A.
Pendahuluan
Perkembangan
keilmuan Islam pastilah tidak bisa dilepaskan dengan penafsiran al-Qur’an.
Terdapat banyak sekali kajian yang telah dilahirkan oleh para ‘ulama untuk
menjelaskan setiap kandungan yang terdapat didalamnya. Para ‘ulama memiliki
keilmuan yang mumpuni didalamnya untuk mendukung argumen yang dipaparkan dalam
setiap menafsiri ayat-ayat dalam al-Qur’an. Penafsiran inilah yang melahirkan
berbagai pemikiran pembahasan yang tidak terbatas untuk selalu dipelajari dan
dielaborasikan setiap masa. Bahkan kajian menafsiri al-Qur’an tidak terbatas
dalam pemikiran umat muslim saja akan tertapi berkembang meluas sampai kepada
para orientalis pun telah banyak yang menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman
mereka sendiri.
Dalam
kemunculan suatu pemikiran tafsir tidak dapat dielakkan bahwa pemikiran yang
muncul dari para ‘ulama pasti memiliki beberapa faktor yang melingkupi
pemikirannya. Faktor-faktor yang muncul dari dalam al-Qur’an disebut dengan al-’awaamil ad-daakhiliyyah. Sedangkan
faktor-faktor yang muncul dari luar disebut dengan al-’awaamil al-khaarijiyyah. Faktor-faktor
yang muncul dari luar dapat dicontohkan beberapa hal, seperti subyektifitas
mufassir, faktor ideology (madzhab) yang berkembang saat itu, bahkan politik
kekuasaan pun ikut memengaruhi suatu buah pemikiran. Hal ini didukung oleh
Michel Foucault seorang sosiolog keagamaan yang menyebutkan bahwa sebuah perkembangan ilmu pengetahuan, mazhab,
atau pemikiran, apapun namanya (termasuk tafsir di dalamnya), tidak bisa
dilepaskan dari relasi kekuasaan.
Salah
satu corak tafsir yang berkembang adalah tafsir ‘ilmi, kemunculan tafsir
ini disebabkan para ulama merasakan bahwa al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat
erat dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Para ‘ulama ini merupakan para
cendekiawan yang merasa prihatin atas dasarnya minimnya kajian sains modern
dengan kaitan keilmuan al-Qur’an. Maka dari itu tafsir dengan corak ilmi mencoba memindahkan semua bidang pengetahuan
kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran Al-Qur’an. Adapun salah
satu pelopor ‘ulama yang perhatian pada keberadaan tafsir ilmiah adalah Amin al-Khuli.
Salah satu kitab tafsir yang dipengaruhi corak
penafsiran ilmiah adalah tafsir “Mahaasin at-Ta’wiil” karya Muhammad Jamal ad-Din al-Qasimi.
Dalam kitab tafsir ini, beliau mengetengahkan pembahasan yang berusaha menjelaskan
masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Walaupun kajian
dalam tulisan ini dirasa kurang lengkap dan kurang mendalam, tetapi paling
tidak, tetapi diharapkan tulisan ini bisa menjadi salah satu pelopor untuk melakukan kajian yang lebih mendalam
dan lebih serius terhadap kitab tafsir karya al-Qasimi ini.
B. Setting Historis-Biografis al-Qasimi
1. Latar Belakang Sosial dan Aktivitas Intelektual
Nama lengkap beliau adalah Jamal ad-Din bin
asy-Syaikh Muhammad Sa’id ad-Dimasyqi bin asy-Syaikh Muhammad Qasim al-Hallaq
asy-Syafi’i al-Atsari. Beliau hidup dalam kurun waktu antara tahun 1283-1332
H atau 1866-1914 M, yaitu selama 49 tahun. Al-Qasimi dilahirkan dan wafat
di Damaskus.[1] Beliau tumbuh di tengah keluarga yang dikenal
takwa dan berilmu. Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang
sastrawan yang bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi
al-Khair. Ayahnya mewarisi perpustakaan yang berisi banyak literatur
keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah inilah yang mewariskan dan mengalirkan berbagai ilmu
kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya. Selain beliau
sendiri juga menggali keilmuan dari ‘ulama lainnya.
Warisan
dari ayahanda ini mendukung al-Qasimi untuk menjadi seseorang
yang banyak mengkaji karya-karya para ahli hadis, usul fikih, fikih, tasawuf,
ilmu kalam, sastra, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Tidak
mengherankan jika beliau menjadi seorang ilmuwan yang mumpuni dalam beberapa ilmu pengetahuan. Walaupun beliau lebih banyak belajar secara
autodidak lewat buku-buku yang ada di perpustakaan ayahnya, beliau juga tidak
bisa melepaskan diri dari pengaruh ilmuwan lain. Muhammad Abduh merupakan salah
satu ulama yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual beliau. Sejak
perkenalan beliau dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904, beliau mengganti gaya
bahasa sajak yang sejak lama digelutinya dengan gaya bahasa prosa dalam banyak
karya tulisnya.
Kemudian, dikarenakan al-Qasimi menjadi seorang pakar dari berbagai cabang
ilmu pengetahuan Beliau kemudian memiliki
pengaruh yang kuat dalam bidang pendidikan pada masa itu.[2] Beliau
juga termasuk orang yang anti taklid dan menyerukan dibukanya pintu ijtihad.
Sehingga pemerintah mendukung dan mendelegasikannya selama empat tahun, yaitu
pada tahun 1308-1312 H, untuk mengadakan
perjalanan intelektual ke negara Syuriah. Kemudian beliau melanjutkan
perjalanan ke Mesir dan mengunjungi Madinah. Akan tetapi Setelah kembali dari tugasnya, beliau dituduh mendirikan mazhab agama
yang baru, yang diberi nama Madzhab al-Jamalii. Maka, pada tahun 1313 H,
beliau ditangkap oleh pemerintah dan diinterogasi.[3] Akan
tetapi, akhirnya beliau dibebaskan kembali.[4] Setelah
peristiwa penangkapan tersebut, al-Qasimi menetap di Damaskus. Beliau berdiam
diri di rumahnya dan mengonsentrasikan diri untuk mengarang beberapa kitab dan
mencurahkan perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sampai wafatnya.[5]
2. Karya-karya Intelektual
Al-Qasimi adalah seorang yang ahli dalam
bidang tafsir, ilmu-ilmu keislaman, dan seni. Selain itu, beliau juga
menghasilkan beberapa karya di bidang lain, seperti tauhid, hadis,
akhlak, tarikh, dan ilmu kalam. Selain menulis beberapa buah kitab, al-Qasimi
juga mempublikasikan buah pikirannya di majalah-majalah dan suhuf-suhuf. Total karya
al-Qasimi berjumlah 72 kitab.[6] Di antara karya-karya al-Qasimi yaitu:
1. Dalaail
at-Tauhiid.
2. Diiwaan
Khithab.
3. Al-Fatawaa
fii al-Islaam.
4. Irsyaad
al-Khalqi ilaa al-’Amalii bi al-Barqi.
5. Syarh Luqathah
al-’Ajlaan.
6. Naqd an-Nashaaih al-Kaafiyah.
7. Madzaahib
al-A’rab wa Falaasifah al-Islaam fi al-Jin.
8. Mau’izhah
al-Mu’miniin.
9. Syaraaf
al-Asbath.
10. Tanbiih ath-Thaalib
ilaa Ma’rifati al-Fardli wa al-Waajib.
11. Jawaami’
al-Adab fii Akhlaaq al-Anjab.
12. Ishlaah al-Masaajid
min al-Bidaa’ii wa al-’Awaaidi.
13. Ta’thiir
al-Masyaam fii Maatsari Dimasyqi al-Syaam.
14. Qawaa’id
at-Tahdiits min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits.
15. Mahaasin
at-Ta’wiil fii Tafsiir Al-Qur’aan Al-Kariim.
16. Tarjamah
al-Imaam al-Bukhaarii.
17. Bait
al-Qaashid fii Diiwaan al-Imaam al-Waliid as-Sa’iid.
18. Ikhtisaar
al-Ihyaa’.
19. Dan
lain-lain.
C. Kitab Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
1. Sejarah Penulisan
Kitab tafsir
merupakan sebuah pola bentuk pemikiran, penelaahan seorang mufassir dan
interpretasi mufassir menyikapi kondisi zaman dengan menginteraksikannya
terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dapat disebut pola bahwa sebuah kitab tafsir
merupakan anak zaman, maksudnya kitab tafsir merupakan bentuk kelahiran
pemikiran yang berlatar belakang sosio-kultural yang menyertai kemunculannya. Berkaitan
dengan studi kitab ini, maka diperlukan diketahuinya kondisi sosio cultural yang
melingkupi kelahiran Tafsir al-Qasimi ini
Kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
terlahir dari bentuk perbenturan dua kebudayaan yang berbeda (clash of
civilization). Yaitu antara budaya Islam dan budaya ahli kitab yang sedang
gencar-gencarnya mengkaji dunia islam (orientalis) ditambah lagi dengan proses
perkembangan misionarisme. Perbenturan kebudayaan ini membentuk masyarakat yang
terus menerus berkonflik untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan golongan.
Tidak hanya dalam aspek theologies namun juga dalam bidang aspek ekonomi dan
kekuasaan. Perbenturan kebudayaan ini memunculkan wacana yang berkelanjutan
hingga daerah-daerah lain. Pun di Syam dimana al-Qasimi tinggal. Daerah Syam
pada saat itu pun menjadi target dari serangan kaum ahli kitab yang melancarkan
program missionaries mereka.
2. Sumber Penafsiran
Dalam penulisan kitab Tafsir ini,
Syaikh al-Qasimi mengambil beberapa sumber rujukan untuk menganalisis ayat-ayat
yang beliau tafsirkan. Yaitu; pertama, Hadits-Hadits Nabi SAW. Dalam hal
ini beliau banyak mengambil hadits yang berasal dari Shahih Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Malik
bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain. Kedua,
Atsar Shahabat. Ketiga, Sastra Arab. Dalam hal ini beliau
sangat mumpuni pada bidang grammatical arab dan hal-hal yang melingkupinya,
al-Qur’an turun dengan bahasa arab maka untuk mengungkapkan makna didalamnya
haruslah menguasai bahasa arab secara mendalam. Ditambah lagi dalam menjelaskan makna kata Al-Qur’an,
al-Qasimi selalu merujuk kepada beberapa kamus. Di antaranya Shihah
al-Jauharii dan kamus al-Muhiith. Keempat,
Ra’yu.
Selain
itu, al-Qasimi juga sering mengambil
beberapa pendapat para ulama. Di antara para
ulama yang sering dijadikan rujukan oleh al-Qasimi adalah Muhammad Abduh,
asy-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Izzudin bin Abd as-Salam, asy-Syaikh Waliyullah
ad-Dahlawi, Abu Amru ad-Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, asy-Syafi’i, Ibnu
Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi Abd al-Jabbar, asy-Syahrastani, Ibnu Hajar
al-Asqalani, Ibnu Qayim, as-Suyuti, dan Ibnu Hazm. sehingga dalam beberapa tempat, beliau sering
mencantumkan kisah-kisah Isra’iliyat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa mufasir
salaf yang kitab-kitab tafsirnya sering dirujuk oleh al-Qasimi.[7] al-Qasimi juga terkadang mengutip dari
beberapa bagian kitab Injil. kitab Taurat serta kitab Talmud. Namun, pengutipan ini hanya untuk menunjukkan
kekacauan kitab tersebut, Di samping
itu, untuk memperkuat argumentasi pandangan-pandangan ilmiah dalam kitab
tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan pendapat para ilmuwan modern
yang sezaman dengan beliau[8].
3. Corak dan Karakteristik Penafsiran
Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini
memiliki corak tafsir ilmii, mengapa demikian? Karena dalam kitab ini nuansa
ilmiah begitu terlihat. dalam kitab tafsirnya ini, beliau sengaja menjelaskan secara detail
masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau juga
menjelaskan bahwa beliau banyak mengutip pendapat-pendapat pakar astronomi
untuk memperkuat penjelasannya
4. Sistematika Penafsiran
Penulisan Tafsir yang digunakan oleh
al-Qasimi yaitu dengan mengurutkan sesuai dengan urutan ayat dan surat seperti
pada umumnya al-Qur’an yang kita jumpai. Maka dari itu jika dilihat dari
sistematikanya dikategorikan menjadi mushhafii. Dimulai dari suratt al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat an-Naas. Seluruh penafsirannya tertuang dalam kitab tafsir sebanyak tujuh belas
jilid. Pada juz pertama, al-Qasimi mengkhususkannya sebagai juz pembukaan. Pada juz ini,
al-Qasimi memfokuskan pembahasannya untuk menjelaskan beberapa visi dan
sistematika tafsirnya.
5. Metode Penafsiran
Dalam penelitian pemakalah tafsir
ini memiliki nuansa klasik yang kental (selain nuansa ilmiah). Penyebabnya
tafsir ini banyak merujuk pada sumber-sumber klasik sebagai alternative
pendukung penafsiran beliau sendiri. Yang berwujud baik berupa hadis-hadis Nabi maupun pendapat-pendapat
para salaf ash-shaalih. Namun tidak selamany beliau
menyetujui dengan apa yang difatwakan oleh para mufassir klasik. Tak jarang beliau
pun melontarkan kritik sebagai bentuk keteguhan beliau dalam meneguhkan
pendapat yang beliau kemukakan ketika menafsiri suatu ayat. Secara mendasar
beliau menegaskan penafsirannya mengenai kata-kata dalam al-Qur’an. Dengan
merujuk pada kamus-kamus arab seperti; Shihah al-Jauharii dan kamus al-Muhiith. Tak lupa
beliau memberikan I’rab dalam kata-kata tersebut. Beliau juga memperhatikan
secara teliti mengenai bentuk-bentuk qiraat yang digunakan.
Syaikh
al-Qasimi bila di dalam penafsirannya menemukan hal-hal yang di
dalamnya terdapat ketercampuran pemahaman, beliau selalu memberikan keterangan
(tanbiih).[9]
Hal ini bermaksud untuk mencari kejelasan masalah dan menghindari
kesalahpahaman. Al-Qasimi merupakan seorang tokoh yang fanatic terhadap madzhab
yang beliau anut. Madzhab ahlu as-Sunnah akan beliau bela kevaliditasannya dan
membalikkan argument yang mengkritik madzhab ahlussunnah.
Bentuk
social-kultural masyarakat yang mempengaruhi pemikiran penafsiran beliau
mengenai suatu ayat salah satunya adalah kritik terhadap golongan yang dirasa
beliau banyak melakukan perbuatan bid’ah dan taklid. Beliau memberikan solusi
mengenai hal ini dengan memunculkan wacana terbukanya pintu ijtihad. Agaknya
hal ini dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taimiyah. Berikut beberapa rangkuman
dari penelitian ini:
a.
Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b.
Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang bersumber dari
hadis Nabi, pendapat sahabat, dan pendapat beberapa ulama.
c.
Terkadang, untuk mendukung penafsirannya, beliau mengutip kisah-kisah
Isra’iliyat yang diambil dari kitab-kitab tafsir para ulama salaf.
d.
Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
e.
Fanatisme pada madzhab ahlu as-sunnah.
f.
Mengungkapkan situasi sosio-kultural masyarakat
sekelilingnya.
6. Contoh Penafsiran
Lihat misalnya ketika beliau menafsirkan Surah
an-Nisa’ [4]: 3 yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan, jika kamu takut tidak akan berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
القول في تأويل قوله تعالى: سورة النساء (4) : آية 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا أي أن لا تعدلوا فِي الْيَتامى أي يتامى النساء. قال الزمخشريّ: ويقال للإناث اليتامى كما يقال للذكور، وهو جمع يتيمة، على القلب.
كما قيل أيامى والأصل أيائم ويتائم فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ أي من طبن لنفوسكم من جهة الجمال والحسن أو العقل أو الصلاح منهن مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ ومعنى الآية: وإن خفتم يا أولياء اليتامى أن لا تعدلوا فيهن إذا نكحتموهن، بإساءة العشرة أو بنقص الصداق، فانكحوا غيرهن من الغريبات فإنهن كثير ولم يضيق الله عليكم. فالآية للتحذير من التورط في الجور والأمر بالاحتياط. وإنّ في غيرهن متسعا إلى الأربع. وروى البخاري «1» عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا كانت له يتيمة فنكحها وكان لها عذق (أي نخلة) وكان يمسكها عليه ولم يكن لها من نفسه شيء. فنزلت فيه: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى. أحسبه قال: كانت شريكته في ذلك العذق وفي ماله. ورواه مسلم وأبو داود والنسائيّ. وفي رواية لهم عن عائشة «2» هي اليتيمة تكون في حجر وليها تشركه في ماله ويعجبه مالها وجمالها. فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يقسط في صداقها، فيعطيها مثل ما يعطيها غيره. فنهوا عن أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن ويبلغوا لهن أعلى سنّتهن في الصداق. فأمروا أن ينكحوا ما طاب لهم من النساء سواهن.
قال عروة: قالت عائشة: وإن الناس استفتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد هذه الآية فأنزل الله: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّساءِ [النساء: 127]
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَواحِدَةً أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلاَّ تَعُولُوا 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا أي أن لا تعدلوا فِي الْيَتامى أي يتامى النساء. قال الزمخشريّ: ويقال للإناث اليتامى كما يقال للذكور، وهو جمع يتيمة، على القلب.
كما قيل أيامى والأصل أيائم ويتائم فَانْكِحُوا ما طابَ لَكُمْ مِنَ النِّساءِ أي من طبن لنفوسكم من جهة الجمال والحسن أو العقل أو الصلاح منهن مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ ومعنى الآية: وإن خفتم يا أولياء اليتامى أن لا تعدلوا فيهن إذا نكحتموهن، بإساءة العشرة أو بنقص الصداق، فانكحوا غيرهن من الغريبات فإنهن كثير ولم يضيق الله عليكم. فالآية للتحذير من التورط في الجور والأمر بالاحتياط. وإنّ في غيرهن متسعا إلى الأربع. وروى البخاري «1» عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا كانت له يتيمة فنكحها وكان لها عذق (أي نخلة) وكان يمسكها عليه ولم يكن لها من نفسه شيء. فنزلت فيه: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتامى. أحسبه قال: كانت شريكته في ذلك العذق وفي ماله. ورواه مسلم وأبو داود والنسائيّ. وفي رواية لهم عن عائشة «2» هي اليتيمة تكون في حجر وليها تشركه في ماله ويعجبه مالها وجمالها. فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يقسط في صداقها، فيعطيها مثل ما يعطيها غيره. فنهوا عن أن ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن ويبلغوا لهن أعلى سنّتهن في الصداق. فأمروا أن ينكحوا ما طاب لهم من النساء سواهن.
قال عروة: قالت عائشة: وإن الناس استفتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد هذه الآية فأنزل الله: وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّساءِ [النساء: 127]
قالت عائشة: وقول الله تعالى في آية أخرى: وَتَرْغَبُونَ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ [النساء: 127] ، رغبة أحدكم عن يتيمته حين تكون قليلة المال
والجمال. قالت: فنهوا أن ينكحوا عن من رغبوا في ماله وجماله في يتامى النساء إلا
بالقسط من أجل رغبتهم عنهن، إذا كن قليلات المال والجمال...
… تنبيهان:
الأول- قال بعض المفسرين: دلت الآية على أنه يجب بالنكاح حقوق. وتدل على أن من خشي الوقوع فيما لا يجوز، قبح منه ما دعا إلى ذلك القبيح. فلا يجوز لمن عرف أنه يخون مال اليتيم إذا تزوج أكثر من واحدة، أن يتزوج أكثر. وكذا إذا عرف أنه يخون الوديعة ولا يحفظها، فإنه لا يجوز له قبول الوديعة. وتدل على أن العدل واجب بين الزوجات. وأن من عرف أنه لا يعدل فإنه لا تحل له الزيادة على واحدة. وتدل على أن زواجه الصغيرة من غير أبيها وجدّها جائز. وللفقهاء مذاهب في ذلك معروفة.
الثاني- في سرّ ما تشير إليه الآية من إصلاح النسل. قال بعض علماء الاجتماع من فلاسفة المسلمين في مقالة عنوانها (الإسلام وإصلاح النسل) ما مثاله: ما زال البشر يسعى منذ ألوف من السنين وراء إصلاح ما يقتنيه من خيل وبقر وغنم ليكثر
… تنبيهان:
الأول- قال بعض المفسرين: دلت الآية على أنه يجب بالنكاح حقوق. وتدل على أن من خشي الوقوع فيما لا يجوز، قبح منه ما دعا إلى ذلك القبيح. فلا يجوز لمن عرف أنه يخون مال اليتيم إذا تزوج أكثر من واحدة، أن يتزوج أكثر. وكذا إذا عرف أنه يخون الوديعة ولا يحفظها، فإنه لا يجوز له قبول الوديعة. وتدل على أن العدل واجب بين الزوجات. وأن من عرف أنه لا يعدل فإنه لا تحل له الزيادة على واحدة. وتدل على أن زواجه الصغيرة من غير أبيها وجدّها جائز. وللفقهاء مذاهب في ذلك معروفة.
الثاني- في سرّ ما تشير إليه الآية من إصلاح النسل. قال بعض علماء الاجتماع من فلاسفة المسلمين في مقالة عنوانها (الإسلام وإصلاح النسل) ما مثاله: ما زال البشر يسعى منذ ألوف من السنين وراء إصلاح ما يقتنيه من خيل وبقر وغنم ليكثر
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qasimi membukanya dengan menyebutkan
pendapat ar-Razi, yang mengungkapkan pandangan kaum Sudda (suku Kuhti yang
berada di dekat Zabid, Yaman) tentang diperbolehkannya nikah dengan berapa pun
jumlahnya. Kaum Sudda ini menggunakan argumen Al-Qur’an dan hadis untuk
mendukung pandangannya.
Dari Al-Qur’an, mereka mengambil ayat di atas
sebagai dasar argumentasinya. Sementara dari hadis, mereka mencontoh apa yang
dilakukan Rasulullah, yang nikah dengan sembilan istri. Mereka juga menambahkan
perlunya mengikuti perilaku Rasulullah. Setelah mengemukakan aspek historis
tersebut, al-Qasimi kemudian mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang
penafsiran ayat ini. Di antara para ulama yang diambil pendapatnya oleh
al-Qasimi adalah ar-Razi, asy-Syaukani, Ibnu Abd al-Barr, asy-Syafi’i, Ibnu Abi
Syaibah, Imam Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan lain-lain. Selain itu,
al-Qasimi juga melakukan kajian terhadap hadis yang dijadikan hujah oleh kaum
Sudda. Dari pemaparan contoh penafsiran al-Qasimi di atas, tampak bahwa dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Qasimi melibatkan banyak aspek, mulai dari
kajian historis, melakukan penyisiran terhadap beberapa pendapat ulama, sampai
melakukan kajian terhadap hadis.
D. Penutup
Demikianlah gambaran tafsir Mahaasin
at-Ta’wiil karya al-Qasimi. Di akhir pembahasan, penulis perlu
menggarisbawahi beberapa hal penting. Pertama, al-Qasimi
merupakan sosok ilmuwan yang banyak memiliki basic keilmuan yang mencoba mencurahkan hidupnya untuk kemajuan ilmu
pengetahuan. Kedua, penulisan tafsir Mahaasin at-Ta’wiil diwarnai oleh gejolak pertentangan antara
dunia Islam dengan barat (missionarisme dan orientalisme). Ketiga, tafsir al-Qasimi ini bisa
dikategorikan ke dalam corak tafsiir ‘ilmii dengan melandaskan pada kategori tafsiir
bi al-ma’tsuur.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Indal. “Al-Jaamii’ li Ahkaam Al-Qur’aan
wa al-Mubayyin limaa Tadlammanah min as-Sunnah wa Aayi Al-Furqaan Karya
al-Qurtubi”, dalam Muhammad Yusuf, dkk.,Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks
yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004.
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir
al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Kuhal, ‘Umar Ridla, Mu’jam
al-Mu’allifiin, Juz III, Beirut: Daar Ihyaa’ at-Turaats al-’Arabii, t.th.
Mansur, Muhammad, “Ma’aanii
Al-Qur’aan Karya al-Farra’”, dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab
Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras kerja sama dengan
TH-Press, 2004.
al-Muhtasib, ‘Abd al-Majid ‘Abd
as-Salam, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh.
Maghfur Wachid, Bangil: Al-Izzah, 1997.
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta
Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik hingga
Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
al-Qasimi, Muhammad Jamal
ad-Din, Mahaasin at-Ta’wiil, Juz I dan Juz II, Beirut: Daar al-Fikr, 1978.
Sjadzili, Ahmad Fawaid, “Al-Qur’an dan ‘Juru
Bicara’ Tuhan”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 18, Tahun 2004.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Pendekatan Historis
John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an”, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron
Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
[1] ‘Aadil Nawayhadl, Mu’jam al-Mufassiriin,
hlm. 127.
[2] ‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir
al-Kittani, Fahras, hlm. 477. Lihat juga dalam ‘Umar Ridla Kuhal, Mu’jam
al-Mu’allifiin, hlm. 158.
[3]Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm.
131.
[4]Aadil Nawayhad}, Mu’jam al-Mufassiriin,
hlm. 127.
[5] Khair ad-Din az-Zarkili, al-A’laam, hlm.
131.
[7]Ibid., hlm. 43.
[8]Ibid., hlm. 50.
[9]Muhammad Jamal ad-Din
al-Qasimi, Mahaasin, Juz II, hlm. 115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar