Powered By Blogger

Rabu, 06 November 2013

Sekilas Tentang Tafsir Al-Qosimy

A.    Pendahuluan
Perkembangan keilmuan Islam pastilah tidak bisa dilepaskan dengan penafsiran al-Qur’an. Terdapat banyak sekali kajian yang telah dilahirkan oleh para ‘ulama untuk menjelaskan setiap kandungan yang terdapat didalamnya. Para ‘ulama memiliki keilmuan yang mumpuni didalamnya untuk mendukung argumen yang dipaparkan dalam setiap menafsiri ayat-ayat dalam al-Qur’an. Penafsiran inilah yang melahirkan berbagai pemikiran pembahasan yang tidak terbatas untuk selalu dipelajari dan dielaborasikan setiap masa. Bahkan kajian menafsiri al-Qur’an tidak terbatas dalam pemikiran umat muslim saja akan tertapi berkembang meluas sampai kepada para orientalis pun telah banyak yang menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman mereka sendiri.
Dalam kemunculan suatu pemikiran tafsir tidak dapat dielakkan bahwa pemikiran yang muncul dari para ‘ulama pasti memiliki beberapa faktor yang melingkupi pemikirannya. Faktor-faktor yang muncul dari dalam al-Qur’an disebut dengan al-’awaamil ad-daakhiliyyah. Sedangkan faktor-faktor yang muncul dari luar disebut dengan al-’awaamil al-khaarijiyyah. Faktor-faktor yang muncul dari luar dapat dicontohkan beberapa hal, seperti subyektifitas mufassir, faktor ideology (madzhab) yang berkembang saat itu, bahkan politik kekuasaan pun ikut memengaruhi suatu buah pemikiran. Hal ini didukung oleh Michel Foucault seorang sosiolog keagamaan yang menyebutkan bahwa sebuah perkembangan ilmu pengetahuan, mazhab, atau pemikiran, apapun namanya (termasuk tafsir di dalamnya), tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan.
Salah satu corak tafsir yang berkembang adalah tafsir ‘ilmi, kemunculan tafsir ini disebabkan para ulama merasakan bahwa al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Para ‘ulama ini merupakan para cendekiawan yang merasa prihatin atas dasarnya minimnya kajian sains modern dengan kaitan keilmuan al-Qur’an. Maka dari itu tafsir dengan corak ilmi mencoba memindahkan semua bidang pengetahuan kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran Al-Qur’an. Adapun salah satu pelopor ‘ulama yang perhatian pada keberadaan tafsir ilmiah adalah Amin al-Khuli.
Salah satu kitab tafsir yang dipengaruhi corak penafsiran ilmiah adalah tafsirMahaasin at-Ta’wiil karya Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi. Dalam kitab tafsir ini, beliau mengetengahkan pembahasan yang berusaha menjelaskan masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Walaupun kajian dalam tulisan ini dirasa kurang lengkap dan kurang mendalam, tetapi paling tidak, tetapi diharapkan tulisan ini bisa menjadi salah satu pelopor untuk melakukan kajian yang lebih mendalam dan lebih serius terhadap kitab tafsir karya al-Qasimi ini.
B. Setting Historis-Biografis al-Qasimi
1. Latar Belakang Sosial dan Aktivitas Intelektual
Nama lengkap beliau adalah Jamal ad-Din bin asy-Syaikh Muhammad Sa’id ad-Dimasyqi bin asy-Syaikh Muhammad Qasim al-Hallaq asy-Syafi’i al-Atsari. Beliau hidup dalam kurun waktu antara tahun 1283-1332  H atau 1866-1914 M, yaitu selama 49 tahun. Al-Qasimi dilahirkan dan wafat di Damaskus.[1] Beliau tumbuh di tengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu. Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang sastrawan yang bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi al-Khair. Ayahnya  mewarisi perpustakaan yang berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah inilah yang mewariskan dan mengalirkan berbagai ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya. Selain beliau sendiri juga menggali keilmuan dari ‘ulama lainnya.
Warisan dari ayahanda ini mendukung al-Qasimi untuk menjadi seseorang yang banyak mengkaji karya-karya para ahli hadis, usul fikih, fikih, tasawuf, ilmu kalam, sastra, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Tidak mengherankan jika beliau menjadi seorang ilmuwan yang mumpuni dalam beberapa ilmu pengetahuan. Walaupun beliau lebih banyak belajar secara autodidak lewat buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya, beliau juga tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh ilmuwan lain. Muhammad Abduh merupakan salah satu ulama yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual beliau. Sejak perkenalan beliau dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904, beliau mengganti gaya bahasa sajak yang sejak lama digelutinya dengan gaya bahasa prosa dalam banyak karya tulisnya.
Kemudian, dikarenakan al-Qasimi menjadi seorang pakar dari berbagai cabang ilmu pengetahuan Beliau kemudian memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang pendidikan pada masa itu.[2] Beliau juga termasuk orang yang anti taklid dan menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Sehingga pemerintah mendukung dan mendelegasikannya selama empat tahun, yaitu pada tahun 1308-1312 H, untuk mengadakan perjalanan intelektual ke negara Syuriah. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan mengunjungi Madinah. Akan tetapi Setelah kembali dari tugasnya, beliau dituduh mendirikan mazhab agama yang baru, yang diberi nama Madzhab al-Jamalii. Maka, pada tahun 1313 H, beliau ditangkap oleh pemerintah dan diinterogasi.[3] Akan tetapi, akhirnya beliau dibebaskan kembali.[4] Setelah peristiwa penangkapan tersebut, al-Qasimi menetap di Damaskus. Beliau berdiam diri di rumahnya dan mengonsentrasikan diri untuk mengarang beberapa kitab dan mencurahkan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sampai wafatnya.[5]
2. Karya-karya Intelektual
Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu-ilmu keislaman, dan seni. Selain itu, beliau juga menghasilkan beberapa karya  di bidang lain, seperti tauhid, hadis, akhlak, tarikh, dan ilmu kalam. Selain menulis beberapa buah kitab, al-Qasimi juga mempublikasikan buah pikirannya di majalah-majalah dan suhuf-suhuf. Total karya al-Qasimi berjumlah 72 kitab.[6] Di antara karya-karya al-Qasimi yaitu:
1. Dalaail at-Tauhiid.
2. Diiwaan Khithab.
3. Al-Fatawaa fii al-Islaam.
4. Irsyaad al-Khalqi ilaa al-’Amalii bi al-Barqi.
5. Syarh Luqathah al-’Ajlaan.
6. Naqd an-Nashaaih al-Kaafiyah.
7. Madzaahib al-A’rab wa Falaasifah al-Islaam fi al-Jin.
8. Mau’izhah al-Mu’miniin.
9. Syaraaf al-Asbath.
10. Tanbiih ath-Thaalib ilaa Ma’rifati al-Fardli wa al-Waajib.
11. Jawaami’ al-Adab fii Akhlaaq al-Anjab.
12. Ishlaah al-Masaajid min al-Bidaa’ii wa al-’Awaaidi.
13. Ta’thiir al-Masyaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam.
14. Qawaa’id at-Tahdiits min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits.
15. Mahaasin at-Ta’wiil fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim.
16. Tarjamah al-Imaam al-Bukhaarii.
17. Bait al-Qaashid fii Diiwaan al-Imaam al-Waliid as-Sa’iid.
18. Ikhtisaar al-Ihyaa’.
19. Dan lain-lain.
C. Kitab Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
1. Sejarah Penulisan
            Kitab tafsir merupakan sebuah pola bentuk pemikiran, penelaahan seorang mufassir dan interpretasi mufassir menyikapi kondisi zaman dengan menginteraksikannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dapat disebut pola bahwa sebuah kitab tafsir merupakan anak zaman, maksudnya kitab tafsir merupakan bentuk kelahiran pemikiran yang berlatar belakang sosio-kultural yang menyertai kemunculannya. Berkaitan dengan studi kitab ini, maka diperlukan diketahuinya kondisi sosio cultural yang melingkupi kelahiran Tafsir al-Qasimi ini
Kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil terlahir dari bentuk perbenturan dua kebudayaan yang berbeda (clash of civilization). Yaitu antara budaya Islam dan budaya ahli kitab yang sedang gencar-gencarnya mengkaji dunia islam (orientalis) ditambah lagi dengan proses perkembangan misionarisme. Perbenturan kebudayaan ini membentuk masyarakat yang terus menerus berkonflik untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan golongan. Tidak hanya dalam aspek theologies namun juga dalam bidang aspek ekonomi dan kekuasaan. Perbenturan kebudayaan ini memunculkan wacana yang berkelanjutan hingga daerah-daerah lain. Pun di Syam dimana al-Qasimi tinggal. Daerah Syam pada saat itu pun menjadi target dari serangan kaum ahli kitab yang melancarkan program missionaries mereka.
2. Sumber Penafsiran
            Dalam penulisan kitab Tafsir ini, Syaikh al-Qasimi mengambil beberapa sumber rujukan untuk menganalisis ayat-ayat yang beliau tafsirkan. Yaitu; pertama, Hadits-Hadits Nabi SAW. Dalam hal ini beliau banyak mengambil hadits yang berasal dari Shahih Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain. Kedua, Atsar Shahabat. Ketiga, Sastra Arab. Dalam hal ini beliau sangat mumpuni pada bidang grammatical arab dan hal-hal yang melingkupinya, al-Qur’an turun dengan bahasa arab maka untuk mengungkapkan makna didalamnya haruslah menguasai bahasa arab secara mendalam. Ditambah lagi dalam menjelaskan makna kata Al-Qur’an, al-Qasimi selalu merujuk kepada beberapa kamus. Di antaranya Shihah al-Jauharii dan kamus al-Muhiith. Keempat, Ra’yu.
Selain itu, al-Qasimi juga sering mengambil beberapa pendapat para ulama. Di antara para ulama yang sering dijadikan rujukan oleh al-Qasimi adalah Muhammad Abduh, asy-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Izzudin bin Abd as-Salam, asy-Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi, Abu Amru ad-Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, asy-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi Abd al-Jabbar, asy-Syahrastani, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, as-Suyuti, dan Ibnu Hazm. sehingga dalam beberapa tempat, beliau sering mencantumkan kisah-kisah Isra’iliyat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa mufasir salaf yang kitab-kitab tafsirnya sering dirujuk oleh al-Qasimi.[7] al-Qasimi juga terkadang mengutip dari beberapa bagian kitab Injil. kitab Taurat serta kitab Talmud. Namun, pengutipan ini hanya untuk menunjukkan kekacauan kitab tersebut, Di samping itu, untuk memperkuat argumentasi pandangan-pandangan ilmiah dalam kitab tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan pendapat para ilmuwan modern yang sezaman dengan beliau[8].
3. Corak dan Karakteristik Penafsiran
            Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini memiliki corak tafsir ilmii, mengapa demikian? Karena dalam kitab ini nuansa ilmiah begitu terlihat. dalam kitab tafsirnya ini, beliau sengaja menjelaskan secara detail masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau juga menjelaskan bahwa beliau banyak mengutip pendapat-pendapat pakar astronomi untuk memperkuat penjelasannya
4. Sistematika Penafsiran
            Penulisan Tafsir yang digunakan oleh al-Qasimi yaitu dengan mengurutkan sesuai dengan urutan ayat dan surat seperti pada umumnya al-Qur’an yang kita jumpai. Maka dari itu jika dilihat dari sistematikanya dikategorikan menjadi mushhafii. Dimulai dari suratt al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Seluruh penafsirannya tertuang dalam kitab tafsir sebanyak tujuh belas jilid. Pada juz pertama, al-Qasimi mengkhususkannya sebagai juz pembukaan. Pada juz ini, al-Qasimi memfokuskan pembahasannya untuk menjelaskan beberapa visi dan sistematika tafsirnya.
5. Metode Penafsiran
            Dalam penelitian pemakalah tafsir ini memiliki nuansa klasik yang kental (selain nuansa ilmiah). Penyebabnya tafsir ini banyak merujuk pada sumber-sumber klasik sebagai alternative pendukung penafsiran beliau sendiri. Yang berwujud baik berupa hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat para salaf ash-shaalih. Namun tidak selamany beliau menyetujui dengan apa yang difatwakan oleh para mufassir klasik. Tak jarang beliau pun melontarkan kritik sebagai bentuk keteguhan beliau dalam meneguhkan pendapat yang beliau kemukakan ketika menafsiri suatu ayat. Secara mendasar beliau menegaskan penafsirannya mengenai kata-kata dalam al-Qur’an. Dengan merujuk pada kamus-kamus arab seperti; Shihah al-Jauharii dan kamus al-Muhiith. Tak lupa beliau memberikan I’rab dalam kata-kata tersebut. Beliau juga memperhatikan secara teliti mengenai bentuk-bentuk qiraat yang digunakan.
Syaikh al-Qasimi bila di dalam penafsirannya menemukan hal-hal yang di dalamnya terdapat ketercampuran pemahaman, beliau selalu memberikan keterangan (tanbiih).[9] Hal ini bermaksud untuk mencari kejelasan masalah dan menghindari kesalahpahaman. Al-Qasimi merupakan seorang tokoh yang fanatic terhadap madzhab yang beliau anut. Madzhab ahlu as-Sunnah akan beliau bela kevaliditasannya dan membalikkan argument yang mengkritik madzhab ahlussunnah.
Bentuk social-kultural masyarakat yang mempengaruhi pemikiran penafsiran beliau mengenai suatu ayat salah satunya adalah kritik terhadap golongan yang dirasa beliau banyak melakukan perbuatan bid’ah dan taklid. Beliau memberikan solusi mengenai hal ini dengan memunculkan wacana terbukanya pintu ijtihad. Agaknya hal ini dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah. Berikut beberapa rangkuman dari penelitian ini:
a.       Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b.      Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang bersumber dari hadis Nabi, pendapat sahabat, dan pendapat beberapa ulama.
c.       Terkadang, untuk mendukung penafsirannya, beliau mengutip kisah-kisah Isra’iliyat yang diambil dari kitab-kitab tafsir para ulama salaf.
d.      Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
e.       Fanatisme pada madzhab ahlu as-sunnah.
f.       Mengungkapkan situasi sosio-kultural masyarakat sekelilingnya.
6. Contoh Penafsiran
Lihat misalnya ketika beliau menafsirkan Surah an-Nisa’ [4]: 3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan, jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
القول في تأويل قوله تعالى: سورة النساء (4) : آية 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا أي أن لا تعدلوا فِي الْيَتامى أي يتامى النساء. قال الزمخشريّ: ويقال للإناث اليتامى كما يقال للذكور، وهو جمع يتيمة، على القلب.
كما قيل أيامى والأصل أيائم ويتائم فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ أي من طبن لنفوسكم من جهة الجمال والحسن أو العقل أو الصلاح منهن مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ ومعنى الآية: وإن خفتم يا أولياء اليتامى أن لا تعدلوا فيهن إذا نكحتموهن، بإساءة العشرة أو بنقص الصداق، فانكحوا غيرهن من الغريبات فإنهن كثير ولم يضيق الله عليكم. فالآية للتحذير من التورط في الجور والأمر بالاحتياط. وإنّ في غيرهن متسعا إلى الأربع. وروى البخاري «1» عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا كانت له يتيمة فنكحها وكان لها عذق (أي نخلة) وكان يمسكها عليه ولم يكن لها من نفسه شيء. فنزلت فيه: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى. أحسبه قال: كانت شريكته في ذلك العذق وفي ماله. ورواه مسلم وأبو داود والنسائيّ. وفي رواية لهم عن عائشة «2» هي اليتيمة تكون في حجر وليها تشركه في ماله ويعجبه مالها وجمالها. فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يقسط في صداقها، فيعطيها مثل ما يعطيها غيره. فنهوا عن أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن ويبلغوا لهن أعلى سنّتهن في الصداق. فأمروا أن ينكحوا ما طاب لهم من النساء سواهن.
قال عروة: قالت عائشة: وإن الناس استفتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد هذه الآية فأنزل الله: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّساءِ [النساء: 127]
 قالت عائشة: وقول الله تعالى في آية أخرى: وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ [النساء: 127] ، رغبة أحدكم عن يتيمته حين تكون قليلة المال والجمال. قالت: فنهوا أن ينكحوا عن من رغبوا في ماله وجماله في يتامى النساء إلا بالقسط من أجل رغبتهم عنهن، إذا كن قليلات المال والجمال...
تنبيهان:
الأول- قال بعض المفسرين: دلت الآية على أنه يجب بالنكاح حقوق. وتدل على أن من خشي الوقوع فيما لا يجوز، قبح منه ما دعا إلى ذلك القبيح. فلا يجوز لمن عرف أنه يخون مال اليتيم إذا تزوج أكثر من واحدة، أن يتزوج أكثر. وكذا إذا عرف أنه يخون الوديعة ولا يحفظها، فإنه لا يجوز له قبول الوديعة. وتدل على أن العدل واجب بين الزوجات. وأن من عرف أنه لا يعدل فإنه لا تحل له الزيادة على واحدة. وتدل على أن زواجه الصغيرة من غير أبيها وجدّها جائز. وللفقهاء مذاهب في ذلك معروفة.
الثاني- في سرّ ما تشير إليه الآية من إصلاح النسل. قال بعض علماء الاجتماع من فلاسفة المسلمين في مقالة عنوانها (الإسلام وإصلاح النسل) ما مثاله: ما زال البشر يسعى منذ ألوف من السنين وراء إصلاح ما يقتنيه من خيل وبقر وغنم ليكثر
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qasimi membukanya dengan menyebutkan pendapat ar-Razi, yang mengungkapkan pandangan kaum Sudda (suku Kuhti yang berada di dekat Zabid, Yaman) tentang diperbolehkannya nikah dengan berapa pun jumlahnya. Kaum Sudda ini menggunakan argumen Al-Qur’an dan hadis untuk mendukung pandangannya.
Dari Al-Qur’an, mereka mengambil ayat di atas sebagai dasar argumentasinya. Sementara dari hadis, mereka mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah, yang nikah dengan sembilan istri. Mereka juga menambahkan perlunya mengikuti perilaku Rasulullah. Setelah mengemukakan aspek historis tersebut, al-Qasimi kemudian mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang penafsiran ayat ini. Di antara para ulama yang diambil pendapatnya oleh al-Qasimi adalah ar-Razi, asy-Syaukani, Ibnu Abd al-Barr, asy-Syafi’i, Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan lain-lain. Selain itu, al-Qasimi juga melakukan kajian terhadap hadis yang dijadikan hujah oleh kaum Sudda. Dari pemaparan contoh penafsiran al-Qasimi di atas, tampak bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Qasimi melibatkan banyak aspek, mulai dari kajian historis, melakukan penyisiran terhadap beberapa pendapat ulama, sampai melakukan kajian terhadap hadis.
D. Penutup
Demikianlah gambaran tafsir Mahaasin at-Ta’wiil karya al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis perlu menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, al-Qasimi merupakan sosok ilmuwan yang banyak memiliki basic keilmuan yang mencoba mencurahkan hidupnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, penulisan tafsir Mahaasin at-Ta’wiil diwarnai oleh gejolak pertentangan antara dunia Islam dengan barat (missionarisme dan orientalisme)Ketiga, tafsir al-Qasimi ini bisa dikategorikan ke dalam corak tafsiir ‘ilmii dengan melandaskan pada kategori tafsiir bi al-ma’tsuur.



DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Indal. “Al-Jaamii’ li Ahkaam Al-Qur’aan wa al-Mubayyin limaa Tadlammanah min as-Sunnah wa Aayi Al-Furqaan Karya al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk.,Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kuhal, ‘Umar Ridla, Mu’jam al-Mu’allifiin, Juz III, Beirut: Daar Ihyaa’ at-Turaats al-’Arabii, t.th.
Mansur, Muhammad, “Ma’aanii Al-Qur’aan Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
al-Muhtasib, ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh. Maghfur Wachid, Bangil: Al-Izzah, 1997.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
al-Qasimi,  Muhammad Jamal ad-Din, Mahaasin at-Ta’wiil, Juz I dan Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, 1978.
Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Al-Qur’an dan ‘Juru Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 18, Tahun 2004.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Pendekatan Historis John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.





[1] ‘Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127.
[2] ‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir al-Kittani, Fahras, hlm. 477. Lihat juga dalam ‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam al-Mu’allifiin, hlm. 158.
[3]Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131.
[4]Aadil Nawayhad}, Mu’jam al-Mufassiriin, hlm. 127.
[5] Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm. 131.

[7]Ibid., hlm. 43.
[8]Ibid., hlm. 50.
[9]Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi, Mahaasin, Juz II, hlm. 115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar