi yang cepat, produktifitas tinggi, dan yang terakhir adalah pola pikir irasional menjadi rasional atau modern. Namun modernisasi dan globalisasi juga tidak luput dari sebuah kelemahan atau efek negative yang ditimbulkannya, seperti hilangnya tata nilai dalam masyarakat, pola hidup yang konsumtif, gaya hidup yang kebarat-baratan, dan sekularisme.
            Antara gaya hidup yang kebarat-baratan dengan sekularisme tentu saja mempengaruhi pola prilaku bagi masyarakat khususnya Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Agama tidak lagi menjadi pegangan hidup, dan posisinya semakin terpinggirkan. Hal ini mengakibatkan banyak manusia yang semakin jauh dari aspek spiritualitas. Bahkan banyak remaja –terlahir sebagai manusia modern—yang sudah tidak lagi mengenal agama dalam hidupnya, yang akhirnya perilaku sex bebas, narkoba, miras, minol, dan perjudian menjadi tren masyarakat timur sekarang ini. Mereka berpendapat hal tersebut adalah suatu modernisasi yang apabila tidak diikuti maka mereka akan dianggap ketinggalan zaman dan tereksklusikan dari hubungan sosial dalam peer group-nya sendiri.
            Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dalam Islam –al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber utama hukum Islam— sangat melarang perbuatan-perbuatan seperti sex bebas, narkoba, minum minuman keras, dan berjudi. Namun bila kita melihat apa yang terjadi sehari-hari di lingkungan sekitar kita, secara langsung maupun tayangan di media-media informasi, perilaku-perilaku yang melanggar tata norma bahkan hukum Islam itu sendiri sudah menjadi hal yang lumrah dan merupakan suatu kewajaran. Faktor kewajaran inilah yang mendorong manusia-manusia modern sudah tidak takut lagi mencoba hal-hal yang menurut asalnya bertentangan dengan tata norma dan Islam. Salah satu pelanggaran yang menjadi sebuah kewajaran adalah miras dan minol, yang dalam Islam disebut Khamr,
            Miras dan minol bukan saja identik dengan kebudayaan barat yang sekuler, namun jenis-jenis minuman keras juga banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti tuak dan arak yang merupakan produk asli suku-suku di Indonesia dan merupakan menjadi jamuan wajib pada upacara-upacara dan ritual adat setempat. Jadi dalam beberapa kasus di Indonesia, minuman keras jenis arak dan tuak sudah menjadi bagian dari kebudayaan di beberapa suku di Indonesia
Di satu sisi modernisasi, dan globalisasi memang tidak terelakkan bagi masyarakat yang dinamis, yang mendambakan perubahan-perubahan kearah lebih baik bagi manusia, namun di sisi yang lain membuat manusia kehilangan spiriualitas dalam dirinya. Serta beberapa kebudayaan yang menuntut masyarakatnya untuk tetap melestarikan budaya asli sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Disinilah sebenarnya peran agama –Islam sebagai hudan linnas— menjadi sangat penting sebagai solusi dari kasus-kasus factual yang terjadi pada masyarakat modern.
Sebagaimana diketehui bahwa al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, yang didalamnya berisi tiga aspek. Aspek pertama dan kedua adalah I’tiqadiyyah atau ketauhidan dan Akhlak, hal ini dijelaskan kepada manusia agar mereka mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah. dan yang ketiga adalah aspek hukum Islam dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi manusia. Hubungan ini meliputi hubungan manusia dengan Khalik dan hubungan esame manusia serta alam lingkungan dimana manusia itu berada. Al-Qur’an juga diturunkan kepada umat manusia di bumi agar terjadi perubahan kearah yang lebih positif dalam kehidupan manusia, serta agar manusia dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Dalam kasus miras dan minol –dalam hal ini dikategorikan sebagai khamr—, Allah memberikan larangan keras kepada dua hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Maidah ayat 90-91. Namun pengharaman tersebut, Allah tidak langsung mengukuminya, akan tetapi terdapat proses hingga akhirnya secara tegas khamr diharamkan bagi umat Islam.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan beberapa ayat-ayat hukum tentang Khamr, Maysir, Anshab, dan Azlam, yang pada dewasa ini, perbuatan-perbuatan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi masyarakat modern di Indonesia, bahkan menjadi tradisi di beberapa daerah di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    KHAMR
Secara etimologi, khamr (خمر) berasal dari kata khamara (خمر) yang artinya adalah penutup dan menutupi. Maksud penutup adalah bahwa khamr dapat menutup akal fikiran dan logika seseorang bagi yang meminumnya. Sedangkan secara terminologi, seperti yang dikutip dari Al-Isfihani[1] khamr berarti minuman yang dapat menutup akal atau memabukkan, baik orang yang meminumnya itu mabuk ataupun tidak. Jadi minuman yang memabukkan itu disebut khamr karena ia dapat menutup akal manusia. Salah satu alasan inilah khamr diharamkan dalam Islam disamping beberapa alasan lain.
Pada zaman jahiliyyah, minuman khamr adalah suatu hal yang sangat disenangi, dan meminum khamr sudah menjadi suatu kewajaran pada masyarakat Arab, karena itu al-Qur’an tidak melarangnya dengan secara sekaligus. Ada beberapa tahap perbincangan al-Qur’an mengenai khamr, yaitu sebagai berikut :
1.      Surat An-Nahl ayat 67
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya : Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Tafsir Ayat : Dalam ayat ini Allah menyebut macam minuman yang dihasilkan oleh buah-buahan seperti kurma dan anggur, yaitu yang kamu jadikan minuman yang memabukkan dan juga dari kedua pohon itu terdapat rizki yang baik, yakni dari buah-buahan yang sudah kering. Dan itulah terdapat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.[2]
Setelah ayat ini turun, kaum muslimin masih meminum khamr karena bagi mereka pengharaman khamr masih belum ada dalam ayat ini. Namun menurut Fazlur Rahman, khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian di Mekkah, dan ayat ini merupakan Tahrim ‘am (pengharaman yang bersifat umum) dan belum secara tegas.[3] Indikasi dari pengharaman tersebut ialah bagaimana Allah telah memberi peringatan kepada umat manusia atas efek memabukkan dari minuman yang terbuat dari buah kurma dan anggur. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa masuk Islamnya A’sya Ibnu Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di hadapan Rasulullah, ditengah jalan ia dicegat oleh Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy lainnya. “Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,”  kata mereka. Kata A’sya “Aku tidak keberatan”. “Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr”, kata mereka lagi , dan seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Mekkah, ketika Abu jahal masih hidup. Abu jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum surat al-Maidah ayat 90-91 turun. Dalam Hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani, dari Mu’adz Ibn Jabal, disebutkan bahwa yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah minuman khamr.
Fazlur Rahman juga berpendapat, yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surat al-A’raf ayat 33 :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ.
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa (al-itsm), melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". al-itsm dalam ayat ini adalah khamr, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 219. Al-A’raf merupakan surat yang turun dalam periode Makiyyah awal.[4]
Kata al-itsm yang berarti khamr juga terdapat dalam perkataan syair. :
شربت الاثم ضلّ عقلى كذالك الاثم يذهب بالعقول
          “Ku minum khamr hingga akalku hilang, demikian juga dosa dapat membuat akal menghilang”. Sesungguhnya ia menggunak kata ‘itsm” sebagai ganti kata “khamr” secara kiasan atau majaz, yang artinya bahwa khamr itu bisa menimbulkan perbuatan dosa.[5]
2.      Surat al-Baqarah ayat 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ.
Arinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,
Asbabun Nuzul : Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: “Tatkala Rasulullah SAW datang ke Madinah, beliau melihat para sahabat sedang minum khamr (arak/ minuman yang memabukkan) dan bermain judi. Kemudian mereka menanyakan kedua hal tersebut kepada Rasulullah, maka Allah menurunkan ayat ini.[6]
Tafsir Ayat :
Maksudnya, kaum mukminin bertanya kepadamu wahai Rasul tentang hukum khamr dan judi, di mana pada zaman jahiliyah kedua hal tersebut sering dilakukan dan juga pada awal-awal Islam. Seolah-olah terjadi kesulitan memahami kedua perkara tersebut. Karena itu, mereka bertanya kepadamu tentang hukum-hukumnya. Maka Allah Ta’ala memerintahkan kepada NabiNya untuk menjelaskan manfaat-manfaatnya dan kemudharatannya kepada mereka agar hal tersebut menjadi pendahuluan untuk pengharamannya dan wajib meninggalkan kedua perbuatan tersebut secara total. 
Allah mengabarkan bahwa dosa dan mudharat keduanya serta apa yang diakibatkan oleh keduanya seperti hilangnya ingatan, harta dan menghalangi dari berdzikir kepada Allah, dari shalat, (menimbulkan) permusuhan dan saling benci, adalah lebih besar Didapatkan harta dengan berjual beli khamr atau memperolehnya dengan cara judi atau kebahagiaan hati saat melakukannya.[7]
Dan penjelasan ini merupakan pencegahan dari kedua perbuatan tersebut, karena seorang yang berakal akan lebih memilih sesuatu yang kemaslahatannya lebih besar, dan ia akan menjauhi suatu yang mudharatnya lebih besar. Akan tetapi, ketika mereka sudah begitu terbiasa dengan kedua perkara tersebut dan sulit untuk meninggalkannya secara total pada awal-awalnya, maka Allah memulai hal tersebut dengan ayat ini sebagai pendahuluan menuju kepada pengharaman secara mutlak yang disebutkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan.” (Al-Maidah: 90). Sampai firmanNya,”Berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah:91) 
Ini adalah kasih sayang, rahmat dan kebijaksanaanNya. Oleh karena itu, ketika ayat ini turun, Umar radhiallahu ‘anhu berkata,”Kami berhenti, kami berhenti” ( Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/53, Abu Daud 3670, at-Tirmidzi 3049, an-Nasa’I 8/286, dishahihkan oleh al-Madiny dan at-Tirmidzi, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/87.).[8]
Khamr artinya adalah semua yang memabukkan lagi menghilangkan akal pikiran dan menutupinya, dari apa pun macamnya. Sedangkan judi adalah segala macam usaha saling mengalahkan yang di dalamnya terdapat taruhan dari kedua belah pihak seperti dadu atau catur dan segala macam usaha saling mengalahkan baik perkataan maupun perbuatan dengan taruhan, tentunya selain dari perlombaan berkuda, unta dan memanah, karena hal-hal itu semua adalah boleh karena hal-hal tersebut sangat membantu dalam jihad, karena itulah Allah membolehkannya.
Pengetahuan dalam pengharaman khamr dilakukan karena khamr mengganggu stabilitas akal dan mengilangkan fungsinya, sehingga bisa menimbulkan bahaya besar terhadap tubuh, syaraf, akal, dan akhlak. Seperti pernyataan Dr. Muhammad Washfi dalam bukunya al-Qur’an wa ath-Thibb, halaman 138 sebagai berikut : “Khamr mempengaruhi pusat-pusat syaraf, merangsangnya pada kali pertama, selanjutnya berubah menjadi kebekuan pada syaraf-syarafnya, dan berakhir dengan pembiusan dan penghentian aksinya. Oleh karena itu khamr menyebabkan kematian akibat pengaruh langsung penghentian pusat-pusat syaraf dalam tubuh. Keadan ini dapat kita lihat dalam diri peminum khamr. Pada fase pertama ia akan kehilangan sifat menjaga kehormatan diri dan rasa malu. Mulutnya mengucapkan hal-hal seandainya akalnya mampu menahannya ia tidak akan mengucapkan-nya. Kemudian timbullah perbuatan-perbuatan, gerakan-gerakan, tertawa dengan buruk dan tanpa sebab. Dalam keadaan mabuk manusia seperti hewan yang hina dan melanggar kehormatan dan agama. Ia amat mudah terjatuh dalam jurang kehinaan dan keburukan. Kondisi seperti ini terjadi sesaat dan kemudian menjadi tak sadar.
Pada fase kedua, orang yang meminum khamr akan terganggu proses berfikirnya, kehilangan perasaan, dan menampakkan diri dalam kebodohan yang amat sangat. Pada fase ketiga, setelah racun mulai beroperasi di pusat-pusat syaraf kehidupan dalam tubuh dan menumpulkan pekerjaannya, terjadilah kematian. Kematian bisa disebabkan oleh khamr yang merusak proses bekerjanya pusat alat pernafasan dan distribusi darah dalam tubuh.”[9]
3.      Surat An-Nisaa’ ayat 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Asbabun Nuzul :
Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, meriwayatkan bahwa Ali berkata. “Pada suatu hari abdurahman bin Auf membuatkan makanan untuk kami. Lalu dia mengundang kami untuk makan dan menyediakan khamr sebagai minumannya. Lalu saya meminum khamr itu. kemudian tiba waktu shalat dan orang-orang menyuruhku untuk menjadi imam. Lalu saya membaca ayat :
(3) وَ نَحْنُ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْن (2)  لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (1)قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
Katakan lah (Muhammad) “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah.
            Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.
            Al-Faryabi, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Firman Allah, ’… dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja,… (an-Nisaa’ : 43) turun pada seseorang yang melakukan perjalanan kemudian dia junub lalu tayamum dan shalat setelahnya.”[10]
            Tafsir ayat :
            Allah SWT, melarang orang-orang mukmin melakukan shalat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat shalat (yaitu mesjid-mesjid) bagi orang yang mempunyai jinabat (hadas besar), kecuali jika ia hanya sekedar melewatinya dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya. Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamar diharamkan secara tegas.[11]
            Secara umum ayat ini bermaksud untuk memberi peringatan kepada kaum mu’min untuk menjauhi shalat jika ia dalam keadaan mabuk. Hal ini berbeda dengan tafsir ayat sebelumnya, yaitu surat al-Baqarah ayat 219, dimana orang mu’min diwajibkan mengerjakan sholat walaupun dalam keadaan mabuk setelah minum khamr. Karena hukum wajibnya sholat lebih dulu dibandingkan kharamnya khamr bagi umat Muslim.
            Namun setelah ayat an-Nisa’ turun, para sahabat masih belum sepenuhnya bisa meninggalkan khamr dalam kesehariannya, karena ayat tersebut hanya menyuruh mat Muslim menjauhi sholat jika ia dalam keadaan mabuk. Jadi para sahabat meminum khamr hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah waktu sholat Isya’ dan shubuh. Karena diwaktu-waktu itu jarak waktu sholat masih relatif panjang untuk menghilangkan efek dari khamr yang memabukkan dan menyebabkan umat Muslim meninggalkan wajibnya sholat.
4.       Surat al-Ma’idah Ayat 90-91
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
(QS. Al-Maidah : 90-91)
            Asbabun Nuzul : Sa’ad r.a berkata, “Seorang sahabat Anshar membuat makanan dan mengundang kami, maka kami minum khamr sebelum diharamkan sehingga mabuk, lalu masing-masing berbangga terhadap kaumnya sendiri. seorang Anshar berkata, “kamilah orang-orang yang lebih afdhol (utama)”. Kemudian orang Quraisy juga berkata, “Kami yang lebih afdhol.” Tiba-tiba seorang dari kaum Anshor mengambil tulang binatang yang sudah disembelih dan dipukulkan pada hidungnya. Maka turunlah ayat 90-91 ini. (R. Muslim dan al-Baihaqi).
            Ibn Abbas r.a berkata, “Sesungguhnya turunnya ayat yang mengharamkan khamr mengenai kejadian dua suku Anshar yang minum khamr, dan ketika telah mabuk yang satu mengganggu yang lain, kemudian ketika sadar seorang melihat muka, kepala dan janggutnya bekas pukulan yang berat sehingga ia berkata, “Saudaraku Fulan telah berbuat sedemikian terhadapku, demi Allah andaikan ia sayang padaku, tentu ia tak akan berbuat sedemikian”. Maka mulailah timbul rasa dendamdan sakit hati, maka Allah menurunkan ayat ini.[12]
            Dalam kedua ayat tersebut Allah mempertegas diharamkannya arak dan judi yang diiringi pula dengan menyebut berhala dan undian dengan dinilainya sebagai perbuatan najis (kotor). Kata-kata His (kotor, najis) ini tidak pernah dipakai dalam al-Quran, kecuali terhadap hal yang memang sangat kotor dan jelek.
Khamar dan judi adalah berasal dari perbuatan syaitan, sedang syaitan hanya gemar berbuat yang tidak baik dan mungkar. Justru itulah al-Quran menyerukan kepada umat Islam untuk menjauhi kedua perbuatan itu sebagai jalan untuk menuju kepada kebagiaan.
Selanjutnya al-Quran menjelaskan juga tentang bahaya arak dan judi dalam masyarakat, yang di antaranya dapat mematahkan orang untuk mengerjakan sembahyang dan menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sedang bahayanya dalam jiwa, yaitu dapat menghalang untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agama, diantaranya ialah zikrullah dan sembahyang.
Terakhir al-Quran menyerukan supaya kita berhenti dari minum arak dan bermain judi. Seruannya diungkapkan dengan kata-kata yang tajam sekali, yaitu dengan kata-kata: فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ؟ (apakah kamu tidak mau berhenti?). Jawab seorang mu'min terhadap seruan ini: "Ya, kami telah berhenti, ya Allah!"[13]





BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya, orang Arab ketika itu (ketika masa Rasulullah) merasa bangga dan tinggi status sosialnya bila berjudi dan memium khamr. Karena kedua hal tersebut dapat mendorong seseorang untuki bersikap pemberani dan rela berkorban. Oleh karena gaya hidup yang telah mendarah daging tersebut, maka mula-mula agama Islam tidak langsung mengharamkan kedua hal tersebut, tetapi hanya memberikan isyarat bahwa kedua hal tersebut tidak baik. Allah telah memberikan isyarat tentang tidak baiknya khamr seperti yang terkandung dalam surat an-Nahl ayat 67.
Kemudian Allah menjelaskan tentang bahaya meminum khamr dan berjudi dengan ungkapan yang lebih jelas dalam surat al-Baqarah ayat 219, yang menjelaskan tentang kemudharatan yang lebih besar dari pada manfaatnya dari perbuatan meminum khamr dan judi. Dalam tahap berikutnya, khamr telah dilarang pada waktu-waktu tertentu. Seperti yang dijelaskan oleh allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 43. Berdasarkan ayat ini, sebagian sahabat telah meninggalkan khamr pada waktu siang setelah dhuhur sampai datangnya Isya’. Sedang sebagian yang lain mengetahui bahwa khamr diharamkan secara mutlak, sehingga mereka telah meninggalkan sepenuhnya.
Kemudian setelah umat muslim benar-benar merasakan efek negative dari khamr, yaitu timbulnya permusuhan, maka Allah mengharamkan khamr secara tegas dengan turunnya surat al-Maidah ayat 90-91. Setelah ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah, maka para sahabat yang bertaqwa menjawab dengan suara yang keras, “Kami telah berhenti dari perbuatan itu”.
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa hukum syara’ itu ditetapkan secara bertahap, sesuai dengan situasi dan kondisi. Semula suatu perbuatan itu dibiarkan hukumnya sesuai dengan hukum yang ada. Kemudian barulah diharamkan dan mengganti (menasakh) hukum yang dahulu dengan hukum yang datang kemudian. Setelah syari’at Islam turun dengan sempurna, maka hukum yang telah ditetapkan tersebut berlaku hingga hari kiamat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali ash-Shabuni, Shofwah at-Tafasir juz 1 (Beirut libanon: Maktabah al-Ashriyyah)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid III, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1992)
Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012)
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta, Gema Insani, 2008)
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik ayat-ayat Hukum, (Jakarta, Amzah 2011)
Syaikh Salim B, Ensiklopedi Larangan, (Niaga Swadaya, 2010)
Syekh Fauzi Muhammad, Hidangan Islami : Ulasan Komprehensif berdasarkan Syari’at dan sains Modern, Terj. Abdul Hayyi al-Kattanie, (Jakarta, Gemma Insani Press, 1997)



[1] Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik ayat-ayat Hukum, (Jakarta, Amzah 2011), hlm. 171
[2] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986) hlm. 576
[3] Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012) Hlm. 228.
[4] Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012) Hlm. 228.
[5] Syaikh Salim B, Ensiklopedi Larangan, (Niaga Swadaya, 2010), hlm 177
[7] ali ash-Shabuni, shofwah at-Tafasir juz 1 (Beirut libanon: Maktabah al-Ashriyyah) hlm. 362
[8] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986) hlm. 382
[9] Syekh Fauzi Muhammad, Hidangan Islami : Ulasan Komprehensif berdasarkan Syari’at dan sains Modern, Terj. Abdul Hayyi al-Kattanie, (Jakarta, Gemma Insani Press, 1997) Hlm. 69
[10] Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta, Gema Insani, 2008), hlm. 198
[11] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990) hlm. 162
[12] Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid III, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1990) hlm. 168
[13] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar